Monday, March 11, 2013

bisnis sederhana dan kreatif

Efisien Berbisnis

KOMPAS.com - Tiga tahun silam, usahawan sepatu, Junus Maharya, termangu di tokonya. Dari catatan istrinya, Mei Lien, omzet dan profit tokonya terus tergerus. Dua puluh tahun silam, ia masih meraih untung rata-rata Rp 15 juta per bulan. Omzet itu kini hanya Rp 3 juta per bulan pada akhir tahun 2011. Kalau harus menggaji dua karyawan toko, dia sudah tidak memperoleh satu sen pun keuntungan.

Bisnisnya yang lain, bengkel motor, bernasib sama. Keuntungan merosot menjadi Rp 2,7 juta per bulan. Bayar gaji tiga karyawan tidak cukup sehingga ia harus nombok. Ia mempunyai satu toko lagi, yakni toko fotokopi dan aneka kebutuhan sekolah. Keuntungan di toko ini masih lumayan, sekitar Rp 9 juta per bulan. Bayar dua karyawan dan listrik, ia masih merasakan keuntungannya.

Akan tetapi, ia tidak puas. Dari diskusi dengan kawan-kawannya, pengalamannya selama ini maupun dari banyak membaca, ia mengambil keputusan radikal. Toko sepatu dan bengkel ia jual. Ia memboyong keluarganya pindah ke toko fotokopi. Uang jual dua unit rumah sebesar Rp 8,2 miliar ia gunakan untuk bisnis baru. Toko fotokopi dan kebutuhan sekolah tetap dibuka karena menguntungkan.

Bisnis barunya adalah memperantarai produsen dan konsumen sejumlah komoditas penting, seperti beras, gula pasir, tepung terigu, garmen, semen, besi dan pilar beton, pasir, dan paving block. Untuk beras, misalnya, sebutlah ia membeli sepuluh ton beras dari sentra beras dan menjualnya kepada pedagang di pasar-pasar. Keuntungan yang dia peroleh Rp 30 per kilogram.

Kelihatannya Rp 30 memang ”uang kecil”, tetapi karena sekali transaksi ia bisa jual 20.000 kg, maka keuntungan yang ia peroleh adalah Rp 600.000. Pada komoditas lain seperti terigu, gula pasir, margin keuntungan yang dia peroleh lebih tipis lagi, yakni rata-rata Rp 10 per kg. Akan tetapi, dengan tingginya transaksi per hari, ia panen setiap hari.

”Banting setir” bisnis tadi membuat Junus tersenyum. Ia tak pusing lagi untuk makan dan menggaji karyawan. Ia meraih laba usaha yang jauh lebih besar. Dari keuntungan itu, ia melebarkan usaha. Kini ia membeli emas murni dalam jumlah beberapa kilogram. Emas itu dilepas ketika harga naik beberapa persen. Keuntungan dari emas lebih atraktif. Kini Junus seakan sudah menemukan bintangnya. Ia bekerja jauh lebih rileks.

Banyak usahawan yang masuk ke wilayah ini dan umumnya sukses. Misalnya Teguh Samiadji, yang masuk ke bisnis jual beli emas dan properti. Teguh langsung membeli lima unit ruko dan tiga unit rumah yang dibangun perusahaan properti raksasa di kawasan strategis. Setelah dua tahun, baru ia lepas. Keuntungan yang dia peroleh bisa mencapai dua kali lipat harga rumah dan ruko.

Begitu pula emas, Teguh biasa membeli beberapa kilogram emas, lalu melepasnya beberapa bulan kemudian. Bisnis ini dioperasikan Teguh dari rumahnya. Pegawainya hanya empat orang. Keuntungan per tahun Teguh, tidak kurang dari Rp 2,8 miliar atau Rp 233,3 juta per bulan atau Rp 11,6 juta per hari

Berbisnis Itu Sederhana

KOMPAS.com - Bagaimana cara berbisnis yang efisien dan efektif? Pertanyaan ini diajukan spontan seorang mahasiswa kepada usahawan Sudono Salim (Liem Sioe Liong) di sebuah acara rileks di Hotel Grand Hyatt tahun 1996. Oom Liem, sapaan akrab usahawan itu, hanya tertawa, tetapi kemudian hanya terdiam.
Om Liem, yang hari Minggu, 10 Juni lalu, meninggal dunia di Singapura, tetap diam seribu bahasa sekalipun terus dipancing untuk berbicara. Oom Liem memang dikenal tidak suka banyak bicara.
Dua temannya yang hadir di sana, usahawan Eka Tjipta Widjaja dan Sukanta Tanudjaja dari PT Sinar Sahabat, juga diam saja. Namun, akhirnya ketika melihat mahasiswa tadi masih duduk, Oom Liem pun tidak tega.
”Saya ini orang lapangan, mana mengerti pertanyaan seperti itu,” ujarnya. Ia mengatakan, berbisnis itu pada intinya meraih untung. Kalau tidak laba, bukan dagang namanya. Namun, laba di sini tidak asal laba, tetapi dengan cara benar. Tidak menabrak aturan, tidak merugikan atau mengganggu orang lain.
Ia menambahkan, hal penting yang harus digenggam erat adalah ”menjaga nama” (reputasi). Jangan menipu, dan kalau berutang, bayarlah utang itu. Jangan sampai tidak bayar utang. Tak baik itu. ”Sekali dua, kamu masih bisa menipu. Tetapi, pada kesempatan berikutnya, tidak ada lagi yang percaya kepada kamu. Itu celaka namanya!”
Oom Liem lalu bercakap-cakap akrab dengan Eka dan Sukanta. Usia mereka tidak berselisih jauh. Saat itu, Oom Liem berusia 81 tahun, Eka Tjipta 75 tahun, dan Sukanta 68 tahun.
Usahawan Tong Djoe, sahabat baik Oom Liem, pada kesempatan lain mengatakan, apa yang disampaikan Oom Liem adalah pokok-pokok berbisnis yang benar. Tong mengatakan, berbisnis pada intinya memang untuk meraih profit. Namun, para pebisnis harus memahami bahwa meraih profit di sini dalam konteks mengail keuntungan dengan jalan lurus.
Tidak menipu, tidak mengelabui, tidak membohongi, tidak curang. Jangan menjual barang kedaluwarsa. Stok barang masih sangat banyak, tetapi dibilang habis. Hanya untuk meraih untung ketika barang langka. Sebab, harga otomatis naik saat permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan suplai.
Menjaga nama baik juga digarisbawahi Tong Djoe. Ia mengatakan, dulu ketika generasi pertama masih aktif berdagang, kepercayaan menjadi sendi bisnis yang amat memesona. Pinjaman ratusan juta rupiah (amat besar pada awal 1970-an) bisa diberikan begitu saja tanpa tanda terima.
Saat utang dikembalikan dengan bunga, yang meminjami tidak bersedia menerima bunga. Ia hanya mau menerima pokok utang. Menerima bunga berarti mencederai pertemanan dalam bisnis.
Ini membuat yang tadinya berutang merasa berkewajiban menjaga perangai. Jangan sampai melakukan tindakan tidak patut. Ia pun mesti melakukan hal yang sama kepada usahawan lain yang membutuhkan. Jadilah bisnis dengan sistem kepercayaan itu berjalan mulus dan damai.
Dalam era kini, utang-piutang berjumlah besar selalu butuh saksi, tanda terima, pakai akta notaris, dan jaminan berlapis, tetapi kerap masih dibayangi masalah. Bagi Tong, itu mencederai filosofi bisnis yang baik dan benar.
Mestinya, kata Tong, langgam kita berbisnis kembali ke masa lalu yang penuh damai, persahabatan tulus, persaingan sehat, dan setia kawan yang dalam.
Bisnis dan Kreativitas

 


KOMPAS.com - Obral produk sepatu dan sandal Crocs pernah membuat fenomena. Produk dengan rupa-rupa model ini sukses menggelar obral (sale) beberapa waktu lalu. Obral yang dilakukan sebetulnya tidak banyak berbeda dengan sebelumnya. Akan tetapi, karena varian yang ditawarkan menarik, pembeli tetap penuh sesak. Mereka rela antre beberapa kilometer di mal untuk mendapatkan Crocs.

Selain Crocs, ada beberapa merek yang melakukan obral. Misalnya Gucci, Burberry, Zara, dan Ermenegildo Zegna. Semua meraih kesuksesan. Ada banyak faktor penyebab kesuksesan ini, di antaranya cara mengemas obral, potongan harga yang ditawarkan, serta lokasi dan pelayanan pengunjung di lapangan.

Banyak juga perusahaan yang menggelar obral, tetapi sama sekali tidak sukses. Penyebabnya, komoditas yang ditawarkan tidak menggetarkan minat membeli, lokasi tidak representatif, dan penyelenggara obral tidak mampu mengaduk emosi publik. Jadilah obral itu sepi pengunjung.

Menghadapi persaingan usaha yang amat keras seperti tampak saat ini, semua pengendali perusahaan harus mampu menghadapi semua kondisi lapangan. Jangan latah sebab kreativitas perusahaan sangat dibutuhkan untuk menghadapi persaingan usaha yang acap kejam.

Tidak ada ruang untuk pebisnis yang tidak kreatif. Artinya, kalau sudah ada perusahaan yang mendekati pasar dengan melakukan langgam obral, perusahaan lain hendaknya mencari langgam lain agar publik tetap memberi apresiasi tinggi kepada perusahaan tersebut.

Beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan kreatif dan inovatif sukses naik ke puncak bisnis dengan formula yang mengesankan. Beberapa perusahaan properti sukses menjalankan bisnis dengan genre baru. Perusahaan-perusahaan itu membagikan kupon agar tidak saling sikut dan mendapat hak beli berdasarkan urutan. Untuk mendapat nomor pun mesti menyetor tanda jadi sekian juta rupiah.

Banyak pertanyaan mengemuka berkaitan dengan antre nomor beli properti ini. Namun, seperti diutarakan Direktur Eksekutif Summarecon Serpong S Benjamin, sistem kupon dipakai karena jumlah peminat jauh lebih besar daripada unit rumah atau apartemen. Ini sebuah kemajuan hebat sebab sekian tahun lalu, ketika masih krisis, rumah bukan pilihan utama. Rumah bahkan menjadi hadiah untuk pembelian aneka barang luks, seperti mobil. Kini, rumah kembali menjadi kejaran penduduk.

Benjamin tidak sependapat dengan pandangan bahwa penjualan rumah dengan urutan kupon sebagai taktik dagang. Kupon diadakan agar tidak terjadi rebutan rumah sesama pembeli. ”Tren penjualan memang sedang naik, Kami pernah menjual rumah 400 unit, yang antre 2.500 pembeli. Penjualan selesai dalam empat jam.” ujarnya.

Kesuksesan yang diraih sejumlah pengembang di Serpong tentu bukan usaha sehari. Mereka membangun reputasi, servis, dan nilai dengan sabar selama puluhan tahun. Hasil yang diraih sekarang salah satu puncak dari usaha panjang dan kerap melelahkan pada masa-masa lalu.

Kerap kali para pebisnis terjebak dalam keinginan meraih hasil instan. Tidak lagi melihat proses. Sejumlah produk dunia, katakanlah seperti Coca Cola, Apple, Mercy, Toyota, dan Samsung, meraih kesuksesan setelah menjalani proses bertahun-tahun. Bukan hanya dalam semalam.

No comments:

Post a Comment