Wednesday, March 13, 2013

syarat jadi seorang CEO

Integritas dan Kolaborasi Kepemimpinan Jadi ‘Syarat’ CEO

Seiring dengan ekonomi Indonesia yang kian positif, mengingat Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) 2012 tetap di atas 6%, berbagai perusahaan ‘berlomba’ meningkatkan produktivitas. Di balik itu semua, sosok pemimpin menjadi sangat penting untuk menentukan arah perusahaan di masa depan. Karena itu, dibutuhkan integritas dan collaborative leadership style.

Hal itu diungkapkan Pendiri sekaligus Chairman iLead Consulting yang juga mantan Country Business Manager Citibank Indonesia, Barry Lesmana. “Dunia bisnis makin hari makin dinamis. Perubahan yang terjadi semakin cepat dan dahsyat. Apa yang terjadi di lingkup global sangat mudah memberi dampak ke lingkup nasional. Para CEO menghadapi tantangan yang jauh lebih berat dalam mengatasi ketidakpastian dan ketidakjelasan akibat perubahan yang berlangsung cepat.”

Apalagi, Bank Dunia sempat memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,5%. Karena itu, Barry melihat sosok pemimpin harus cepat tanggap dalam menghadapi keadaan ekonomi global maupun nasional. “Integritas seorang CEO sebagai salah satu kualitas utama yang harus dimiliki, akan makin diuji agar CEO tersebut dapat terus dipercaya dan diandalkan oleh para stakeholders. Stakeholders dalam hal ini adalah pemegang saham, konsumen, pegawai dan pemerintah.”

Selain integritas sebagai basis utama, menurut Barry, karakter yang sangat dibutuhkan oleh seorang CEO adalah memiliki collaborative leadership style yang paling cocok dan efektif untuk bisa memimpin baik anak buah, atasan maupun rekan kerja. “Saat ini, CEO tidak hanya harus menghadapi subordinates/anak buah yang makin kritis dan demanding, tapi juga harus menghadapi ‘atasan’ (CEO pun punya atasan) yang juga semakin demanding dan kurang sabar.”

Para CEO juga harus mampu ‘memimpin’ rekan-rekan satu level atau para rekan kerja yang seringkali kurang kooperatif. Collaborative leadership style tersebut menurut Barry juga sangat efektif untuk ‘memimpin’ para stakeholders lainnya seperti pemerintah dan sebagainya.

Saling Berbagai Pengalaman Para Pemimpin

Pentingnya pemimpin yang tepat pada suatu perusahaan sangat berperan penting dalam perjalanan perusahaan itu sendiri. Agar suatu perusahan dapat terus berkembang dengan kokoh, kompetitif, dan lebih bermakna lagi bagi semua stakeholders – secara berkelanjutan, maka perusahaan tersebut sudah seharusnya untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpinnya yang handal agar mampu bersinergi dengan tim di perusahaan tersebut.
SarwotoAtmoSutarno, Telkomsel, majemen, leadership
Untuk itu, majalah SWA bekerjasama dengan Principia Learning Lab, menyelenggarakan sebuah forum bertema “Leader as Coach Forum” atau LaC, yang kali ini sudah menginjak penyelenggaraan untuk kali keempat. Pada forum LaC kali ini, penyelenggara bekerjasama turut pula didukung oleh Telkomsel. Dimana pada kesempatan ini, dihadiri pula oleh Presiden Direktur/CEO PT Telkomsel, Sarwoto Atmosutarno. Forum yang diselenggarakan di Ballroom Telkomsel, Wisma Mulia, Jakarta ini, turut mengundang pihak BCA, yang pada kesempatan kali ini diwakili oleh Director BCA (Bank Central Asia), Arman Hartono beserta Kepala Biro Halo BCA, Wani Sabu.
Menurut, Sarwoto, menjelmanya Telkomsel menjadi market leader dalam bisnis operator telepon seluler, turut di pengaruhi oleh kesiapan Telkomsel mempersiapkan para pemimpinnya sekaligus tim di perusahaan untuk memberikan kemampuan terbaiknya. Ia menerangkan, Telkomsel sudah sangat lama berada di posisi nyaman pada industri ini. Industri yang dijalankan Telkomsel, menurut Sarwoto, saat ini sudah tidak lagi luxurious. “Sulit untuk mendapatkan keuntungan double digit”, ujar Sarwoto.
Untuk itu, Sarwoto menyadari betul akan pentingnya coaching prinsip-prinsip leadership di perusahaannya. “Kita akan sukses pada transformasi bisnis ini apabila ada leadership system dan believe system pada perusahaan kami,” tambah Sarwoto. Tidak heran apabila saat ini performance Telkomsel sebagai perusahaan operator seluler cukup baik. Hal tersebut tidak terlepas dari situasi dan kondisi di perusahaan Telkomsel itu sendiri. Hubungan antara atasan dengan bawahan terjalin dengan baik. Terjalinnya hubungan yang baik antara atasan dengan bawahan tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip coaching yang diterapkan di Telkomsel. Sehingga kesenjangan komunikasi antara atasan dengan bawahan dapat teratasi.
Hal serupa dialami oleh BCA, sebagai salah satu bank yang cukup ternama di Indonesia. Wani Sabu, Kepala Divisi Halo BCA, mengakui, dengan adanya coaching di perusahaannya, perusahaannya berhasil memberikan pelayanan terbaiknya melalui layanan call center Halo BCA. “5 tahun yang lalu, kondisi di kantor terutama di divisi Halo BCA, sangat tidak kondusif. Lalu kami merubahnya,” Wani menjelaskan.
Proses coaching yang dialami oleh seluruh jajaran di Halo BCA, menurut Wani, berperan penting dalam pembentukan susasan kerja yang sangat baik. Sehingga pelayanan kepada nasabah menjadi sangat baik. Dengan adanya coaching ini, muncul sebuah keterikatan yang cukup baik antara jajaran atasan dengan bawahan. “Kami biasa di coach untuk selalu ceria, berlawanan arah dengan nasabah yang sedang menyampaikan aduan. Mereka marah-marah, ya kami harus baik-baik,” begitu ujar Wani.
Sementara itu, Henk T Sengkey dari Principia Learning Lab, mengatakan, dengan adanya coaching di sebuah perusahaan, akan mudah memunculkan insiatif untuk memberikan inovasi-inovasi baru. Hal tersebut dikarenakan, dengan adanya coaching seperti ini, seorang atasan dapat secara langsung meng-address persoalan-persoalan perusahaan kepada bawahannya. “ Dengan begitu, inovasi tidak hanya muncul di headquarter, namun juga dapat muncul di frontline perusahaan,” tutur Henk.

Berguru pada CEO Top, Tatang Widjaja


Terpilih sebagai salah satu CEO terbaik versi SWA, ternyata tak membuat Tatang Widjaja terlena. Presiden Direktur merangkap CEO PT Asuransi Jiwa Sequis Life ini justru merasa tercambuk untuk bekerja jauh lebih baik.
“Karena ketika dinobatkan menjadi yang terbaik, you selalu ingin jadi terbaik, you ingin di atas yang lainnya,” ujar Tatang dengan gaya khasnya. Menurutnya, ketika kita sudah mencapai kesuksesan justru jangan santai Baginya, sukses hari ini adalah bekerja keras untuk sukses yang akan datang.
Pria yang mengawali karir di asuransi 19 tahun lalu ini ingin memberi inspirasi pada anggota tim Sequis Life. Ia ingin setiap orang yakin bahwa mereka punya kesempatan jadi yang terbaik.
Kedua anak Tatang pun mendapat suntikan motivasi dengan penobatan itu. Mereka ingin seperti ayahnya kelak, menjadi yang terbaik. Mendukung keinginan positif anaknya, Tatang mengajarkan untuk tetap konsisten dan bekerja lebih keras dari yang lainnya. “Nggak mungkin bisa sukses tanpa go the extra mile (kerja keras) dan fokus!”
Kepada karyawannya, Tatang selalu membimbing agar mampu beradaptasi. Selain itu ia pun mengarahkan bahwa ketika menghadapi masalah, bukan mencari masalah tersebut melainkan solusinya. Tatang menyebutnya adaptive to change, adaptif untuk melakukan perubahan. Ia selalu meminta timnya untuk melakukan transformasi berkelanjutan. Transformasi yang dimaksud adalah transformasi mindset, perbesar kapasitas kerja, pertajam ketrampilan dan kompetensi, serta tambah pengetahuan.
“Transformasi bukan proses yang membuat kita lebih cepat, tapi membuat sebuah ritme,” jelasnya. Setelah mendapat ritme, lanjut Tatang, baru ritme itulah yang kemudian dipercepat.
“Jadi ketika kita bicara tentang transformasi, kita bicara tentang bagaimana membuat ritme. Jadi di sini yang kita bentuk adalah kebiasaan,” ujar Tatang pada reporter SWA Rabu 4 April 2012.
Tatang menambahkan bahwa fokus transformasi adalah sustainable effort, usaha berkelanjutan. Ia tidak menyarankan untuk serakah, selalu ingin yang lebih besar, karena keserakahan itulah yang bisa membuat seseorang jatuh.
Ditanya tentang perubahan yang harus dilakukan orang biasa untuk jadi luar biasa, penggemar tokoh Sun Tzu dan Lao Tse ini punya tiga jurus. Jurus pertamanya adalah pengetahuan yang cukup dan terus belajar. Dari buku teks seseorang belajar kemudian ketika turun ke lapangan evaluasi diri. Dari situ diharapkan kita tahu kelebihan dan kekurangan yang perlu diperbaiki. Jurus kedua Tatang adalah mempertajam ketrampilan, kemudian miliki kemampuan berkomunikasi dan negosiasi.
“Di setiap bisnis, negosiasi yang utama. I have to be in their shoes!” tegasnya. Dalam menyikapi suatu permasalahan harus memperhatikan sudut pandang orang lain. Selain itu dengan kemampuan komunikasi, seseorang akan mempunyai percaya diri.
“Jadi visi-misi yang ada di otak bisa dikumandangkan dan diimplementasikan,” pungkas Tatang.

Inilah Pemimpin Ideal Versi Anies Baswedan


Meski memiliki prospek pertumbuhan ekonomi yang cerah, Indonesia perlu sosok pemimpin yang mampu berpolitik modern. Setidaknya itulah yang menjadi buah pikir Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan.
Dalam dialog “Indonesia, The Next Jewel of Asia” Anies mengemukakan bahwa negara sepotensial Indonesia perlu sosok pemimpin yang berani berpolitik modern.
“Politik modern itu tidak bisa seperti yang kita lihat beberapa waktu lalu. Saat kenaikan BBM menuai protes keras, pemimpin berada jauh dari Indonesia. Ketika semua selesai dan dicapai kesepakatan ia baru masuk dan mengumumkan,” terang Anies, Selasa 3 April 2012.
Menurutnya, pemimpin semestinya hadir pada situasi dimana ia diharapkan mampu memberi keputusan. Pada diskusi yang diselenggarakan Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) tersebut ia menjelaskan bahwa politik modern bukan soal menang atau kalah tetapi hadir dan berani terlibat.
“Misal ketika Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi, membuat aturan-aturan untuk menjaga rupiah, semuanya nurut saja tuh. Bank-bank di bawahnya akan mengikuti karena pada situasi seperti itu BI sebagai pemimpin perbankan hadir memberi keputusan,” lanjutnya.
Di mata cucu mantan Menteri Penerangan Abdurrachman Baswedan ini di Indonesia banyak pembuat keputusan yang ingin mendapat respon baik. Orang tersebut selalu merasa layak mendapat respon positif karena memberi keputusan dengan cara yang baik. Padahal pro dan kontra itu selalu ada.
“Mereka tidak berani keluar melakukan pendekatan. Mereka menganggap suara negatif sebagai oposisi, lebih dari sekedar debat biasa. Inilah yang mengesankan negara kita ini negara auto-pilot.”
Anies menegaskan bahwa pemimpin harus percaya diri saat mengambil keputusan. Kalau pun ia mempunya karakter indecisive (ragu-ragu), jangan sampai dia punya reputasi pemimpin yang ragu-ragu. “Jangan takut pada wartawan. Takutlah pada sejarahwan!” tegasnya.

Robby Djohan : Tugas CEO Memimpin Orang, Bukan Bisnis

Peran Chief Executive Officer (CEO) di sebuah perusahaan sangat vital. Sebagai punggawa tertinggi, CEO berpengaruh besar dalam menggerakan roda bisnis. Namun, tidak sedikit dari CEO di Indonesia yang salah menjalankan posisinya sebagai pemimpin. Robby Djohan, mantan CEO Bank Mandiri, Bank Niaga, dan Garuda Indonesia, berpendapat, tugas CEO seharusnya mengelola manusia, bukan bisnis. Berikut nukilan wawancara reporter SWA, Ario Fajar, dengan mantan bankir top itu di kantornya, Graha CIMB Niaga.

Robby Djohan, Mantan CEO Bank Mandiri, Bank Niaga dan Garuda Indonesia
Anda dikenal sebagai pemimpin yang piawai membawa perubahan dan kemajuan perusahaan. Apa strategi yang diterapkan?
Saya tidak mempunyai strategi khusus. Mungkin saya berbeda dengan pemimpin kebanyakan. Hal yang saya lakukan selama saya menjadi pemimpin adalah memimpin orang, bukan memimpin bisnis.
Apa maksud dari pernyataan tersebut?
Selama ini saya menilai, CEO yang ada sekarang hanya fokus pada bisnis, bukan people. Banyak pemimpin yang salah mentafsirkan jabatan dan perannya. Pemimpin yang benar itu 20% mengurusi bisnis, sisanya 80% mengurusi orang. Inilah yang saya lakukan di beberapa perusahaan ketika menjabat sebagai CEO.
Jadi, apa yang harus dilakukan seorang CEO?
CEO harus lebih banyak mencari talent-talent baru dan memberikan kesempatan ketimbang mengurusi bisnis. Urusan bisnis itu bisa dijalankan oleh manajer-manajer. Jika dia turun tangan juga, dia tidak ubahnya dengan seorang manajer. Pemimpin adalah orang mempunyai visi dan misi, dia mencari orang-orang yang tahu dan berkemampuan untuk mengejar visi dan misi itu. Kebanyakan CEO sekarang lebih sibuk menjalankan bisnis, mengejar profit, tapi tidak memberikan kesempatan kepada talent-talent yang bagus untuk berkembang. Ada beberapa CEO yang menjabat sebagai pemimpin bank sekarang adalah orang-orang yang pernah saya beri kesempatan. Dan hasilnya, Anda bisa lihat sendiri.
Apakah Indonesia kekurangan CEO yang Anda maksud?
Kita sangat minim kaderisasi. Indonesia kekurangan CEO-CEO hebat disegala jenis industri. Akhirnya, muncullah aksi bajak-membajak profesional.
Bagaimana seharusnya peran dari organisasi?
Banyak perusahaan menempatkan CEO hanya sebagai businessman, bukan professonal. Hasilnya, perusahaan tidak cukup banyak melahirkan pemimpin yang mahir mencetak pemimpin baru untuk mengelola organisasinya. Bisnis yang sehat bersumber dari kinerja organisasi yang baik. Kinerja organisasi yang baik itu pastinya digerakan oleh orang-orang yang berkualitas. Untuk itu, perlu ada talent management program yang berkesinambungan.
Apakah itu yang Anda lakukan saat menjabat CEO?
Ketika saya menjabat sebagai CEO di beberapa perusahaan, saya sendiri yang mencari orang-orang terbaik. Bahkan tidak ada direktur personalia.
Berarti harus ada intuisi untuk mencari calon pemimpin?
Ya. Prosesnya cukup sederhana. Tidak perlu fit and proper test atau sejenisnya. Hubungan interpersonal, komunikasi, serta track record sudah menjadi pertimbangan saya untuk memberikan kesempatan.
Dari sekian banyak CEO yang menjabat, siapa CEO yang sejalan dengan pemikiran Anda atau menjalankan hal-hal yang pernah Anda jalankan?
Agus Martowardojo, mantan Dirut PT Bank Mandiri Tbk adalah pemimpin yang sangat ideal. Di zamannya, dia mampu menggerakan orang-orang muda untuk memajukan perusahaan.

1 comment:

  1. Sangat inspiratif, untuk memunculkan jiwa seorang pemimpin

    ReplyDelete