Monday, March 11, 2013

cara menjadi pegusaha tangguh


Usahawan Tangguh

 
KOMPAS.com - Hidup ini seperti roda berputar. ”Ada kalanya di atas, ada pula saatnya di tengah atau di bawah,” ujar seorang usahawan besar di Jakarta, Jumat (5/10/2012).
Ia bercerita, sebelum krisis tahun 1997-2000, ia memimpin sebuah megakorporat. Ada bank, properti, ritel, dan jasa.
Tiba-tiba datang badai ekonomi. Banyak usahawan Indonesia terempas, termasuk dia. Hampir semua usahanya menyurut nyaris ke titik nol. Banknya ditutup. Usaha propertinya hampir tanpa kegiatan. Perusahaan ritel dan jasa ia jual. Ia memilih berkonsentrasi pada hanya usaha properti, bisnis yang paling ia kuasai. Menurut pengalaman, fokus pada usaha inti akan menyelamatkan suatu usaha.
Selama ekonomi nasional limbung, ia bertekad tidak memecat karyawannya. Sebagai bekas ”orang susah”, usahawan yang kini berusia 61 tahun ini sadar betapa pahitnya nasib karyawan yang diputus hubungan kerjanya. Usahawan ini bertahan dengan apa yang dia miliki.
Namun, banyak karyawannya yang ”kasihan” melihat ikhtiarnya. Mereka keluar, satu per satu. Setiap karyawannya pamit, usahawan ini mati-matian menahan haru. Kerap beberapa anggota staf intinya melihat ia menangis di balik pintu. Hubungan majikan dan karyawan di perusahaan itu memang dekat.
Tak tahan dengan situasi ini, pengusaha tersebut menjual 80 persen aset pribadi. Ia mencairkan 70 persen depositonya dan menjual 80 persen simpanan emasnya. Dengan uang itu, ia membuka sejumlah unit usaha agar karyawan yang tersisa tidak pergi. Dari restoran, industri kreatif, hotel, biro perjalanan, sampai ke usaha jahit pakaian. Ia juga menemani para karyawan itu bekerja, hari demi hari. Ikhtiar ini berhasil menahan karyawannya.
Muncul titik balik. Para karyawan, yang melihat pemilik perusahaan baik hati, bertarung keras di semua lini bisnis. Semua usaha usahawan ini berhasil dan untung. Usaha propertinya pun perlahan bangkit kembali. Kini keadaan berubah, ibarat roda. Usaha propertinya berkelas dan membawa genre sendiri.
Di titik ini, tatkala ia dan karyawannya bisa menghela napas, ia mengajak semua karyawannya membiasakan diri menabung. ”Kalau mampu hidup dengan Rp 3 juta sebulan, hiduplah dengan Rp 3 juta kendati gaji kalian, sebutlah, Rp 18 juta. Sisanya tabung. Jangan sebentar-sebentar diambil. Ketika gaji kalian naik, misalnya menjadi Rp 30 juta, tetaplah hidup dengan Rp 3 juta itu. Namun uang yang dikumpulkan, jadikan uang yang membawa manfaat. Misalnya, membeli emas atau masukkan saja di bank sebagai deposito. Kelak kalian merasakan manfaatnya,” ujar pengusaha itu.
Ia menambahkan, tidak punya uang sungguh tak enak. Tidak saja kita susah memenuhi kebutuhan hidup, tetapi sebagian orang juga tidak ”memandang” kita. ”Saya mengalami ketika usaha saya di tubir jurang,” katanya.
Usahawan lain, yang bergerak di beberapa jenis industri, menuturkan hal senada. ”Ketika usaha kita tengah berkibar, semua mendekat. Namun ketika usaha kita redup, tidak ada yang mendekat, termasuk para pejabat.” ujarnya.
Pebisnis ini menyarankan semua usahawan untuk mandiri. Jangan pernah dekat pejabat. Profesional, bebas dari aroma fasilitas negara dan pejabat. Kalau mampu melakukannya, pasti akan menjadi usahawan tangguh.
Menjaga Kepercayaan

 
KOMPAS.com - Boleh sangat percaya kepada staf, tetapi pengawasan ketat tetap penting. Ucapan ini kerap diutarakan Chief Executive Officer Grup Agung Podomoro Trihatma Kusuma Haliman dalam beberapa perbincangan dengan Kompas.
Ia mempunyai staf yang telah bekerja selama puluhan tahun. Bahkan ada yang sudah bekerja sebelum ia sendiri berkarya di perusahaan yang didirikan ayahnya, almarhum Anton Haliman. Akan tetapi, kontrol tetap perlu. Bukan tidak percaya kepada mereka, tetapi langkah kontrol dan mengawal kebijakan yang ada sangat perlu. Ini untuk sempurnanya organisasi kerja, berjalannya alur kerja, dan efektifnya sistem.
Kerap kali, tutur Trihatma, staf ”ring satu” ia ajak bercakap-cakap. Percakapan itu untuk mengecek pekerjaan mereka. Hal ini dilakukan agar mereka tetap berjalan pada jalur yang digariskan. Staf yang diajak bercakap-cakap pun senang sebab merasa dibimbing. Merasa ada yang mengayomi mereka.
Mengutip kearifan di kalangan usahawan, Trihatma menyatakan, kehilangan kepercayaan adalah malapetaka luar biasa. Itu berarti Anda kehilangan segala-galanya. Oleh karena itu, jaga kepercayaan itu sebaik-baiknya.
Kontrol atas karyawan yang amat dipercaya juga diutarakan usahawan Sofjan Wanandi. Betapapun pimpinan perusahaan memercayai anak buahnya, pengawasan yang profesional tetap dilakukan ketat. Kontrol dapat ditempuh dengan banyak cara, misalnya pengecekan di lapangan, mencermati laporan kerja, memeriksa ekstra teliti laporan keuangan, pengawasan melekat, dan sebagainya.
Pengawasan adalah salah satu sendi penting dari aktivitas bisnis. Staf digiring untuk mempunyai martabat, integritas, di samping profesional bekerja. Diingatkan untuk jujur dan menjaga kepercayaan. Tanpa kepercayaan, seseorang tidak dapat berbisnis, sulit mengembangkan usaha, sulit bermitra.
Sofjan yang menyerahkan kursi CEO kepada putranya, Luki Wanandi, tahun 1999, menyatakan, kendati Luki anaknya, meski Luki bekerja profesional, tetap saja ia melakukan kontrol ketat. Ada semacam draw the line.
Usahawan senior Tong Djoe mengutarakan, kepercayaan adalah taruhan para pengusaha. Kalau Anda sudah kehilangan kepercayaan, katanya, Anda bukan saja kehilangan segala-galanya, tetapi juga dianggap nyamuk yang menjengkelkan.
Masalah kepercayaan di bisnis ini bisa dianalogikan di banyak bidang, termasuk dalam bidang pemerintahan, kemasyarakatan, dan pekerjaan. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya seorang pejabat tinggi yang terbukti korupsi. Ia tidak saja kehilangan wibawa, dan reputasi, tetapi akan kehilangan kekuasaan dan selalu rikuh di depan publik.

Om William, Menjaga Nama Baik


William Soeryadjaya dan Prof Sumitro Djojohadikusumo.


KOMPAS.com - Di antara banyak usahawan Indonesia yang harum namanya, seorang di antaranya adalah William Soeryadjaya (20 Desember 1922-2 April 2010). Semasa menjadi bos PT Astra International, pria kelahiran Majalengka, Jawa Barat, ini jauh dari kehidupan mewah. Ia lebih menyukai hidup sederhana dan hangat. Ia menyapa semua karyawan, dari direktur sampai pegawai administrasi. Dari petugas satuan pengamanan, petugas taman, sampai petugas kebersihan kamar mandi.
Tumbuh sebagai salah seorang usahawan terkaya di Indonesia tak membuat William (Tjia Kian Liong) duduk di menara. Ia suka berdialog dengan para pengusaha kecil. Om William, begitu ia biasa disapa, bercakap-cakap sambil membagi ”ilmu berdagang”. Sebagian di antara mereka malah ia modali dan tidak perlu bayar. Ia pun memperhatikan kesejahteraan petugas kebersihan dan satpam. Ia merangkul mereka sebagaimana ia merangkul anak-anaknya.
Dunia usaha Indonesia, tahun 1992, kaget dan terharu ketika melihat Om William melepas seluruh sahamnya di PT Astra International guna membayar kewajiban putranya, Edward, pascakeruntuhan Bank Summa. Nilainya lebih dari Rp 1 triliun.
Dunia usaha terharu karena Om William, kakek baik hati ini, bersedia melepas predikat orang terkaya menjadi ”orang biasa” untuk menjaga nama baik dan terutama memenuhi ”personal guarantee” yang ia berikan. Om William memilih jadi orang biasa asalkan dapat memenuhi kewajiban dan komitmennya.
Belasan tahun kemudian, dalam percakapan dengan Kompas, Om William menuturkan bahwa ia berbahagia karena waktu itu ikhlas melepas seluruh sahamnya di Astra.
”Buat apa jadi orang kaya kalau tidak punya kehormatan? Untuk apa bergelimang uang kalau menolak memenuhi personal guarantee? Bukankah hidup tidak hanya dengan roti,” ujar Om William sambil tersenyum lebar.
Lalu dengan mimik serius ia menambahkan, tidak ada kebaikan yang sia-sia. Salah seorang dari empat putra dan putrinya, Edwin, mengikuti jejak Om William. Edwin dipandang sebagai representasi keluarga Soeryadjaya, bangkit kembali dan kini menjadi salah satu usahawan besar Indonesia.
Tentu amat banyak usahawan Indonesia yang mempunyai reputasi, kebaikan, dan ketulusan seperti William Soeryadjaya. Akan tetapi, banyak pula usahawan yang tidak berjalan lurus. Mereka enggan bayar pajak sebagaimana mestinya. Mereka suka ”ngemplang” utang, enggan memenuhi komitmen yang sudah disepakati.
Akan tetapi, hukum alam selalu berjalan dengan rapi. Siapa saja yang tidak berbisnis dengan benar dan siapa yang culas tidak pernah menemukan kedamaian. Ada saja gangguan atas usahanya. Lihatlah betapa banyak perusahaan besar yang rontok karena tidak menjalankan bisnis dengan baik dan jujur. Atau kalaupun tidak rontok, ia lelah oleh cibiran publik atau letih oleh gugatan kanan-kiri. Hidup lurus gaya Om William selalu tenteram dan menenteramkan.
Contoh lain dari berdagang dengan cara lurus dipraktikkan oleh (alm) Haji Kalla, ayah Wakil Presiden (2004-2009) HM Jusuf Kalla. Para mitra bisnisnya menyebut Haji Kalla sebagai Si Lurus. Ia acap melupakan utang teman-temannya. Akan tetapi kalau berutang, ia segera melunasinya.
Ia juga suka memperhatikan akhlak dan ibadah anak buahnya. Salah satu cirinya, jika anak buahnya kembali dari lapangan atau para sopir angkutan antarkabupaten (usaha angkutan bus Cahaya Bone) kembali ke kantor, ia tidak bertanya berapa penghasilan mereka, tetapi apakah mereka sudah shalat.
Ini hanya cerita kecil bagaimana seorang usahawan mengajak anak buahnya untuk beribadah. Ini dipercaya menjadi salah satu kiat untuk membuat karyawan bekerja sepenuh hati dan jujur.

Menjaga Reputasi Keluarga

  Jusuf Kalla 
KOMPAS.com - Dalam percakapan dengan Kompas pekan lalu, usahawan dan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia menyebut keluarganya mempertahankan nama usaha PT Hadji Kalla. Tidak ada rencana mengubah nama usaha itu, kendati skala bisnis telah berkembang sangat luas.

Jusuf mengungkapkan, ”Baik juga menggunakan nama keluarga untuk usaha. Kami otomatis menjaga kelanjutan usaha itu sebaik-baiknya, sebab kalau kinerja menurun atau bahkan terancam, kami langsung malu karena nama Kalla yang digunakan”.

Banyak perusahaan di Indonesia menggunakan nama keluarga sebagai merek dagang atau nama perusahaan. Lihat misalnya Hasjim Ning, Pardede, Bakrie, Latekko Tjambolang, La Tunrung, Santini, Salim, Gelael, Liman, Ciputra, dan sebagainya. Bisnis yang menggunakan nama bertahan cukup lama. Ada yang sudah sampai generasi ketiga, dan bahkan keempat.

Di belahan dunia lain, sebutlah Amerika Serikat, penggunaan nama keluarga acap dilakukan dan umumnya sukses. Misalnya Baskin Robbins Ice Cream (pendirinya Burt Baskin dan Irv Robbins). Perusahaan produk audio Bose (Amar G Bose). Produsen otomotif Harley Davidson (William Harley dan Arthur Davidson), dan Ford Motor Company (Henry Ford). Produsen komputer Hewlett Packard (William Redingron Hewlett dan Dave Packard).

Akan tetapi, menggunakan nama keluarga tidak selalu berdampak baik. Bila performa perusahaan turun atau ambruk, nama pendiri menjadi terusik. Kasihan pendiri perusahaan itu yang dengan susah payah membangun nama besar perusahaannya. Tiba-tiba perusahaan itu tidak mampu menyintas dalam persaingan. Untuk mengangkat kembali reputasinya tentu tidak mudah. Perlu energi luar biasa, dan investasi besar.

Mungkin karena terpanggil menjaga reputasi keluarga, kini terasa benar keinginan menjadi perusahaan yang meminggirkan asumsi bahwa perusahaan besar hanya bertahan dalam tiga generasi. Generasi pertama mendirikan dan mengembangkan perusahaan itu. Generasi kedua bersenang-senang dan menguras hasil keuntungan yang diperoleh generasi pertama. Generasi ketiga menutup perusahaan besar itu.

Generasi sekarang, menunjukkan performa menakjubkan. Perusahaan besar Salim, Agung Podomoro, Ciputra, Liman, Gelael, La Tunrung, Hadji Kalla, dan sebagainya.

Grup Ciputra kini mulai diperkuat oleh generasi ketiga yang mempunyai reputasi cemerlang di bangku sekolah luar negeri. Grup Santini dengan pemimpin gerbong Sofjan Wanandi sudah hampir 15 tahun mengoper kepemimpinan kepada anak-anaknya. Anak-anak Sofjan, Emmanuel ”Wandi” Lestarto, Luki Wanandi, dan Paulus Wanandi, mampu mengembangkan perusahaan yang didirikan Sofjan. Anak-anak ini memacu perusahaan lebih berkembang.

Kunci sukses anak-anak penerus generasi ini adalah mereka kenyang oleh gemblengan. Usai mengenyam pendidikan di luar negeri, mereka bekerja beberapa tahun di sana, lalu kembali ke Indonesia. Di Tanah Air, mereka menerima gemblengan lagi di lapangan. Mereka tidak langsung menjadi direktur utama atau CEO, tetapi berangkat dari level pekerja lapangan. Kalau terbukti mampu, karier mereka menanjak menjadi supervisor, wakil manajer, manajer, wakil GM lalu GM, direktur, senior direktur kemudian CEO. Perjalanan mereka untuk ke puncak cukup berliku dan penuh onak.

Itu sebabnya ketika duduk di kursi puncak, mereka tidak terkejut, tidak jua gegabah. Pengalaman ditempa generasi pertama, mereka tularkan ke generasi ketiga. Kondisi ini misalnya tampak di Grup Sinar Mas. Michael Widjaja (27), kini sudah menjadi CEO Sinar Mas untuk bisnis properti. Ia mengendalikan dana puluhan triliun rupiah.

Kini waktu yang akan membuktikan, apakah mereka akan mampu setangguh leluhurnya dalam mengembangkan bisnis raksasa keluarga mereka?
KORPORASI 
Determinasi!

 
 KOMPAS.com -  Tiap-tiap bisnis mempunyai pesona dan dramanya sendiri. Usahawan yang memiliki determinasi dan berwatak optimis akan bertarung mati-matian sampai perusahaan yang buntung menjadi untung.
Banyak contoh tentang perusahaan yang berjuang keras sampai jadi sukses. Sebutlah, misalnya, Garuda Indonesia, Lion Air, sejumlah media elektronik, dan industri-industri besar.
Garuda Indonesia berhasil keluar dari wilayah kerugian setelah sukses melakukan transformasi. Perusahaan dengan Emirsyah Satar sebagai chief executive officer ini tentu tidak mudah meraih laba, tetapi dengan determinasi dan percaya bahwa dengan kesungguhan penuh sebuah tujuan dapat diraih.
Garuda melakukan efisiensi di semua lapangan. Rute yang tidak menguntungkan dihapus. Garuda pun menggunakan pesawat-pesawat baru dan konsisten menjaga mutu layanan. Hal lain yang menarik, Garuda melakukan diferensiasi yang ketat sehingga percaya diri bermain di wilayah harga premium. Justru dengan harga premium ini Garuda menjadi maskapai yang amat dikejar oleh konsumen.
Tahun 2005, Garuda (masih) rugi Rp 688 miliar. Tahun berikutnya masih merugi, tetapi sudah lebih kecil, hanya Rp 197 miliar. Garuda mulai membukukan laba pada tahun 2007, yakni Rp 60 miliar. Pada tahun 2008 dan 2009 laba sudah melejit, masing-masing Rp 975 miliar dan Rp 1,018 triliun. Tahun 2011, laba sebesar Rp 809 miliar. Untuk tahun 2012 (Januari-September 2012), keuntungan sudah mencapai 60,8 juta dollar AS, ekuivalen dengan Rp 583,6 miliar.
Angka-angka ini tidak saja menarik, tetapi juga dramatis. Namun yang lebih dramatis, Garuda meraih laba besar ketika maskapai penerbangan dari sejumlah negara maju dan notabene mempunyai tradisi bagus di bidang penerbangan, seperti KLM, JAL, dan British Airways, justru berjalan terengah-engah.
Tentu bukan hanya Garuda Indonesia yang meraih kinerja bagus. Grup Bosowa lima belas tahun silam hanyalah grup usaha yang belum dipandang publik. Akan tetapi, ketika perusahaan ini berani melakukan efisiensi, berfokus pada bisnis, menekankan keunikan usaha, dan berani berekspansi, Bosowa mampu meraih kinerja luar biasa. Grup usaha ini di antaranya dominan di sektor hasil perikanan, perkebunan, konstruksi, infrastruktur, dan pabrik semen. Beberapa tahun mendatang, pabrik semen Bosowa berpotensi menjadi raksasa baru produsen semen nasional. Produksinya mendekati 7 juta ton per tahun.
Hal yang sama dialami oleh perusahaan properti Agung Podomoro. Tahun 1995, perusahaan ini bukanlah perusahaan yang diperhitungkan. Tampilannya kalah jauh dari grup-grup usaha properti yang meraksasa. Namun, perusahaan ini bekerja ekstra keras. Dalam diam, mereka membangun banyak proyek yang dipandang publik. Sukses dengan proyek pertama, disusul proyek kedua, ketiga, keempat, keenam, dan seterusnya. Karakternya yang ekspansif tetapi prudent membuat ia dengan cepat meraih kinerja cemerlang. Kini perusahaan ini menjadi raksasa properti yang disegani.
Ketika sejumlah wartawan menanyakan mengapa ia demikian ekspansif, CEO Agung Podomoro Trihatma Haliman menyatakan, semangat sama sekali tidak boleh kendur. Kalau kecepatan roda perusahaan diperlambat, hal itu akan berdampak luas dan dalam pada kinerja usaha. Di luar aspek itu, hal yang amat penting dijaga, kata Trihatma, adalah determinasi, reputasi, dan mutu tinggi. ”Jangan pernah bermain-main dengan mutu dan komitmen. Begitu sekali saja dilanggar, besar sekali dampaknya,” ujar Trihatma.

1 comment:

  1. ‘PELUANG USAHA MODAL SANGAT KECIL’
    Bagi agan-agan yang ingin membuka usaha
    Tapi bingung ingin membuka usaha apa dan hanya mempunyai modal kecil??
    Tak usah bingung,silahkan buka usaha pembayaran online
    “ppob /online nasional”
    Satu deposit bisa melakukan transaksi berikut:
    Seperti Pembayaran listrik,tiket pesawat, tiket KAI ,pln,pdam, telepon, speedy, kartu kredit, tv kabel, pulsa, kredit multifinance,voucher game, dll secara mudah, murah, namun tetap dengan dukungan teknologi yang handal dan sistem bisnis yang fleksibel dan menguntungkan.
    Hanya bermodal ‘Rp.100.000,’
    info lengkap Kunjungi : www.fastpay-nasional.com
    Hp:081335640101

    ReplyDelete