Monday, March 11, 2013

bisnis dan menikmati persaingan


Menikmati Persaingan

S
KOMPAS.com - Ada banyak bank di Indonesia. Bank besar, sedang, dan kecil dari aspek aset dan laba bersih memiliki kelebihan dan kekhasan sendiri. Lalu, di antara banyak bank itu, ada tiga bank yang berkompetisi ketat, yakni Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, dan Bank Central Asia.
Sengaja atau tidak, BRI, Mandiri, dan Bank Central Asia (BCA) suka ”saling intip” atau ”saling lirik” kekuatan pesaing. Yang dilirik umumnya program apa yang diluncurkan, kemajuannya di sektor apa saja, strategi penjualan dan pemasaran, bagaimana membangun sumber daya manusia yang memiliki tidak hanya kecerdasan tinggi, tetapi juga akhlak dan loyalitas.
Suatu ketika, BCA menunjukkan keunggulan lebih. Bank dengan Grup Djarum sebagai pemegang saham terbesar ini pernah meraih net profit tertinggi, mengalahkan dua rivalnya, BRI dan Mandiri. BRI dan Mandiri pun gerah. Maka, mereka mengerahkan segenap energi yang ada untuk duduk di urutan pertama peraih profit. Bank Mandiri beberapa kali mendapatkannya, demikian pula BRI.
Kini, giliran BRI yang meraih net profit terbesar, yakni Rp 18,52 triliun. Net profit Mandiri tahun 2012 hampir Rp 16 triliun. Adapun net profit BCA tahun 2011 sebesar Rp 10,8 triliun. Tahun 2012, net profit BCA belum dipublikasikan sampai pekan lalu, tetapi diperkirakan akan naik.
Net profit memang tak menjadi satu-satunya indikator kesehatan dan bagusnya operasional sebuah bank. Banyak aspek lain yang bisa menjadi indikator, misalnya kesejahteraan pegawai, servis prima untuk nasabah, bersihnya penyaluran kredit, efisiensi dan efektivitas sebuah program, dan sebagainya.
Akan tetapi, hal yang diam-diam menjadi incaran setiap bank adalah net profit. Sebuah bank, meski amat besar asetnya, atau amat harum namanya, tetapi kalau profitnya kecil, biasanya ”kurang dipandang”. Inilah salah satu faktor mengapa ketiga bank itu mampu memberikan servis baik kepada para pelanggan dan pegawainya. BRI, sekadar menyebut contoh, mampu memberikan gaji yang layak kepada pegawainya sampai muncul istilah 27 kali gaji dalam setahun.
Tahun 2013, ketiga bank itu tentu akan saling bersaing amat keras di lapangan. Masing-masing akan berkompetisi meraih kinerja terbaik. Saling intip halaman rival, atau saling beradu program terbaik, pasti tidak terelakkan. Meski demikian, hal yang publik respek adalah ketiga bank tersebut bersaing secara sehat, bersih, dan etis.
Di balik kompetisi ketiga bank tersebut, sebetulnya ada juga bank BNI yang juga perkasa dan selalu menjadi bank terkemuka. Seandainya BNI juga bangkit, persaingan bank besar akan makin ketat. Kompetisi bisnis akan menjadi makin indah, makin bagus dan atraktif. Persaingan merebut pangsa pasar akan makin memerah. Harapan untuk lahirnya program lebih cemerlang diharapkan muncul dan memberi ruang bergerak baru bagi para pengguna jasa bank.
Asa lainnya adalah kinerja cemerlang itu berujung pada lebih sejahteranya pegawai mereka. Pelayanan nasabah pun kian mengilap. Alangkah indahnya kalau tersiar pegawai BRI, Mandiri, atau BCA sangat sejahtera. Sebutlah misalnya gaji mereka paling tinggi di Asia Tenggara. 


Seni Berbisnis
 
KOMPAS.com - Apa yang paling menarik dari berbisnis? Ada yang memandang bisnis sebagai jembatan menuju kaya raya dan gemerlap. Ada pula yang melihat bisnis sebagai instrumen mengumpulkan uang dan digunakan untuk kaum fakir. Ada yang melihat bisnis bukan semata sebagai cara meraih laba, tetapi sebagai seni dan pentas untuk berekspresi.
Para penganut paham yang terakhir ini menjalani bisnis dengan penuh sukacita. Bisnis dijalani karena senang, tidak semata karena akan memperoleh uang.
Ada seorang pebisnis mobil mewah di DKI Jakarta yang menjual mobil dengan harga di atas satu miliar rupiah. Si pebisnis, sebut saja Syarif. Orangnya riang, penuh tawa, dan pengetahuannya tinggi soal mobil. Karena ramah, baik hati, suka menolong, dan cerdas, ia disukai peminat mobil mewah.
Suatu hari ada dua hartawan datang ke ruang pamer mobil Syarif. Dia pun mengajak mereka duduk sambil ”ngupi-ngupi” dan menikmati kudapan. Saat itu, kedua hartawan itu mengutarakan niatnya membeli mobil dengan tipe dan spesifikasi tertentu. Syarif panjang lebar menjelaskan mobil dengan spesifikasi itu. Setelah menjelaskan, Syarif menyatakan bahwa mobil yang dicari itu tidak ada di perusahaannya. Mobil itu dijual oleh perusahaan A dengan ruang pamer di Jalan B.
Kedua hartawan itu puas. Mereka pun kagum pada cara Syarif menjelaskan. Kagum pada pengetahuannya soal mobil berkelas, kagum pada jamuannya yang hangat, ataupun sikapnya yang tidak menyatakan mobilnya terbaik, kendati itu amat penting baginya. ”He-he-he, santai saja, emang bukan rezeki saya kok,” kata Syarif, Kamis (31/1/2013).
Lima hari berturut-turut, Syarif mendapat konsumen dengan keinginan yang sama. Dan lima kali pula Syarif menyampaikan bahwa mobil yang mereka cari tidak ada di ruang pamernya. Namun, Syarif tetap menjamu konsumen tersebut.
Sikap ini membuat stafnya gerah. Bahkan ada yang terang-terangan protes. Apa jawab Syarif? ”Eh, kalian jangan jadi pedagang atau eksekutif ’cemen’. Kalau memang kalian profesional, kalian tidak akan menyatakan produk lain yang memang bagus, sebagai produk jelek. Seorang profesional harus bersikap profesional pula,” katanya.
Staf Syarif berdecak kagum ketika beberapa hari kemudian para hartawan itu datang lagi dengan temannya. Mereka membeli 12 unit mobil di atas Rp 1,5 miliar per unit.
Ini tidak membuat Syarif jadi pongah. Ia sujud syukur. Syarif mengatakan, berbisnis memang perlu seni. Berbisnis mesti dilakukan dengan sukacita, penuh senyum, dan tawa. Kalau tidak ada pembeli? Tetap saja tertawa sambil mencari jalan keluar.
Bisnis yang Lebih Baik


KOMPAS.com - Spirit baru, itulah yang banyak diketengahkan dalam perayaan tahun baru Imlek kali ini. Lebih dari seperempat penduduk dunia merayakan tahun baru China ini dengan beragam versi, tetapi intinya menjadikan tahun baru ini sebagai titik tolak baru untuk meraih hal lebih baik. Lebih baik dalam hal rezeki, kesehatan, kegembiraan, kesejahteraan, keberuntungan yang datang beruntun-runtun, kemenangan, dan kemakmuran.
Ada pula yang menambahkan kiranya segala sesuatu yang direncanakan berjalan mulus dan panjang umur. Setiap tahun ucapan selama tahun baru Imlek berkisar pada sejumlah tema tersebut dan jadilah Imlek tahun penuh asa. Tahun baru Imlek juga kerap diwarnai dengan perenungan yang dalam. Menjadi ajang merefleksikan apa yang sudah lewat. Hal yang tidak baik dienyahkan untuk memperoleh yang lebih baik.
Dalam konteks elan dan asa baru itu, banyak pelaku ekonomi Indonesia menaruh harapan besar untuk bisa lebih berkembang tahun ini. Pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen tahun 2012 memang tidak spektakuler, tetapi patut diakui bahwa pencapaian itu merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Kini mencuat asa untuk meraih pertumbuhan lebih besar karena didorong spirit baru untuk lebih baik. Indonesia yang belakangan mengalami defisit perdagangan cukup besar justru menjadi pemicu untuk melonjakkan produksi di semua sektor.
Lonjakan produksi untuk melonjakkan ekspor dan menahan impor menjadi tema yang paling menarik kini. Dalam pandangan paling sederhana, defisit tidak akan terjadi kalau ekspor melimpah. Defisit tidak akan terjadi kalau impor sangat terkendali. Kita, sadar atau tidak sadar, kerap kali ”kebangetan”. Kita mengimpor apa saja dan sungguh-sungguh sesuka hati. Kita impor pisang, kelapa, durian, pepaya, jeruk, manggis, dan segala komoditas yang di negeri ini justru demikian berlimpah ruah.
Kita fasih mengatakan membela petani, tetapi kita suka menganiaya mereka dengan makan buah-buah impor, bukan buah hasil tanaman mereka. Kita lembut mengatakan membela petani dan nelayan, tetapi kita terbiasa makan sayur-sayur impor, pelbagai jenis ikan impor yang mahal harganya. Bayangkan wortel, taoge, cai sin, dan sebagainya kita impor dengan sewenang-wenang.
Kita pun suka mengatakan cinta buatan dalam negeri. Namun, kita suka bergaya dengan segala jenis barang impor. Ada sepatu dalam negeri yang bagus, tetapi kita suka memanjakan diri dengan mengenakan sepatu, kaus kaki, pakaian, dan pakaian dalam buatan luar negeri. Tas buatan dalam negeri sangat baik, tetapi kita suka bangga menenteng tas eks luar negeri. Kita terbuai oleh kebanggaan semu yang sebetulnya sangat menyedihkan. Kita remehkan produk dalam negeri yang notabene dikerjakan saudara-saudara kita sendiri.
Kini muncul ide besar redenominasi rupiah. Baiklah kita setuju bahwa ide itu didasari tujuan baik. Namun, apakah kita mengakui bahwa kita sudah bekerja cukup keras untuk membuat rupiah gagah perkasa? Apakah kita seperti halnya Singapura, Australia, dan lain-lain berjuang keras membuat mata uang mereka mentereng di antara mata uang lain? Mengapa kita tidak mengambil jalan elegan, bekerja keras menaikkan ekspor secara signifikan, bukankah nilai rupiah tidak melunglai seperti sekarang?
Sebaliknya, kalau kita masih saja royal melepas rupiah untuk membeli dollar AS atau mata uang lain untuk mengimpor pelbagai kebutuhan, rupiah sulit untuk bernilai tinggi. Kalau kita sudah mempunyai paradigma yang berbeda, kalau kita sudah lebih tangguh mengekspor daripada mengimpor, dan kalau kita pelit melepas rupiah, redenominasi itu akan lebih mudah mencapai tujuannya.
Kita harapkan spirit dan energi baru di awal tahun ini memberi kekuatan dahsyat untuk membangun Indonesia lebih baik. 
 
Sumber :Kompas Cetak

No comments:

Post a Comment