Monday, March 11, 2013

cara sukses pemasaran

Kesuksesan Pemasaran

  
KOMPAS.com - Teguh Cahaya Surya, eksekutif pada sebuah perusahaan pertambangan, terkesiap ketika hendak membeli rumah di lokasi strategis di Serpong. Ia harus mengambil kupon antre dan menyerahkan tanda daftar sebesar Rp 5 juta.
Hal yang mengejutkannya, mengapa mesti antre dan membayar Rp 5 juta? Harga rumah yang ditawarkan pun bukan main-main. Ada yang setara harga rumah di pusat kota. Bahkan, ada yang di atas harga rata-rata rumah di Jakarta. Luar biasa, gumam Teguh. Namun, karena ia ingin berdomisili di Serpong, syarat itu ia penuhi.
Bagi dia, jamak kalau rumah di DKI Jakarta mahal. Jakarta sentra untuk pelbagai hal; bisnis, pemerintahan, tempat beredarnya lebih dari 40 persen uang, jasa, budaya, pendidikan dan sebagainya. Kesempatan meraih bintang lebih besar di sini.
Akan tetapi, kalau rumah di beberapa proyek elite Serpong lebih mahal dengan rumah di beberapa lokasi di Jakarta, ini fenomena menarik. Serpong yang 35 tahun silam masih berwujud hutan dan daerah resapan air kini menjadi salah satu kawasan perumahan paling diperhitungkan di Indonesia. Pengembang yang berlabuh di sini pasti sukses.
Kilau reputasi para pengembang di Serpong tidak kalah dengan reputasi sejumlah pengembang di Jakarta. Para pengembang di sana berani melepas harga sekian miliar rupiah per rumah. Dan, laris seperti pisang goreng panas.
Kunci kesuksesan para pengembang di sana ialah pasnya tema, komunikasi yang cerdas, serta pemasaran dan rapinya infrastruktur.
Para pengembang di Serpong ahli meluncurkan produk baru yang ramah lingkungan, dekat lapangan golf, hutan kota, dan di tepi danau buatan. Lalu, bangunan dikemas sedemikian rupa sehingga sangat menyita kekaguman, tidak kalah menawan dengan rumah di kawasan Bukit Golf, Permata Hijau, Pantai Mutiara, Permata Mediterania, dan sebagainya. Lalu, untuk menembus rintangan jarak ke Ibu Kota, dibangun akses baru ke jalan tol, perbaikan jalan tembus dan pembangunan fasilitas menarik untuk keperluan seluruh warga Serpong.
Kini, Serpong menjadi sentra bisnis baru, pusat makanan, sentra pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan sebagainya. Hadirnya aneka fasilitas ini praktis membuat Serpong pilihan menarik dan kawasan elite baru yang paling diperhitungkan. Harga rumah cepat melesat. Ini salah satu sebab mengapa konsumen rela antre membeli rumah. Konsumen sadar, mereka terbentur persoalan kemacetan, tetapi itu semua dianggap ”biasa”.
Fenomena Serpong meneguhkan kembali genre yang menekankan isu mutakhir, pengemasan proyek yang memancing selera, dan pemasaran dengan sopistikasi tinggi. Tidak terbayangkan, sentra hunian dan bisnis yang berjarak 20-an kilometer dari Jakarta bisa demikian diminati publik. Ini seyogianya menggugah pengembang lain untuk menciptakan produk baru dengan formula lebih menawan.

Membaca Selera Konsumen


KOMPAS.com - Huang Ishien (57), seorang usahawan di Hongkong, selalu membawa sejumlah buah tangan saat pulang ke Indonesia. Buah tangan itu tidak pernah bergeser dari obat oles Tiger Balm, obat sakit perut, obat batuk Kim To Ninjiom Pei Pa Koa (obat batuk ibu dan anak), serta obat kulit Bao Fu Lin.
Sejumlah produk Hongkong ini sebenarnya tersedia di pelbagai kota di Indonesia. Namun, tetap saja Huang membawa buah tangan itu karena sahabat-sahabatnya menyukainya.
Hal yang lebih kurang sama terjadi di Indonesia. Pulang dari Yogyakarta, yang dibawa umumnya gudeg, bakpia patok, atau masakan dari beberapa restoran tua terkenal. Kembali dari Solo, banyak yang ”nekat” bawa timlo, soto gading, intip, kain batik, dan sebagainya.
Dari Makassar, yang dibawa kepiting dari restoran-restoran tua terkenal, bubur ayam Ang Ping Lao, coto makassar, sop konro, atau minyak gosok cap Tawon.
Dari Balikpapan, yang dibawa selalu kepiting jumbo. Dari Semarang, yang dibawa lumpia (basah dan goreng), soto bangkong, bandeng presto, dan sebagainya.
Menariknya, para pemburu produk atau makanan spesifik ini rela antre saat panas matahari, bersedia menenteng buah tangan itu masuk ke kabin pesawat.
Selintas hal ini sepele, tetapi sebenarnya bisa menjadi contoh bisnis yang mengasyikkan. Produsen produk-produk tersebut jarang beriklan. Malah, hampir tidak pernah beriklan di media cetak.
Para produsen itu mengandalkan metode dari mulut ke mulut. Dari satu cerita ke cerita lainnya. Namun, efektivitasnya dahsyat. Warga dari provinsi dan negara mana saja mau membeli.
Di sejumlah kota dunia banyak produk Indonesia mudah ditemukan di toko serba ada. Di antaranya adalah minyak gosok cap Tawon, aneka jenis biskuit, kacang-kacangan, permen, polo shirt, dan kaus oblong.
Kunci kesuksesan menerobos pasar dunia ini adalah mutu yang terjaga dan kemampuan produsen memuaskan semua pembelinya.
Namun, banyak juga produsen yang usahanya hampir seratus tahun, tetapi akhirnya terempas. Sebagian lagi letih bersaing. Misalnya, membuka warung bakso malang yang rasanya enak dan sangat laris.
Pedagang lain juga ramai-ramai membuka warung bakso malang. Akhirnya, semua lalu mengumumkan bahwa merekalah penemu resep bakso malang, Pembeli lalu bingung mana sebetulnya yang asli.
Atau soto yang mengandalkan label Pak Kumis. Banyak yang mengaku Pak Kumis, tetapi mana soto Pak Kumis yang asli? Mana yang latah? Atau pedagang ayam goreng yang terpecah. Akhirnya reputasinya meredup.
Dalam konteks dunia usaha modern, banyak usahawan sukses karena pandai membaca selera konsumen. Seperti betapa larisnya gerai yang menjual kaus, kemeja, topi, sweater, dan pernak-pernik Hard Rock Café.
Praktis, bintang iklan yang paling efektif ialah konsumen yang puas dengan produk atau pelayanan yang diperoleh. Dan, konsumen yang merekomendasikan produk atau pelayanan ini kepada orang lain. Atau, lihatlah Dave Thomas dari fastfood Wendy’s. Iklannya tanpa bintang-bintang masyhur, tetapi langsung menyentuh hati konsumen. Laris manis.


Jangan Remehkan Pesaing

  
KOMPAS.com — Tahun 1990, Kodak, perusahaan film dan kamera dari Amerika Serikat, melakukan lompatan. Kodak memodifikasi kamera film menjadi kamera digital. Untuk tahap pertama, Kodak memodifikasi kamera sesuai dengan keinginan konsumen. Kalau konsumen menyukai kamera Canon atau Nikon, kamera tersebut akan dimodifikasi menjadi kamera digital Canon dan kamera digital Nikon.
Tujuh tahun kemudian, warga dunia terpesona oleh kehadiran kamera digital. Tahun 1999, Kodak membuat kamera digital. Nikon dan Canon juga memproduksi kamera dengan teknologi yang tergolong sangat canggih. Tahun 2002, terjadi boom kamera digital. Kamera film tergerus.
Dalam persaingan ketat, pasar dunia lebih menyukai dua produk Jepang, Nikon dan Canon. Kodak berjuang, tetapi kalah telak. Kamera lainnya, Leica dan AGFA, juga tergeser. Hukum ekonomi yang berbicara. Siapa yang mampu menawarkan produk dengan mutu prima dan harga murah, dialah yang disukai.
Awal tahun ini muncul kabar, Kodak yang menjadi pionir kamera dan cetak foto sejak berusia 133 tahun lalu resmi mengajukan permohonan perlindungan kepailitan. Dunia terperangah sebab Kodak adalah aset dan pelaku sejarah foto. Pujian terhadap Kodak pun tidak pernah surut. Foto yang dicetak Kodak selalu bertahan lama. Akan tetapi, perusahaan ini ternyata keasyikan bermain kualitas, lupa pada pemasaran, penjualan yang agresif, dan survei lapangan.
Tumbangnya Kodak dan sejumlah perusahaan kamera dari merek lain sungguh mengingatkan kita bahwa kelengahan adalah awal dari kejatuhan. Tidak mudah menjadi perusahaan nomor satu di dunia. Sebetulnya, kalau Kodak ingin bertahan, secara teori tidaklah sulit. Sebagai perusahaan raksasa, ia punya dana untuk riset, survei lapangan, pemasaran, penjualan, dan promosi. Dari beberapa faktor ini, pasti ada yang diabaikan Kodak.
Tentu tidak hanya Kodak yang bernasib seperti ini. Ada banyak raksasa lain yang menderita karena terlambat bereaksi atau bereaksi, tetapi tidak efektif. Sejumlah maskapai penerbangan yang sangat masyhur kini dipinggirkan oleh maskapai penerbangan baru beberapa dari Asia.
Di dalam negeri, juga banyak drama jatuh bangun perusahaan atau usahawan besar. Intinya, jangan remehkan pesaing. Perlu rencana taktis, berani, dan cepat mengambil putusan. Cepat membaca situasi bisnis.
Budi Hartono, pemimpin Djarum, sadar bahwa rokok adalah bisnis masa lalu. Dengan intuisi bisnis yang tajam, ia membeli sebagian besar saham BCA, membesarkan usaha elektronik, masuk properti, dan tetap menjaga perusahaan rokok Djarum. Kini, Djarum menjadi raksasa bisnis di Indonesia. Budi Hartono bahkan pengusaha terkaya di Indonesia.

Berdiri di Kaki Sendiri

 
KOMPAS.com - Seorang pengusaha besar Indonesia yang masih muda gelisah di ruang kerjanya. Pasalnya, majikannya yang ia kagumi memecat tiga karyawan, hanya karena mereka menggunakan waktu sejam menengok teman kerja yang sakit.
Setelah dua jam berpikir, ia mengundurkan diri. Ia berterima kasih karena sudah dipercaya menjadi chief executive officer selama enam tahun, sejak ia berusia 26 tahun (2002-2008). Anak muda ini sadar ia telah membuat keputusan serius. Keluar dari sebuah perusahaan besar tanpa sekoci penyelamat. Gajinya yang sekitar Rp 118 juta per bulan ia abaikan.
Setelah keluar, peraih gelar master hukum dari Harvard University ini tidak bingung. Ia mendirikan perusahaan makanan, pengepakan, dan importir mesin-mesin industri ringan. Tahun pertama, kerja keras. Seluruh 120 karyawannya, ia gugah bekerja keras. Akhir tahun, ia bersyukur. Perjuangan selama setahun meraup keuntungan bersih Rp 23 miliar.
Tahun kedua, jumlah karyawan tumbuh empat kali lipat. Keuntungannya menjadi Rp 57 miliar. ”Kalau saya tidak memutuskan berdiri di kaki sendiri, saya akan survive, tetapi pendapatan saya segitu saja. Pula saya tidak bisa mempekerjakan banyak orang,” katanya di Jakarta, Jumat (24/2/2012).
Pengalaman yang sama diutarakan seorang usahawan di bidang makanan dan minuman ringan. Dalam usia 28 tahun, dia sudah menjadi CEO di anak perusahaan dari sebuah perusahaan rokok. Gajinya tahun 1986 mencapai Rp 9 juta. Ia lalu diajak perusahaan raksasa lain, juga dengan jabatan CEO, dengan gaji empat kali lipat. Tentu saja tawaran ini ia ambil.
Tiga tahun menjadi CEO di perusahaan tersebut, dia berpikir membangun perusahaan sendiri. Dua tahun pertama amat berat. Ia mengembangkan usaha bisnis makanan dan minuman ringan. Tahun keenam, setelah menguasai pasar dalam negeri, ia mulai ekspor. ”Keuntungan dari ekspor amat kecil. Tetapi sekecil-kecilnya laba itu saya ambil juga sebab kalau ekspornya ke 30 negara misalnya, akan terasa besar juga,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, pekan lalu.
Ia peroleh karena ia berani berisiko berdiri sendiri. Namun, jangan keliru, banyak juga yang mencoba sendiri tetapi gagal. Ia lebih cocok menjadi profesional. Ini aspek yang tidak banyak diketahui orang. Berbeda menjadi seorang pekerja profesional dibanding menjadi bos di perusahaan sendiri.
Cerdas Mengemas Bisnis

  
KOMPAS.com - Menarik menyimak terobosan para pengembang di beberapa kota besar. Kompetisi bisnis properti yang semakin keras dan penuh inovasi berani di lapangan, para pengembang berusaha optimal meraih kinerja fantastis.
Ada yang menggabungkan antara lokasi, desain bagus, integritas perusahaan, dan membangun sendiri infrastruktur. Ada yang membangun kompleks hunian, perkantoran, dan belanja dengan penekanan pada konsep hijau. Dari pembangunan ini, perusahaan mendapat penghargaan dan ini berarti pengakuan dari lembaga bergengsi dan publik. Masyarakat diharapkan tertarik dan membeli produk yang ditawarkan. Perusahaan lain bermain pada utak-utik harga dan sistem pembayaran, sesekali menggunakan arsitek kenamaan, lokasi strategis serta fasilitas.
Kendati semua korporat besar bertarung cerdas, tetap saja ada yang nomor satu. Yang nomor satu memang fenomenal dan unsur ”lucky” juga besar. Sketsa proyek baru dikerjakan, belum ada tanda pembangunan dan penjualan belum dibuka. Akan tetapi, para pemburu sentra hunian dan perkantoran sudah mengantre panjang.
Seorang pengembang menuturkan, separuh dari proyek sentra hunian dan bisnis yang hendak ia bangun sudah ”dibeli”. Para pebisnis dan para calon pembeli bersikeras ”menitip” uang sebagai tanda ”pasti mengambil” unit yang bakal dijual. Dijelaskan, dua pekan lagi semua proyek mungkin sudah habis terjual karena antrean warga yang bersikeras hendak ”menitip uang pasti beli” sudah sangat panjang.
Pengembang ini memang punya reputasi tinggi. Proyek yang ia kerjakan berkualitas tinggi, infrastrukturnya oke, dan ada areal penampung air agar bebas banjir. Yang mengerjakan proyek-proyek tersebut umumnya anak-anak muda potensial. Proyek dari pengembang ini selalu menjadi buruan konsumen Jakarta. Konsumen yang sangat sadar haknya.
Sisi lain yang menarik adalah formula beberapa pengembang yang membangun sendiri infrastruktur, merelakan sebagian arealnya menjadi jalan raya baru, dan membuka akses jalan tol. Mereka mendesain rumah, perkantoran, dan sentra belanja hasil pengalaman puluhan tahun sebagai pengembang dan studi banding ke belasan negara dengan sejarah arsitektur hebat. Jualan pun laku. Nilai aset bersih per saham naik tajam.
Hal mencengangkan, usia chief executive officer perusahaan-perusahaan itu 26-40 tahun. Di Amerika Serikat, misalnya, anak muda yang duduk di kursi puncak manajemen umumnya dari start up company. Mereka lulusan sekolah elite, pernah bekerja di luar negeri sebagai arsitek dan ahli keuangan di perusahaan raksasa. Pekerja keras di lapangan. Segar dan cerdas mengemas bisnis.
Perjalanan karier mereka masih sangat panjang. Waktu yang kelak menguji apakah prestasi mereka tetap oke. Pada era penuh persaingan saat ini, siapa pun anak-anak muda itu, mereka selalu mengisi ”baterainya” agar tak ketinggalan. Mereka banyak membaca dan melihat di lapangan.
Kian Mahal Kian Disukai



KOMPAS.com - Ray Syahrudin (39), eksekutif properti di DKI Jakarta, tertawa saat direktur utama tempat ia bekerja menetapkan harga rumah Rp 2 miliar per unit. Lokasi rumah di sebuah kelurahan di Jakarta Selatan. Menurut sang direktur utama, dengan harga itu, perusahaan sudah akan meraih laba bersih Rp 930 juta per unit. Di lokasi itu, mereka akan bangun 210 unit rumah kelas menengah ke atas.
Sang direktur utama (dirut) ikut tertawa lalu berkata, ”Mengapa ketawa? Dikau tidak setuju?” Raut sang dirut tidak menunjukkan aura marah. Ia seorang dirut yang ”demokratis” dan akrab dengan bawahannya.
Ray, direktur marketing perusahaan real estat itu, menyatakan, kawasan ini cukup elite. Kok, melepas rumah bagus hanya Rp 2 miliar. Ia khawatir, dengan harga sebesar itu, perumahan tersebut malah tidak dilirik konsumen. ”Jual saja Rp 3,3 miliar per unit. Tetapi, kita tambah beberapa ornamen, interior lebih baik, taman yang wah, dan kolam ikan lengkap dengan ikan koinya. Seluruhnya menelan biaya Rp 300 juta. Perusahaan akan meraih tambahan laba bersih Rp 1 miliar per unit.” Ray menerangkan strategi untuk meraih pembeli. Atasan setuju. Pengerjaan tambahan tersebut langsung dikebut.
Maka, soft launching perumahan itu digelar. Ada pesta, kembang api, ada show pesulap dan suvenir senilai Rp 1 juta. Sebagai direktur pemasaran, Ray sangat tahu selera konsumen Ibu Kota dan sekitarnya. Ia ingin memberi kesan wah untuk launching perumahan itu. Pembeli berdatangan.
Delapan belas rumah langsung terjual. Ada kesan, 90 persen konsumen membeli karena harganya mahal. ”Saya, sih, tidak gombal, wong memang kualitas produknya keren, kok. Mengapa mesti jual murah? Buktinya, 18 orang langsung membeli dengan memberi tanda jadi Rp 100 juta. Bukankah asyik?”
Perangai konsumen Ibu Kota memang ”menyenangkan” produsen. Sejumlah usahawan bertutur kepada Kompas, konsumen di Ibu Kota mudah tertarik barang luks. Ketika mobil-mobil super luks dilepas 20 unit, dengan segera dibeli orang-orang kaya Jakarta. Ketika 200 arloji dari beberapa merek tertentu dijual dengan harga di atas Rp 300 juta, barang tersebut langsung habis terjual dalam sepekan.
Tidak ada yang bisa menggugat gaya hidup ”orang kaya” Jakarta itu. Sepanjang uangnya diperoleh dengan legal dan halal, hak dia untuk menggunakan uangnya. Kita tentu protes kalau uang dari hasil korupsi dipakai untuk bergaya hidup seperti raja-raja minyak. Mereka tidak berhak hidup mewah dengan uang rakyat. Mereka pun tidak layak hidup super luks kalau uangnya diperoleh dari hasil menipu atau tidak membayar pajak dengan baik.

No comments:

Post a Comment