Wednesday, March 13, 2013

kendala merek lokal

Lima Kendala Merek Lokal Sulit Mengglobal

Tidak banyak merek lokal atau asli Indonesia yang berhasil menjadi kampiun di pasar internasional. Kenyataannya, merek-merek dari Eropa, Amerika, dan Asia Timur yang merajai pasar dunia. Mulai dari produk pakaian, makanan, elektronik, hingga perangkat teknologi. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat mengkerdilkan merek asli Indonesia dalam berkompetisi. Jahja B. Soenarjo, Chief Consulting Officer (COO) Direxion Strategy Consulting, memaparkan lima kendala yang menyebabkan merek lokal sulit mengglobal.
Jahja B Soenarjo, Chief Consulting Officer (COO) Direxion Strategy Consulting

Pertama, tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri. Menurutnya, keberanian dan kepercayaan diri adalah modal dasar bagi pengusaha lokal atau nasional untuk masuk ke pasar yang lebih luas. Selama ini ia menilai, merek lokal cenderung tidak berani mengambil risiko dan merasa nyaman berbisnis di pasar yang sudah mapan.
Kedua, manajemen yang buruk. Manajemen merupakan perangkat terpenting dalam menggerakan bisnis. Manajemen harus berisi orang-orang yang memiliki kapabilitas di bidangnya masing-masing. Stagnasi merek berakar dari kesalahan dalam pembagian tugas dan tanggung jawab. Kesalahan pengelolaan akan berakibat pada kegagalan pemasaran, branding, hingga penjualan.“Indonesia berpeluang melahirkan merek-merek besar, tapi karena manajemen yang buruk, maka perusahaan atau merek hanya berjalan ditempat. Faktor utamanya adalah pendidikan people-nya dan tidak adanya dream dari founder,” terang Jahja.
Faktor ketiga adalah akses keluar yang minim. Artinya, banyak pengusaha lokal yang tidak memiliki pengetahuan luas ketika hendak mengembangkan bisnis ke luar negeri. Penyebabnya antara lain : kurang mendapat informasi dari pemerintah atau enggan bertanya dan mencari tahu. Untuk itu, Jahja berharap, pemerintah harus memberikan penerangan kepada pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) seputar regulasi dan strategi menembus pasar global.
Keempat, inovasi dan kreatifitas. Ia mengatakan, merek-merek yang sukses dalam branding dan pemasaran adalah merek-merek yang mampu berkreasi, mengikuti perubahan zaman serta mengerti selera konsumen. Mulai dari tampilan kemasan, cita rasa, varian, hingga peningkatan kualitas. Tengok saja Nike, Coca Cola, Adidas, Kopi Kapal Api, dan produk dari Mayora yang mampu menembus pasar internasional. “Bisnis itu perlu kreatifitas. Sayangnya, merek lokal belum siap berkompetisi karena daya saingnya masih lemah, “ Jahja menguraikan.
Faktor terakhir adalah keterbatasan modal. Modal kerap kali menjadi penghalang pengusaha ketika ingin berekspansi. Maka dari itu, ia mengharapkan pemerintah dan lembaga pinjaman seperti bank, bisa mempermudah pengusaha lokal untuk menyuntikan dana ke bisnis mereka. “Kita bisa seperti merek-merek Amerika dan Eropa jika kita memiliki tekad untuk menghapus lima faktor kendala tadi. Jika dirasa masih belum mampu, ada baiknya menyewa konsultan atau business coach,” imbuh Jahja

Banyak Brand yang Tidak Mewakili Karakter Konsumen

Di era horizontal ini, positioning, diferensiasi, branding (PDB) saja tidak cukup. Karena konsumen dan produsen posisinya sejajar. Brand harus punya karakter. Dengan karakter yang kuat, brand akan kuat karena konsumen akan mencari brand yang sesuai (mewakili) karakter konsumen. Sekarang banyak brand yang awalnya tidak ada masalah tiba-tiba ditinggalkan konsumen. “Karena konsumen merasa brand tersebut tidak sesuai dengan karakternya,” kata Taufik, Chief Business Officer MarkPlus Inc. mengungkapkan alasannya.
Astra, salah satu brand yang memiliki visi jangka panjang
Selain karakter, perusahaan juga dituntut untuk tanggap terhadap isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan dan manusia. Ambil contoh kasus yang pernah menimpa Apple. Sebagai brand, kekuatan Apple tidak diragukan lagi. Tetapi saat tersangkut kasus perlakuan perusahaan supplier Apple terhadap buruh-buruhnya turut memengaruhi pandangan konsumen pada Apple. “Bicara brand saat ini sangatlah kompleks. Tidak hanya PDB dan karakter saja, namun juga berkaitan dengan value chain pemilik merek tersebut,” ujar dia.
Masih dalam kasus Apple, untuk menyelamatkan brand tersebut CEO-nya tidak sekadar melakukan klarifikasi saja. Namun, CEO Apple terjun langsung ke perusahaan tersebut di Cina untuk memastikan keadaan yang sebenarnya dan memberi solusi. “Beliau sadar kalau ini dibiarkan akan membahayakan brand Apple yang sudah lama dibangun karakternya,” tutur dia.
Banyak pemilik merek di Indonesia masih bergerak alami. Masih sedikit pemilik merek yang melakukan rejuvinasi agar mereknya tetap relevan untuk segala kalangan. “Pola pikirnya, pokoknya punya merek yang kuat. Kalau nanti ada yang beli ya lebih bagus lagi. Itu yang harus dihindari,” tegasnya.
Meski demikian, ada perusahaan di Indonesia yang sudah mulai mengarah ke sana. Taufik menyebut Astra sudah punya visi jangka panjang. “Memang produknya tidak gampang ditemui, tetapi sebagai perusahaan Astra sudah punya visi ke depan tentang reputasinya,” kata dia. Astra tidak sekadar memikirkan merek yang kuat, tetapi juga reputasi jangka panjang. “Baru-baru ini kan Astra mendapat predikat best wealth creator di ASEAN. Itu sudah dibangun belasan tahun yang lalu,” tambahnya. Memang, upaya Astra ini tidak lepas dari pendirinya, William Soeryadjaya. “Beliau ini tahu bahwa reputasi perusahaan akan memengaruhi produknya. Maka, beliau mau membayar utang yang sebenarnya bukan tanggung jawab dia,” tutur Taufik. Buah dari langkah tersebut, reputasi Astra sebagai perusahaan yang dipercaya sangat tinggi. Akibatnya, kalangan industri keuangan juga percaya ketika mengucurkan kredit pada Astra.
Pemilik brand di Indonesia mestinya mulai mengarah ke sana. Tidak hanya sekadar membuat brand besar, terkenal dan pelayanan bagus. Tetapi membangun brand dengan reputasi bagus,” kata dia. Bila merek sudah punya reputasi bagus, ketika pemilik merek sudah tidak ada maka merek masih tetap bertahan. “Punya merek besar dan bagus, itu gampang. Tetapi bagaimana membuat merek dengan reputasi bagus, itu yang harus terus diupayakan,” tegasnya.
Bila brand sudah memiliki reputasi bagus, maka kemungkinan untuk bertarung di regional atau global cenderung mudah. Benar memang, bermain di negeri orang tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi, dengan reputasi bagus pasti kemungkinan itu terbuka lebar. Taufik mengambil contoh Sido Muncul. Produsen jamu tersebut bisa memulai dengan membangun reputasi sebagai produsen herbal. “Dan, bila Sido Muncul bisa menginspirasi pemain-pemain lainnya, Indonesia bisa menjadi pusatnya produk herbal di dunia,” tutur dia. Maksudnya, selain reputasi perlu juga dibarengi sinergi antar pemain untuk membangun reputasi negara.
Pemerintah, kata Taufik, pelan-pelan juga mulai membuka jalan. Meski belum terlalu seagresif pemerintahan di Korea Selatan. Upaya pemerintah, misalnya, ditunjukkan dengan kebijakan pegawai Kemendag harus punya skor TOEFL 600. “Ini tujuannya agar orang-orang Kemendag dapat berjualan di luar negeri dengan bahasa yang bagus,” dia menuturkan.

Fesyen Merek Lokal Punya Sejumlah Dilema

Pemerintah berusaha mendorong masyarakatnya untuk mencintai produk dalam negeri. Akan tetapi, produk fesyen lokal sendiri tak leluasa berkembang seiring dengan kian derasnya gempuran dari produk asing. Geliat bisnis merek lokal pun terhambat oleh sejumlah kendala domestik.
Dicky Sukmana
Local brand di Indonesia banyak mengalami dilema,” kata Dicky Sukmana, owner dari usaha fesyen Invictus, di sebuah acara seminar mengenai tekstil, di Bandung, Seni (7/1/2013).
Persaingan usaha fesyen lokal dengan merek global semakin sengit. Dengan berbasiskan produksi massal, merek global bisa memasang harga yang terjangkau. Apalagi, kata Dicky, berbagai merek asing kerap melakukan diskon besar-besaran. Kondisi ini lantas membuat konsumen berpikir dua kali untuk membeli produk dalam negeri yang dari segi harga bisa lebih mahal ketimbang produk impor.
Permasalahan tidak sampai di situ saja. Ia menyebutkan, pengusaha fesyen lokal juga harus menghadapi biaya sewa tempat dan pajak yang tinggi. “Saya kasih ilustrasi, tahun 2003, saya sewa tempat Rp 17 juta setahun untuk luas paling 25 meter persegi, sekarang harga itu sudah Rp 100 juta. Itu di tengah-tengah daerah strategis,” kata dia.
Sementara itu, bila pengusaha menaikkan harga produk, maka dikhawatirkan produk tidak akan laku lantaran semakin sulit mengimbangi harga merek global yang kian terjangkau. “Percepatan kenaikan harga produk sama rental tempat nggak seimbang,” lanjut Dicky yang juga menjabat sebagai Creative Director di Marketbiz Media.
Masalah pembiayaan, masalah plagiat atau peniruan, dan kenaikan tarif dasar listrik juga termasuk yang menghantui pengusaha fesyen lokal. Kenaikan TDL pasti akan memberatkan pengusaha dalam biaya produksinya. Produk lokal pun rentan pembajakan. “Sering saya mengalami orang beli ke toko kami 5 pieces, tapi ketika dibawa ke daerahnya jadi berlusin-lusin,” terang dia.
Ia menyebutkan juga bahwa dasar permasalahan terletak di internal usaha. Menurut Dicky, pengusaha lokal kurang bisa mengatur usahanya dengan baik. “Jadi kami learning by doing semua, nggak pernah tahu cara me-manage staf yang besar,” imbuhnya.
Sebagai solusi, ia pun berharap agar merek-merek lokal melakukan regenerasi. Mulai tahun 2010, regenerasi sudah tampak dilakukan pengusaha fesyen lokal. Sekarang merek-merek lokal sudah mulai menggunakan konsep digital dalam usahanya. Dia juga berharap agar merek tidak hanya sekadar merek, tetapi kata dia, “Ya, brand dengan soul.”
Selain koreksi di internal perusahaan, Dicky berharap antarindustri di bidang tekstil pun bisa bekerja sama. Karena, pengalaman selama ini, industri fesyen lokal sering dipandang sebelah mata oleh perusahaan garmen untuk mendapatkan bahan baku tekstil yang berkualitas. “Kalau bule yang datang diservis bagus,” tuturnya.

No comments:

Post a Comment