Tuesday, March 5, 2013

cerita sukses pemasaran

Kisah Sukses Indra Dari Sales Jalanan Hingga Menjadi Direktur Marketing

 
 
 
 
 
 
Rate This

Terjun di dunia pemasaran bukan cita-cita Indra Widjaja Antono. Sebab, sejak kecil, Direktur Pemasaran Agung Podomoro Group ini pengen banget menjadi pilot. Tapi sayang, dia gagal masuk sekolah penerbangan di Curug, Tangerang.
Akhirnya, Indra pun memilih membantu ortu yang membuka toko kelontong di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dari sinilah minat Indra terhadap dunia pemasaran pelan-pelan mulai tumbuh.
Indra makin lama makin mantap menggeluti bidang marketing setelah mengagumi seorang ibu yang punya kios tepat di seberang toko kelontong orangtuanya. Si ibu punya pekerjaan sampingan: jasa persewaan kios milik orang lain. “Saya kagum dengan keahlianya dalam meyakinkan orang untuk menyewa kios,” kenang Indra.
Singkat cerita, Indra pun belajar tentang seluk-beluk marketing properti dengan mengkuti pelatihan di Era Indonesia. Tahun 1989, dia memulai pekerjaan di bidang marketing sebagai broker rumah bekas. Dia menawarkan rumah seken dari pintu ke pintu atau door to door di wilayah Kebayoran Lama. “Saya tanya-tanya, siapa yang mau beli atau menyewa rumah,” kata pria kelahiran tahun 1971 itu.
Guna mengasah ilmu marketing properti, sembari kerja Indra mengambil kuliah Jurusan Real Estate Development – sekarang Planologi – di Universitas Tarumanegara. “Sore kuliah, pagi sampai siang menjadi broker,” kata dia.
Menghadapi berbagai penolakan
Pekerjaan sebagai broker Indra lakukan sampai lulus kuliah di tahun 1993. Meski sering mendapat penolakan dan caci maki, selama menjadi broker dia bisa mempelajari bagaimana cara berurusan konsumen, sifat pelanggan, hingga keadaan pasar.
Lulus kuliah, Indra bekerja di Jakarta Baru Cosmopolitan, joint venture Summarecon dengan Batik Keris. Pada perusahaan tersebut dia mengawali karier di dunia marketing sebagai sales, lalu asisten supervisor, supervisor, sampai keluar pada tahun 2001 disaat memegang posisi asisten manajer marketing.
Setelah itu, Indra bergabung dengan Agung Podomoro. Ia menjadi manager umum proyek Sunter Agung. Ia juga menangani marketing dan program ISO manajemen. karirnya melesat. Di tahun 2003, ia jadi wakil direktur marketing.
Satu tahun kemudian, Indra jadi direktur marketing di usianya yang baru 33 tahun. “Saya sempat menolak karena takut, apakah keputusan yang saya buat dapat dipercaya oleh mereka yang usianya lebih senior & lebih berpengalaman,” katanya.
Salah satu dari tantangan Indra ketika itu yaitu mewujudkan Back to The City, konsep permukiman di tengah kota. Untuk itu, dia sempat mencoba naik kereta listrik untuk mendengarkan kebutuhan masyarakat urban terhadap hunian. Bahkan, ia juga meluangkan waktu untuk sekadar berdiri di Jembatan Tomang untuk menyaksikan kegiatan warga usai pulang kerja.
Dari hasil tanya sana-sini dan pengamatannya, Indra menyimpulkan: tempat tinggal di tengah kota amat dibutuhkan. Dia pun mewujudkan konsep Back to The City dalam proyek Agung Podomoro & sukses memasarkannya. Soalnya, “Orang pasti ingin tinggal di tengah-tengah kota,” tambahnya.


Kisah Sukses Penjualan dgn Lubang Odol "Lebih Besar"


Alkisah, Penjualan sebuah brand Odol pada tahun 80 an dulu sudah stagnan pada sebuah angka penjualan. Si Bos besar akhirnya punya ide untuk mencari seorang marketing manager yang mampun menjawab tantangannya yaitu meningkatkan penjualan brand odol tersbut (katakan saja 100 persen) dari penjualan sekarang.

Akhinrya dibuatlah sayembara dan lowongan kerja untuk mencari super manajer ini, berikut isi sayembaranya:

"Dicari seorang Marketing Manager yang bisa meningkatkan penjualan brand kami dengan gaji 1 juta dollar, Di salam surat lamaran tuliskan apa rencana Anda untuk mencapai target penjualan tersebu"

Tentu saja pada jaman itu gaji 1 juta dollar itu sangat luar biasa besarnya, sehingga ribuan atau puluhan ribu pelamar mengirimkan lamarannya. Hampir semua lamaran berisi kisah sukses di tempat kerja sebelumnya dan rencana-rencana besar untuk meningkatkan penjualan Brand Odol in. Sampailah pada sebuah lamaran yang membuat syok Bos dari brand tersebut karena di dalam lamarannya hanya tertulis 3 baris kata:

  1. Saya tidak mau digaji 1 juga dollar, bayar saya dengan persentase saham sesuai peningkatan penjualan kelak.
  2. Ide saya hanya akan saya jabarkan jika Anda meng Hire saya.
  3. Jika gagal, saya yang bayar 1 juta dollarnya.


WOW, hampir copot mungkin jantung di Bos membaca surat lamaran tersebut. Singkat kata akhirnya orang inilah (Rex, kita sebuat saja namanya, bukan nama sebenarnya tentu) yang dihire untuk menjadi marketing manager brand tersebut. Pikir Bos nya, "tidak ada salahnya kita coba, toh kalo gagal dia yang bayar kita."

Sih Rex kemudian masuk kantor (singkat kata), 2 minggu ga ngapa-ngapain kecuali ngobrol dengan banyak pengguna brand tersebut sampai pada akhirnya minggu ke 3 dia berkunjung ke pabrik, "Ok ini yang akan kita lakukan untuk meningkatkan penjualan brand kita, bukan 100 persen bahak mungkin 1000 persen" semua tentu dengan antusias menunggu ide dari si marketing direktur dan si marketing direktur berkata "idenya adalah BESARKAN LUBANG ODOLNYA", "udah itu ajah, semua kegiatan berjalan seperti biasa ajah".

Ternyata secara ajaib penjualan brand tersebut meningkat melewati target yang pernah ditetepkan oleh perusahaan hanya dengan "Membuat Besar Lubang Odol".

Nah cerita ini mungkin tidak persis sama dengan kenyataannya karena saya lupa detail teman saya bercerita beberapa waktu lalu namun true story sebuah brand odol di negeri sana. Bagaiamana sebuah keputusan "sederhana" punya implikasi besar terhadap penjualan perusahaan.

DI Metode Creative Sales yang Creasionbrand kembangkan, teknik ini bisa dipakai untuk Credo 2 (Buy Often, membuat konsumen membeli lebih sering) ataupun Credo 3 (Buy More, Membuat konsumen menggunakan lebih banyak) dimana pendekatan seperti ini sangat penting untuk bisa meningkatan penjualan perusahaan sekalipun secara ektrim tanpa menambah konsumen baru. Lubang odol yang lebih besar seperti sekarang ini membuat orang lebih banyak menggunakan odol tanpa disadarinya, bahkan iklannyapun odol digunakan full dari ujung sampai ke ujung lagi di sikat gigi.

Dalam Creative sales tools, lubang odol lebih besar ini bisa dikembangkan melalui product tatik dengan elemen design product. Ada 12 elemen lainnya yang bisa dikembangkan, namun tentu tidak semua harus kita gunakan tergantung bagaimana hasil observasi dan riset kita di pasar. Kembali ke manager tadi, beliau menghabiskan cukup banyak waktu mengamati prilaku penggunaan odol masyarakat sekitarnya, dan dari situ sang manager mendapatka insight bahwa orang cenderung menggunakan odol lebih sedikit karena lubangnya memang kecil dan tentu saja hal ini disadari atau tidak ternyata bukan karena ingin berhemat tapi productnya lah yang menciptakan prilaku demikian sehingga untuk merubah behaviour penggunannya productnyalah yang harus di "otak atik" bukan lainnya seperti iklan, harga dll.

Contoh lain, barusan saya beli kecap, betapa kagetnya saya ketika menungkan kecap banyak sekali kecap yang keluar dari botolnya, stelah diperhatikan ternya tutup kecapnya sekarang "BESAR' haha sialan, mau membuat saya "membeli" lebih sering ini namanya, biasa kita beli kecap tutupnya kita gunting bagian atas sehingga keluarnya bisa sedikit, eh sekarang tidap perlu digunting lubangnya udah segede "gabang" haha. (Btw emang gabang segede apa yah).

Apa pelajaran yang bisa kita ambil:

  1. Inovasi itu akan punya impact bila didasari pada kebutuhan "tampak" dan "tidak tampak" dari konsumen brand kita. Jangan membuat asumsi apalagi "menurut saya" dalam dunia pemasaran dan penjualan. Carilah dulu informasi dan data agar muncul insight dan "EUREKA" untuk brand kita bisa sukses.
  2. Berani beda itu baik walaupun tentu ada resiko. Marketing Manager itu mungkin saja tidak terpilih jika dia mengirimkan surat lamaran sama dengan yang lainnya, namun karena berani mengambil resiko dia mengirimkan lamaran yang "nyeleneh" yang akhirnya membuat dia diterima walaupun tentu kita juga harus muncul dengan ide yang briliant. 
Saya sering mengatakan dibanyak seminar khususnya bila lagi sharing dgn temen-temen mahasiswa, ketika melamar kerja mengapa selalu mengirimkan lamaran dengan Amplop Coklat? memang ada yang tulis harus pake amplo coklat? Jawabannya "karena biasanya begitu". Nah itulah yang membuat kita tidak punya nilai tambah karena kita mengikuti apa yang "biasa" dilakukan, coba dong kirim pake Amplo Warna Pink, di jamin dengan ribuan amplop di mejad HRD, amplop kamu akan outstanding. Ada resiko tentunya, tapi peluang untuk mendapat "attention" jauh lebih besar dari pada ribuan lainnya yang sama-sama amplop coklat.

Semoga bermanfaat.



KISAH SUKSES SAMPOERNA HIJAU


Untuk membuat pamor merek Sampoerna Hijau kembali bersinar, HM Sampoerna berani merevitalisasi  strategi pemasarannya. Seberapa jauh hasil yang bisa dicapainya?
            Geng Hijau sedang dibengkel si Ujo. Begitu pengantar awalnya. Lalu, Iklan  yang menampilkan adegan akhir dimana gerombolan anak muda mendorong mobil sambil iseng menggoda gadis yang lewat. Di lain kisah, geng ini, meminta berbagai permintaan setelah melihat bintang jatuh. Namun dalam lain suasana, mengisahkan tentang perjalanan mengantar gadis yang barang bawaannya  buanyakkkk banget. ‘’Ah enggak apa-apa,’’ serempak gerombolan anak muda ini menjawab, setiap si gadis bertanya,’’sempit ya?’’.
            Kehadiran Sampoerna Hijau (SH) dengan Geng Hijau (GH)-nya yang khas akhir-akhir ini, tak bisa disanggah memang luar biasa. Kendati tema yang diusung bersahaja, namun selalu cerdas dan segar. Ide-ide yang disampaikan adakanya sangat sederhana, tapi tetap bisa riang, asyik, bahkan mampu membangkitkan nostalgia indah masa lalu. 
            Iklan SH yang mengekspos aktivitas GH juga ditayangkan secara intensif. Malah hingga kini intensitasnya enggak pernah kendor. Tahun 2000 lalu, menurut ACNielsen Indonesia, total belanja iklan SH mencapai Rp9,61 miliar, sedangkan di tahun 2001 hingga Agustus telah dihabiskan biaya iklan senilai Rp8,69 miliar. 
            Kemunculan GH yang cukup intensif, bisa dibaca bahwa HM Sampoerna (HMS), produsen SH memang mulai berani memberi porsi yang lebih pada merek SH. Jika sebelumnya, manajemen HMS nampak lebih disibukkan mengelola dua ‘’mesin uangnya’’ Djie Sam Soe dan Sampoerna A Mild, maka kini SH agaknya mulai mendapat ‘’jatah’’ lebih.
Sebelum-sebelumnya boro-boro SH diberi jatah bujet promosi hingga nyaris sepuluh miliaran rupiah. Promosinya juga hanya melalui media-media yang sangat lokal. Paling-paling ratusan juta rupiah saja yang harus dikeluarkan per tahun. Bandingkan, misalnya, dengan Djie Sam Soe atau Sampoerna A Mild yang rata-rata menghabiskan belanja iklan sebesar Rp15 miliar per tahun.
Demikian pula kapasitas produksinya yang dimiliki SH, sangat terbatas. Bahkan seringnya hanya memanfaatkan kapasitas terluang (idle time) dari mesin Dji Sam Soe. Dari sisi distribusi, cakupan pasar yang dikembangkan sangat marginal, karena masih bermain di wilayah pedesaan. Makanya enggak heran jika manajemen HMS merasa pelu merombak (merevitalisasi) semua strategi yang berkaitan dengan SH.
Cikal bakal revitalisasi SH mulai terjadi tahun 1992-1993. Langkah awalnya, dengan menggarap strategi komunikasi yang lebih genah. Terutama melalui media cetak dan below the line. Namun, sayangnya usaha ini kurang berhasil. Penyebabnya, tak ada kesesuaian antara isi iklan dengan target pasar. Tahun 1998, baru ada sedikit kemajuan. Waktu itu strategi yang dipakai beriklan di televisi dengan tagline ‘’Mainkan Saja’’. Meski tak bisa dibilang gagal, upaya ini belum terlalu mengangkat pertumbuhan kinerja SH secara signifikan.

Ide-ide Kreatif

Momentum keberhasilan, dimulai ketika SH mengkampanyekan tema promosi baru ‘’Asyiknya Ramai-Ramai’’, dua tahun lalu. Tepatnya Agustus 2000. Positioning baru yang dipilih SH ialah nuansa kehangatan dalam kesederhanaan. Dari sinilah, akhirnya mencuat pula nama Geng Hijau. Julukan untuk gerombolan pemuda yang jadi tokoh sentral dalam setiap versi iklan SH Versi iklan SH yang sudah beredar diantaranya tema pengangguran, bekerja di bengkel, puasa dan bintang jatuh (yang paling akhir).
             Perubahan juga terjadi pada strategi pemasaran. Kalau sebelumnya, secara psikografis produk ini disasarkan secara umum ke konsumen yang lebih mementingkan value for money (price concius), kini mulai ditambahi unsur-unsur  emosional, sebagai unsur diferensiasi.
‘’Kini Sampoerna Hijau kami sasarkan pada mereka yang tergolong anak muda yang produktif, memiliki rasa kesetiakawanan yang erat, saling tolong menolong, kompak dan mau peduli dengan lingkungannya,’’ jelas Rudolf  Tjandra, MSA Manager PT HM Sampoerna Tbk. Dengan mencitrakan diri sebagai produk yang murah namun trendi, SH berharap kesan tua yang dikaitkan dengan karakter perokok SKT (Sigaret Keretek Tangan) pelan-pelan bisa luntur.
Strategi emotional marketing yang kini dimainkan HMS untuk SH, menurut Rudolf, tak bisa ditunda-tunda lagi. Karena di bisnis rokok, kelebihan cita rasa atau kandungan tar sudah tidak bisa dijadikan bahan jualan sebagai pembeda produk dibanding para pesaing.  ‘’Soalnya saat ini semua produk rokok, baik racikan, kadar nikotin maupun tar sudah mirip-mirip  satu sama lain,’’ tambahnya lagi.
Tak hanya mentok disitu. Dari sudut distribusi, cakupannya juga diperluas. Kalau semula hanya beredar di perdesaan, sekarang mulai bisa ditemui dipinggiran kota. Kelak, kata Rudolf, dirinya berharap SH juga bisa menancapkan kukunya kuat-kuat di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Di sisi lain, kalau semula hanya berkutat di wilayah Jabar, maka kini seluruh Jawa dicoba dipentrasi secara merata. Salah satunya lewat aktivitas ‘’Parade Bedug’’ yang baru saja usai. Bahkan luar Jawa pun pelan-perlan mulai dijajaki, seperti Lampung dan Medan. ‘’Jadi kami juga berupaya menggarap secara nasional.’’
            Yang patut dicatat, strategi cerdas lain yang dijalankan HMS adalah penciptaan berbagai pusat pertumbuhan pasar SH. Caranya cukup asyik  dan nyeleneh. Untuk meningkatkan brand loyalty, HMS membuat dan mengembangkan satuan basis massa SH, yang tersebar di berbagai wilayah pasar. Komunitas ini punya kesamaan tertentu. Misalnya masyarakat nelayan, petani, penduduk penggiran kota (marginal), anak jalanan, pelabuhan dan penjual kiki (kacang ijo dan ketan item).           
            Lewat komunitas itulah, SH dikampanyekan secara sistematis. Salah satu caranya dengan memberi berbagai  bantuan. Contohnya. Untuk komuntas nelayan, maka HMS membantu memberi fasilitas layar untuk perahu yang biasa mereka gunakan untuk mencari nafkah sehari-harinya.  “Ketika berlayar mereka juga kami bekali produk Sampoerna Hijau,’’ sebutnya. 
            Khusus untuk penjual kiki, idenya lumayan kreatif. Si penjual diminta mendisain harga barang dagangannya satu paket dengan satu batang rokok SH. Selain itu, di setiap warung selalu disediakan satu gelas yang ditempeli logo SH dan juga berisi rokok SH. Sebagai bentuk imbalan bagi para pedagang kaki lima ini, diantaranya HMS menyelenggarakan mudik bersama rutin setiap tahun. Setidanya dua ribu orang yang diberangkatkan HMS untuk mudik ke kampung halamannya, ketika musim Lebaran tiba.  
            Strategi promosi, dikemukakan Rudolf juga, juga dibuat lebih kreatif dan tidak monoton. Sebab promosi below the line SH dibuat jauh lebih besar dibanding above the line. Perbandingannya 60:40. Anggaran promosi biasanya dibuat 3%-5% dari total penjualab. ‘’Untuk bisnis rokok, kita harus jago street marketing ketimbang promosi di media lini atas,’’ katanya memberi alasan. Kembali pada aktivitas promosi. Saat ini, untuk aktivitas below the line HMS tengah mempersiapkan sandiwara radio serial yang tokoh sentralnya masih menggunakan Geng Hijau.
            Hasilnya? Harus diakui, upaya revitalisasi SH bukan bualan. Dari waktu ke waktu kinerja pasarnya makin kinclong.  Persebaran disribusinya dari semula hanya kuat di Jabar, kita relatif sudah menasional. Dari 1998 hingga 2000 lalu, volume pasar SH sudah melonjak tiga kali lipat. Kini kontribusi SH atas total penjualan HMS mencapai 12%-13%.
            Hal menarik  lainnya, diantara merek-merek yang dimiliki HMS, margin keuntungan yang ditangguk SH lebih bagus dibanding lainnya, khususnya merek-merek Sigaret Keretek Mesin (SKM). Terlebih dengan permintaan yang makin asoy, belakangan HMS berani manruh harga SH lebih mahal Rp300-Rp400 dibanding pemain lain di kelasnya.
            Roy Goni, pengamat pemasaran dari RKS Consulting, menilai, langkah HMS atas HS sudah pas. Sebab sasaran pasar yang dibidik SH memang dikenal potensial. Terlebih lagi mereka adalah komunitas yang karakternya heavy smoker. ‘’Sehingga SH tinggal mengandalkan repeat buyer-nya saja,’’ begitu analisanya.
            Di samping itu, upaya penetrasi pasar SH dari desa ke penggiran kota dan merangsek ke tengah kota, bagi Roy, pun bukan pilihan yang keliru. Katanya, model menyerang dari arah samping sangat efektif buat SH karena pusat-pusat pasar di wilayah urban sudah diisi para pemain yang lebih kuat, dan lebih dulu menggelinding. Bila SH memaksakan diri langsung merangsek ke pusat-pusat kota, barangkali kisah bertutur lain. Lagipula berani berhadapan face to face dengan puluhan merek lain yang sudah ada dan cukup top of mind, tentu butuh ongkos pemasarannya enggak sedikit.(Tabloid Marketing Edisi 28 Tahun 2002)

2 comments: