Sunday, March 10, 2013

strategi pemasaran perusahaan jasa perkreditan



Jurus Blue Ocean Ninoy Besarkan Bima Multi Finance

Jika dibanding beberapa perusahaan pembiayaan kendaraan bermotor lain, nama Bima Multi Finance (BMF) mungkin belum terlalu sering terdengar. Namun sesungguhnya, perusahaan ini sudah memiliki tempat tersendiri di hati para pelanggannya di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sekitarnya.
Lihat saja kinerjaBMF yang meningkat signifikan empat tahun terakhir. Pada awal 2011, target penjualan BMF Rp 1 triliun, tetapi realisasinya berhasil mencapai Rp 1,40 triliun. Demikian juga di 2012, target penjualannya Rp 1,7 triliun, tetapi sejak awal November, target itu sudah berhasil terpenuhi.
Ninoy Tandra Matheus
Ninoy Tandra Matheus
Salah satu strategi bisnis yang diusung BMF adalah selalu berusaha mengenal nasabah dari dekat. “Kami biasa datang melayani langsung nasabah ke rumah mereka,” ujarnya. Maka, jika dibanding lembaga pembiayaan lain, suku bunga yang diberikan BMF kepada nasabahnya relatif lebih tinggi. “Tapi, karena kami memberikan pelayanan sesuai dengan apa yang dibutuhkan nasabah, maka nasabah kami terus bertambah,” kata Ninoy. “Ibaratnya, kalau disamakan dengan pelayanan pesawat terbang, kami ini memberikan pelayanan first class. Harga sesuai dengan pelayanan yang kami berikan,” lanjutnya menjelaskan.
Selain itu, BMF hanya menggarap pasar di daerah dengan lebih fokus pada pembiayaan motor dan mobil bekas. Itu kelebihannya. “Dari awal, kami berusaha fokus: hanya menyasar pasar multifinance di kota atau daerah selain di Jakarta. Bagi kami, sudah tidak ada ruang lagi di Jakarta untuk mengembangkan lembaga pembiayaan,” ungkapnya. Apalagi BMF banyak berkonsentrasi menggarap pembiayaan kendaraan bekas. “Yang bekas ini justru cukup menguntungkan. Margin yang dihasilkan cukup besar. Berbeda dari kendaraan baru yang marginnya relatif kecil,” ia menandaskan.
Ninoy mengibaratkan, kota besar seperti Jakarta, bisa dibilang red ocean. Terlalu banyak pemain di industri ini yang jauh lebih besar ketimbang BMF. Berbeda dengan di daerah, termasuk Semarang – yang menjadi pusat bisnisnya – Ninoy melihat daerah ini merupakan blue ocean karena masih banyak peluang yang bisa digarap.
Perusahaan yang secara resmi berdiri 8 Agustus 2006 ini, sekarang sudah memiliki 220 cabang atau yang disebut Kantor Unit Pelayanan (KUP). BMF tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, jumlah karyawannya mencapai tak kurang dari 3.100 orang. Jaringan BMF kebanyakan berada di Ja-Bar, Ja-Teng, Ja-Tim, Lampung, Jambi, Riau, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sul-Ut, Sul-Teng, Sumatera Barat, Sum-Sel, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Serang, Yogyakarta, dan Jakarta.
Di tahun 2013, BMF berencana menambah lima KUP di Ja-Teng karena daerah ini masih memiliki potensi cukup besar. Selain terus menambah jaringan, kehati-hatian dalam bisnis pun perlu dijaga. Jangan sampai terlalu berambisi untuk mengembangkan bisnis tetapi tidak sesuai dengan pertumbuhan yang ditargetkan. “Kami tidak ingin terlalu bernafsu. Prinsip kami, kalau satu cabang sudah mampu membiayai 1.000 unit motor, berarti cabang tersebut harus di-split. Tidak boleh terlalu berlebih,” kata Ninoy meyakinkan.

Manuver Columbia Mempertahankan Dominasinya

Sudah 30 tahun Columbia berkiprah dalam bisnis perkreditan barang elektronik dan furnitur. Sebagai pionir di bisnis perkreditan, posisi Colombia belakangan agak rawan karena dikepung pemain serupa yang bermunculan. Saat ini semakin banyak peritel yang menggandeng perbankan untuk memberikan kredit. Kondisi ini membuat keunggulan Columbia sebagai peritel dan penyedia jasa pembiayaan dalam satu atap menjadi terdengar basi.

Darwin Leo, Chief Operating Officer Columbia
Kenyataan itu tidak dimungkiri oleh Darwin Leo, Chief Operating Officer Columbia. “Kredit memang bukan lagi daya tarik bagi konsumen. Competitive advantage-nya bukan lagi kredit. Semua retailer sudah bisa memberikan hal yang sama dengan fasilitas perbankan,” kata Darwin blak-blakan.
Namun, itu tak membuat Colombia gentar. Darwin masih melihat peluang potensi pasar kredit elektronik yang cukup besar. Menurutnya, dari total konsumsi, hanya 30% konsumen yang melakukan pembelian elektronik dengan cara kredit.
Tak ingin potensi tersebut disergap pemain lain, Columbia memperbaiki motor bisnisnya. Tepatnya sejak setahun lalu, Columbia menerapkan program Excellence Operation (EO). “Tujuannya untuk memberikan added value. Karena, dari sisi kredit, bukan lagi menjadi keunggulan,” katanya.
EO menyangkut dua hal, yaitu internal dan eksternal. Dari sisi internal dilakukan perombakan besar-besaran. Pertama, memecah wilayah operasional menjadi delapan regional, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur-Bali-Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Dengan sistem ini, kantor cabang tidak lagi melapor langsung ke kantor pusat. Cabang bertanggung jawab kepada kantor regional. Wewenang pengembangan usaha pun ada di kantor regional.
Dulu, setiap cabang langsung melapor ke kantor pusat. Akibatnya, banyak cabang yang tidak terperhatikan dengan baik. “Bayangkan saja kalau 75 cabang langsung melapor ke kantor pusat dalam waktu yang bersamaan,” kata Darwin. Ia mengakui hanya cabang yang aktif yang mendapatkan perhatian. “Ibarat orang tua dengan banyak anak. Pasti yang aktif berhubungan saja yang diberi perhatian lebih. Ini kan tidak baik.”
Lebih parah lagi bila tengah menyusun program untuk kantor cabang. Sering program yang dibuat tidak cocok dengan karakter konsumen suatu cabang. “Karena, kami membuat satu program sifatnya nasional. Ternyata program tersebut tidak cocok di daerah tertentu. Padahal, retail is detail,” ujar Darwin. Namun, sekarang kondisi tersebut dapat diatasi dengan strategi pembagian delapan regional itu. Setiap regional membawahkan 7-8 kantor cabang. “Jadi, kantor pusat hanya memikirkan strategi menengah dan jangka panjang,” tuturnya.
Tidak berhenti sampai di situ. Columbia juga memperlebar cengkeramannya dengan memperbanyak gerai. Hingga akhir 2012, Darwin menargetkan jumlah gerai Columbia mencapai 450 buah di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, Columbia juga menyediakan penjualan door-to-door. Tidak main-main, ada 5 ribu tenaga penjualan. Promosi melalui jejaring sosial pun semakin digalakkan.
Selain itu, Columbia juga punya 12 armada moko (mobil-toko). Moko dijadikan senjata untuk mendatangi konsumen ke pelosok-pelosok daerah. “Ini merupakan keunggulan yang kami berikan ke konsumen,” ujar Darwin. Konsumen tidak perlu jauh-jauh ke luar rumah untuk mendapatkan kredit. Bahkan, transaksi bisa dilakukan di rumah konsumen dan barangnya bisa diantar. Saat ini ada 150 mobil canvaser milik Columbia.
Semua itu dibuat karena Columbia ingin memberikan kemudahan kepada konsumen. “Kami seperti convenience store yang menyasar kalangan menengah-bawah,” tutur Darwin. Makanya, persyaratan kredit Columbia juga terbilang mudah. Hanya perlu fotokopi KTP, slip gaji atau rekening listrik dengan bunga paling tinggi 4% per bulan. Tidak itu saja, Columbia juga punya program cicilan serba Rp 100 ribu/bulan. Untuk konsumen loyal, setahun sekali ada traveling ke luar negeri atau umroh.
Dari segi produk, Columbia pun cukup lengkap. Mulai dari peralatan rumah tangga, furnitur, handphone, sepeda motor hingga laptop dan LCD. Justru, menurut Darwin, penjualan BlackBerry, laptop dan LCD mendominasi produk elektronik. Dari total kontribusi penjualan elektronik sebesar 60%, Blackberry, laptop dan LCD menyumbang separuhnya. “Sisanya, produk lain yang rata-rata memberi kontribusi 10%-12%,” ungkapnya. Saat ini ada 30 merek dengan 100 item produk yang dijual selain merek milik Columbia sendiri seperti Fujitex, Fuji dan Nozomi (motor roda tiga).
EO ini mulai menunjukkan hasil. Darwin mengklaim pada 2011 perusahaannya mampu tumbuh 50% dibanding tahun 2010 yang hanya tumbuh 30% dari tahun 2009. Sayangnya, ia enggan memaparkan secara detail pencapaian perusahaannya tersebut. Columbia sekarang juga mulai menyasar korporat. Nestle, Danamon dan Unilever, misalnya, pernah tercatat menjadi konsumennya. “Mereka pesan furnitur untuk dikirim ke kantor-kantor cabang mereka. Karena jaringan kami luas, jadi mereka percaya kami,” ujar Darwin sambil menegaskan, perusahaannya kini lebih siap menghadapi persaingan.
Pengamat pemasaran Sumardy menilai strategi rejuvenasi dan pendelegasian organisasi Columbia menjadi delapan regional sudah cukup tepat. Sebab, selain untuk mengakomodasi perbedaan karakter konsumen, juga untuk efisiensi. Hanya saja, CEO Buzz & Co itu mewanti-wanti agar Columbia tetap fokus pada customer base yang dimiliki. Ini perlu dilakukan di tengah gempuran pemain-pemain baru yang masuk ke industri ini.
Sebagai pionir, Columbia hanya perlu mengelola customer base agar tidak lari ke kompetitor,” ujar Sumardy. Apalagi, bila ingin beralih ke perusahaan pembiayaan lain, harus melalui survei dan memenuhi persyaratan kredit lainnya. Kesempatan inilah yang perlu diambil agar bisnis Columbia senantiasa tumbuh seiring dengan pertumbuhan pasar. Caranya, dengan mengelola loyalitas konsumen. Aneka program harus di-set up agar konsumen menjadi loyal kepada Columbia. “Nah, bila sudah loyal, mereka akan merekomendasikan Columbia ke saudara dan teman dekatnya. Akhirnya, tercipta word of mouth dan tidak perlu repot-repot keluar biaya banyak,” kata Sumardy menandaskan.

Pro Car Mengeruk Peluang di Bisnis Pembiayaan Mobil Bekas


Perusahaan pembiayaan khusus mobil bekas, Pro Car International Finance, melihat bisnis pembiayaan mobil bekas terutama untuk sektor produktif seperti kendaraan komersial (niaga) dan angkutan umum, peluangnya sangatlah besar.
Direktur Utama Pro Car, Gusti Wira Susanto, mengatakan, penjualan mobil bekas jika dibandingkan dengan penjualan mobil baru di Indonesia saat ini hampir 5 kali lipatnya. “Jika penjualan mobil baru hanya 1 juta unit, maka mobil bekas bisa sampai 4,5 juta unit,” kata Gusti di Jakarta, Selasa (30/10).
Dari pasar mobil bekas yang besar tersebut, sejak Januari-September 2012, Pro Car berhasil membiayai sekitar 15 ribu nasabah baru. Total portofolio pembiayaan per September 2012 Rp 1,9 triliun atau naik 30% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dari total pembiayaan tersebut, 90% diantaranya merupakan pembiayaan untuk sektor produktif yakni kendaraan komersial dan angkutan kota. Hanya 10% nya yang merupakan pembiayaan mobil bekas passanger.
“Kendaraan sektor produktif pasarnya sangat besar sebab bersentuhan langsung dengan sektor riil. Sektor inilah yang menjadi bisnis utama kami,” katanya.
Dari bisnis pembiayaan mobil bekas, aset Pro Car per September 2012 ini telah mencapai Rp 1,76 triliun dengan laba Rp 54 miliar, tumbuh 11% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. “Kami menargetkan hingga akhir tahun 2012 laba sebesar Rp 58 miliar,” tambahnya.
Saat ini Pro Car memiliki 36 cabang yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Sebagai pengembangan bisnisnya, akan dibuka tujuh cabang baru, termasuk di wilayah Indonesia Timur seperti Ternate dan Sorong.

1 comment:

  1. Mau kerja enak...
    Duduk manis..
    Cair..
    Dapat komisi
    Bisa keluar negeri..

    Cukup!!!!!
    Mereferensikan konsumen yang mau gadai bpkb.

    Syarat:
    KTP
    NPWP
    COVER TABUNGAN

    Informasi
    Reyzha482
    082112419929

    ReplyDelete