Thursday, March 7, 2013

belajar kepemimpinan

Belajar Kepemimpinan dari KFC dan Pizza Hut

Judul : Taking People with You
Penulis : David Novak
Penerbit : Penguin Group, 2012
Tebal : xii + 237 halaman
taking people with you
Taking People With You
Pertanyaan pertama semua orang saat melihat sebuah buku mengenai kepemimpinan (lagi): Mengapa saya harus membaca buku ini lagi? Penulis buku ini langsung menjawabnya di bagian pengantar dengan mengatakan bahwa isi buku ini telah diujicobakan selama 15 tahun kepada 4.000 orang sebagai materi program pengembangan kepemimpinan di Yum! (perusahaan pemilik KFC dan Pizza Hut), penulis buku ini adalah CEO-nya. Dengan demikian, wajar sajalah buku ini berisi guidebook dan workbook tahap demi tahap dengan langkah konkret mengembangkan kepemimpinan. Ini juga yang menjadi kekuatan buku ini karena telah diujicobakan, bukan sekadar teori kepemimpinan lagi.
Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama mengenai memiliki mind set yang benar. Yang kedua, memiliki perencanaan akan strategi, struktur dan budaya. Yang terakhir, follow-through untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Sebelum memasuki bagian pertama, penulis buku ini menceritakan perjalanan kariernya dari seorang copywriter di agensi kecil dengan latar belakang pendidikan di bidang jurnalistik di Universitas Missouri sampai menjadi CEO salah satu jaringan fast food terbesar di dunia. Refleksi tersebut akan berujung pada kesimpulan bahwa sukses kariernya adalah karena latar belakang pekerjaannya di bidang pemasaran yang menuntutnya harus membaca pikiran konsumen. Pelajaran ini kemudian diaplikasikan dalam kepemimpinannya ketika dia harus membaca pikiran orang yang dipimpinnya.
Aplikasinya berupa tiga pertanyaan yang akan memengaruhi pendekatan kita terhadap arti kepemimpinan. Ketiga pertanyaan tersebut: (1) Hal terbesar apakah yang akan mengembangkan bisnis kita atau mengubah kehidupan kita; (2) Siapakah yang harus kita pengaruhi atau bawa; (3) Persepsi, kepercayaan dan kebiasaan apa dari target pendengar yang harus kita bangun, ubah atau perkuat untuk mencapai tujuan.
Tugas pertama seorang pemimpin yang sukses adalah memiliki ide ke mana anak buah akan dibawa. Penulis buku ini selalu membuka program pengembangan kepemimpinan Taking People with You dengan satu pertanyaan mendasar: satu hal terbesar apakah yang ada dalam bayangan kita yang akan mengembangkan bisnis dan mengubah kehidupan kita? Walaupun pertanyaannya tampak mudah, menjawabnya tidak mudah. Jawaban inilah yang akan menjadi big goal yang akan kita capai. Big goal tersebut harus benar-benar besar, bukan sekadar lebih dari sebelumnya. Dari pengalamannya, biasanya kekurangan para pemimpin adalah tidak memiliki tujuan yang besar. Hal ini dapat dimengerti karena tidak ada manusia yang ingin gagal, sehingga semua orang pasti sangat berhati-hati dalam menetapkan tujuan. Agar memiliki big goal, kita harus memiliki powerful mind set, bukan limiting mind set.
Menjadi diri sendiri adalah cara terbaik menunjukkan integritas yang harus dimiliki seorang pemimpin. Kewajiban seorang pemimpin tidak berhenti hanya dengan menjadi diri sendiri, tetapi juga membantu pengikutnya menjadi diri mereka sendiri. Selain itu, seorang pemimpin juga harus menjadi seorang pelajar dalam artian memprioritaskan pengetahuan dan ide di atas ego.
Mendapatkan mind set yang benar untuk mencapai tujuan yang besar adalah satu hal dan mengeksekusinya adalah hal lain. Dalam hal eksekusi (yang menjadi bagian kedua buku ini), penulisnya meminjam kerangka Senn Delaney yang terdiri dari tiga bagian: strategi (identifikasi arah yang dituju dan apa yang harus dikerjakan); struktur (memberikan sumber daya dan proses yang benar yang memadai sehingga rencana dapat dieksekusi); budaya (menciptakan lingkungan yang memperkuat strategi dan struktur).
Cara terbaik memulai penentuan arah yang akan dicapai adalah dengan memahami realitas dan posisi hari ini, serta berbagi pemahaman tersebut dengan semua yang kita pimpin. Argumennya, orang-orang akan menghargai fakta bahwa kita memercayai mereka dan jujur terhadap kenyataan yang dihadapi. Setelah itu, imajinasikan masa depan yang akan dicapai dengan visi yang besar akan masa depan. Tip dalam hal ini: orang-orang akan lebih mau membantu kita meraih visi ini apabila kita melibatkan mereka dengan menerima masukan dan ide mereka sehingga mereka itu bagian dari visi mereka. Singkat kata, tidak ada masukan artinya tidak ada komitmen. Orang-orang yang kita pimpin harus dilibatkan dalam proses penentuan apa yang dilakukan dan bagaimana melakukannya. Orang-orang tidak suka diberi tahu apa yang harus dilakukan.
Kunci kedua dalam hal eksekusi adalah memiliki sumber daya yang tepat. Apabila sumber daya yang memadai tidak berada di tempat, orang-orang tidak akan percaya kalau kita benar-benar akan melakukannya dan tentu saja kita tidak akan berhasil mengeksekusinya.
Terakhir, harus membangun sebuah budaya bahwa semua orang menang. Agar benar-benar memotivasi orang, kita harus menciptakan lingkungan kerja yang positif tempat semua orang tahu bahwa mereka memberikan kontribusi dan merasa dihargai.
Bagian ketiga buku ini adalah mengenai follow- through. Riset internal mereka terhadap kapabilitas 300 pemimpin mereka menunjukkan bahwa kelemahan pemimpin yang terbesar adalah dalam hal follow-through. Hampir semua manusia pasti menyukai sesuatu yang baru, kemudian kehilangan semangat dalam eksekusinya. Best practice-nya adalah Steve Reinemund yang selalu membawa catatan kecil ke mana pun untuk mencatat semua hal, kemudian menelepon sebagai follow-through beberapa hari kemudian. Bukan hanya itu, Jamie Dimon, CEO JPMorgan Chase, juga selalu membawa kertas kecil yang berisikan apa yang harus dia selesaikan hari itu dan apa yang harus orang lain selesaikan untuk dia di hari itu. Best practice lainnya, Andy Pearson yang selalu menanyakan so what dan now what di akhir setiap presentasi.
Seorang pemimpin harus mengukur kemajuan yang telah dicapai dalam mencapai big goal tersebut, dan harus memastikan bahwa semuanya bergerak sesuai dengan rencana. Tidak hanya berhenti di sini, seorang pemimpin juga harus merekognisi kemajuan yang telah dicapai dan kinerja luar biasa yang diberikan oleh pengikutnya, sehingga ini semua akan memotivasi orang-orang lebih bergerak lagi.
Tentu saja kenyataannya, pasti ada halangan dalam mencapai big goal tersebut. Tip singkat yang diberikan, pastikan kita telah mendengar dari semua orang akan pemikiran mereka terhadap semua isu karena mereka mungkin melihat sesuatu yang tidak kita lihat.
Buku ini ditutup dengan sebuah cerita yang sangat menarik untuk memperkuat esensi taking people with you. Dalam kariernya, tujuan Magic Johnson adalah melakukan passing assist sehingga membantu pemain lainnya agar sukses. Alhasil, Kareem Abdul Jabaar menjadi scorer terbaik, James Worthy berhasil masuk menjadi tim All-Star, dan Bryon Scott mencatat rekor tiga poin terbanyak. Itulah definisi taking people with you yaitu memilih tim sendiri dan sebagai hasilnya, semuanya menjadi lebih baik, termasuk bagi sang pemimpin.
Sebagaimana yang direkomendasikan, sebaiknya buku ini tidak dibaca langsung habis tetapi dibaca per bab, direfleksikan dan diaplikasikan sebelum melanjutkan ke bab berikutnya. Dengan cara ini, manfaat buku ini akan maksimal. Sekali lagi, kekuatan buku sesungguhnya bukan dalam hal isi, tetapi dalam organisasinya sebagai workbook yang efisien.
EDISON LESTARI

Dunia Tanpa Kepemimpinan

Judul Buku : Every Nation for Itself: Winners and Losers in a G-Zero World
Pengarang: Ian Bremmer
Penerbit : Penguin Group
Cetakan : Pertama, Mei 2012
Tebal : viii + 229 halaman
kepemimpinan, buku, Every Nation for Itself
G-Zero (government 0) merujuk pada suatu fenomena saat ini: tidak ada satu negara atau satu aliansi negarapun yang mau dan mampu memegang tongkat kepemimpinan secara global. Ini karena negara-negara yang di masa lalu pernah menjadi pemimpin dunia, saat ini sedang menghadapi berbagai masalah internal yang besar, kompleks dan pelik. Amerika Serikat yang pernah amat digdaya, kini lumpuhsecara politik ataupun ekonomi. Besarnya defisit anggaran belanja mengurangi kemampuannya bermain dipercaturan politik dan ekonomi global. Kawasan Eropajuga sedang menghadapi persoalan keuangan akut, yang bisa mengarah pada bubarnya aliansinegara Eropa.
Cina yang digadang-gadang memiliki potensi besar menjadi negara adidaya berikutnya, juga sedang menghadapi persoalan pelemahan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya berbagai masalah domestik. Sementara negara yang baru muncul (new emerging force) seperti Brasil, Turki ataupun India belum bisa diharapkan memegang kepemimpinan dunia, karena prestasi ekonomi yang dicapainya selama ini belum memiliki fondasi yang cukup kuat untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan. Adapun aliansinegara seperti G-8 dan G-20, yang diharapkan dapat berperan memimpin dunia secara kolektif, tidakmenunjukkan kinerja kepemimpinan yang diharapkan. Sehingga, untuk pertama kalidalam 7dekade terakhir, tidak ada satu kekuatan atau aliansi kekuatan yang muncul untuk memimpin dunia dan membantu menyolusi permasalahan yang bersifat global.Masing-masing negara hanya berpikir dan bertindak untuk kepentingan sendiri.
Ironis, memang. Persoalan dunia kian besar, kompleks dan melintasi batas negara, tetapi kemampuan atau kekuatan negara maju ataupun aliansi negara maju semacam G-8 atau G-20 malah kian memudar. Padahaldi lain pihak, masalah global yang terkait perekonomian global, perubahan iklim, cyberattack, terorisme dan keamanan pangan serta air bersih tidak bisa diatasi oleh satu negara saja. Harus ada kerjasama yang baik untuk menyolusi bersama. Dunia membutuhkan kepemimpinan yang mau dan mampu menanggung biaya atau beban yang harus ditanggung dan memiliki kekuatan yang memadai untuk memaksakan suatu kompromi tertentu yang bertujuan menyolusi masalah yang dihadapi. Untuk memimpin perlupengorbanan, tetapi dalam kondisi seperti saat ini tidak ada satu negarapun yang bersedia berkorban. Contohnya Cina. Walaupun memiliki kemampuan untuk itu, Cina menolak berkorban untuk menjadi pemimpin internasional saat ini.
Dulu, AS, dengan segala kedigdayaannya mampu turut serta secara aktif memimpin menyelesaikan berbagai persoalan dunia. Kini, berbagai persoalan domestik yang melilitnya menjadikan AS kurang peduli terhadap persoalan global yang tidak secara langsung dapat mengganggu mereka. Bahkan, walaupun awalnya globalisasi adalah inisiatif AS, sekarang dipandang sebagai sesuatu yang cukup mengganggu mereka. Globalisasi memudahkan banyak barang murah masuk ke pasar domestiknya dan menghilangkan banyak lapangan pekerjaan.
Pernah terbersit harapan, dengan berakhirnya era perang dingin, diperkirakan AS akan mampu memimpin dan mendominasi politik ekonomi global. Nyatanya tidaklah demikian. Yang terjadi bukannya harmonisasi dalam tatanan internasional, melainkan dunia tanpa kepemimpinan yang bisa mengarah pada terjadinya kekacauan di tingkat global.
Sekarang kita memasuki suatu periode transisi dari dunia yang telah dikenal dengan baik ke dunia yang belum terpetakan. Pergeseran atau perubahan di masa transisi ini pasti menimbulkan konflik antarnegara. Dalam kondisi tidak ada suatu pihakpun yang berani mengambil inisiatif, tindakan masing-masing negara hanyalah menunggu aksi yang dilakukan pihak lain.Selain itu, dalam kondisi masing-masing negara hanya mementingkan kepentingannya sendiri, sikap untuk melakukan isolasi atau proteksi dalam perekonomian suatu negara semakin meningkat dan itu akan memperburuk kohesivitas antarnegara tingkat global.
Tanpa adanya kepemimpinan global yang kuat, tidak ada yang mampu dan bisa menghukum jika suatu negara melakukan pelanggaran yang menyebabkan gangguanharmonisasi tatanan internasional. Dalam dunia G-Zero, kekuatan ekonomi, bukannya kekuatan militer, yang akan menentukan keseimbangan kekuatan internasional. Negara seperti Brasil, Indonesia, Turki dan negara lain yang memiliki pasar relatif besar berpotensi ikut memengaruhi arah pergerakan perekonomian global. Momentum ini merupakan peluang bagi negara-negara tersebut untuk membangun kekuatan ekonomi baru berskala global. Senjata dalam percaturan dunia saat ini adalah akses pasar yang besar, aturan investasi yang jelas dan nilai tukar yang layak.
Dunia tanpa kepemimpinan mendorong munculnya tuntutan untuk menata ulang tatanan ekonomi dunia baru yang tidak semata-mata didominasi kepentingan negara maju seperti di masa lampau. Dalam hubungan internasional, negara yang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan internasional (adapter)akan mampu bertahan dan akhirnya bisa mendominasi percaturan ekonomi politik dunia.
Indonesia dapat berperan banyak dalam kondisi demikian. Di samping memiliki pasar yang besar, Indonesia juga memiliki hubungan baik dengan hampir semua negara di dunia. Indonesia dapat berperan sebagai pusat hubungan (pivot) yang mampu menjalin hubungan baik dengan banyak negara, baiksecara ekonomi maupun politik. Karena tak punya banyak musuh, Indonesia dapat dengan leluasa menjalin hubungan dengan banyak negara mana pun, baik di tingkat regional maupun internasional. Indonesia dapat menjalin hubungan yang seimbang dengan Cina, AS, Jepang dan negara maju lain tanpa menimbulkan kecurigaan.
Dalam kondisi saat ini, seringkali atas nama keuntungan (profit),suatu negara bisa bertindak seenaknya karena mereka tahu tidak ada satupun negara yang mampu menjatuhkan sanksi terhadap mereka. Artinya, pihak yang melakukan kecurangan (cheater) akan menang karena tidak ada satu negarapun yang mampu menegakkan aturan yang disepakati bersama.Dengan tidak adanya kepemimpinan global, tidak ada tindakan kolektif yang bisa diharapkan untuk menyolusi masalah global secara bersama. Ini tantangan global di masa depandan kita harus siap menghadapi segala konsekuensinya.
Eko Widodo, staf pengajar Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Komunikasi,Unika Atma Jaya, Jakarta

Menjadi Bos yang Efektif


Judul : Being the Boss, The 3 Imperatives for Becoming A Great Leader
Penulis : Linda A Hill dan Kent Lineback
Penerbit : Harvard Business Press, 2011
Tebal : 306 halaman

Being the Boss, The 3 Imperatives for Becoming A Great Leader
Menjadi bos yang efektif bukanlah hal mudah karena ada jurang yang lebar antara pekerjaan manajemen dan pekerjaan sebagai individual performer. Awalnya, kita mengira pekerjaan sebagai manajer hanya perpanjangan dari pekerjaan individual contributor sebelumnya. Namun, perjalanan waktu membuktikan sebaliknya, tugas sebagai seorang manajer sangat berbeda dari tugas seorang contributor individual. Manajer harus berpikir secara berbeda dari level sebelumnya.
Menjadi manajer yang efektif membutuhkan pengetahuan dan keahlian baru, serta perubahan personal. Mereka harus mengembangkan nilai baru, kesadaran diri lebih mendalam, kematangan emosi yang lebih dalam, serta kemampuan memakai wise judgement. Menjadi manajer yang efektif berarti berada dalam jaringan tingkat harapan yang berbeda antara anak buah, supervisor, sesama manajer dan konsumen. Dengan demikian, bukan mustahil menjadi manajer merupakan perjalanan yang menyakitkan dan sulit. Banyak yang tidak pernah menyelesaikan perjalanan tersebut, atau menyelesaikannya tetapi hanya melaluinya dengan menjadi bos yang mengerikan.
Buku ini berdasarkan pada riset selama 30 tahun mengenai apa yang dilakukan oleh manajer yang efektif dan bagaimana mereka belajar melakukannya. Kesimpulannya: manajemen semakin sulit dan semakin sulit.
Tugas seorang bos dapat dibagi menjadi tiga kategori: mengelola diri sendiri (manage yourself), mengelola jaringan (manage a network) dan mengelola tim (manage a team). Dalam hal mengelola diri sendiri, memiliki hubungan yang benar dengan orang-orang merupakan dasar perjalanan sebagai manajer. Walau demikian, patut dicatat bahwa memiliki hubungan yang benar tidak akan menjamin sukses, tetapi tidak memilikinya pasti akan menyebabkan kegagalan. Manajemen dimulai dengan siapa diri kita dan bagaimana orang-orang mem-perceive kita. Kesalahan paling mendasar dalam manajemen adalah menganggap kekuasaan (otoritas) sebagai alat untuk memerintah orang lain mengerjakan apa yang kita mau. Kesalahan lainnya, mendasarkan hubungan kerja atas persahabatan atau pertemanan. Hubungan yang benar adalah berdasarkan kompetensi dan karakter.
Bila Anda mengira tugas manajer hanya mengelola sendiri dan tim, Anda salah besar. Manajer yang efektif juga harus mengelola jaringan. Banyak manajer yang berusaha menghindari politik dalam organisasi, tetapi buku ini menyarankan bahwa manajer yang efektif harus mengerti konteks di mana timnya bekerja. Dengan perkataan lain, seorang manajer harus mengerti dinamika politik dan realitas dalam sebuah organisasi. Konflik tidak selamanya disfungsional. Dengan demikian, manajer harus mampu menjalin jaringan pengaruhnya (web of influence). Cara yang paling efektif adalah secara proaktif membangun hubungan dengan orang yang kita butuhkan dan membutuhkan kita, tetapi kita tidak memiliki kekuasaan formal.
Satu hal utama dalam membangun jaringan adalah jangan lupa dengan bos kita. Hubungan dengan bos adalah hubungan yang sangat krusial karena bos adalah salah satu anggota terpenting dalam jaringan kita. Bos dapat menjadi sumber pengaruh bagi kita.
Karena organisasi saat ini semakin kompleks dan cair dengan adanya tim sementara, multiple boss pada saat bersamaan dengan organisasi matriks, ataupun problem solving secara kolektif, organisasi saat ini semakin politis sehingga insight dan keahlian yang dibahas dalam buku ini menjadi kian krusial untuk kesuksesan dan kemajuan karier manajer.
Yang terakhir, tentu saja, membangun tim. Membangun tim adalah hal yang sangat kompleks karena tim berbeda dari grup. Buku ini mendefinisikan tim sebagai sebuah grup dengan orang-orang yang melakukan pekerjaan secara kolektif (collective work) dan secara bersama memiliki komitmen (mutual commitment) terhadap tujuan dan tantangan tim. Collective work dan mutual commitment ini yang menjadi kata kunci dari sebuah tim yang harus dikelola oleh seorang manajer dengan efektif.
Untuk membentuk dan mengelola sebuah tim secara efektif, seorang manajer harus mendefinisikan masa depan dengan jelas. Tanyakan apakah tim Anda memiliki tujuan bersama dan goal yang menantang untuk tujuan tersebut? Selanjutnya, anggota tim juga harus memiliki kejelasan mengenai apa yang dilakukan, bagaimana melakukan pekerjaannya, serta bagaimana orang-orang bekerja dalam organisasi tersebut. Tujuan dan budaya tim (nilai, asumsi, kepercayaan, dan praktik bersama) ini yang akan mengubah sebuah grup menjadi sebuah tim.
Jangan lupakan, anggota tim juga manusia. Walaupun fokus kita membentuk tim, kita tidak dapat mengingkari faktor manusia dalam tim kita. Perhatikan konteks hiring, mengelola kinerja dan mengembangkan talenta dalam konteks tim.
Bab terakhir mengenai manajemen kinerja sehari-hari. Di sinilah seorang manajer yang efektif mengeksekusi manajemen tersebut. Manajer yang efektif akan memanfaatkan setiap momentum, baik masalah maupun kesempatan, untuk membuat kemajuan guna mencapai tujuan bersama.
Meskipun penulis buku ini seorang faculty chair di Leadership Initiative di Harvard Business School, buku ini tidak bersifat akademis, sebaliknya ditulis dalam bahasa yang sangat praktis dan mudah dimengerti. Perspektif yang ditawarkan juga dapat bersifat praktis karena penulis lainnya, Kent Lineback, adalah eksekutif senior dengan pengalaman manajerial yang sangat luas dari manajemen proyek sampai level eksekutif. Perpaduan itu memungkinkan buku ini bernada praktis sehingga pembaca dapat mengambil tindakan langsung yang spesifik tetapi tetap tidak kehilangan perspektif terhadap prinsip agar menjadi seorang manajer yang efektif.
Buku ini bukan hanya cocok bagi yang baru menjadi bos tetapi juga yang sudah lama menjadi bos.
Apa yang saya mengerti adalah banyak bos yang tidak melakukan transformasi psikologis dari kontributor individual menjadi manajer. Banyak yang tidak memenuhi potensinya. Mereka mau, tetapi kenyataannya menyimpang ataupun berhenti di tempat.” Itulah alasan penulis menulis buku ini. Bila Anda tidak mau menyimpang ataupun berhenti di tempat dalam perjalanan Anda sebagai seorang manajer, buku ini akan menjadi buku pegangan wajib.
EDISON LESTARI

Menyambut Panggilan dalam Mengambil Keputusan

Judul : Judgment Calls: Twelve Stories of Big Decisions and the Teams that Got Them Right
Penulis : Thomas H. Davenport dan Brook Manville
Penerbit : Harvard Business Review Press
(3 April 2012)
Tebal : 288 halaman
ISBN : 978-1422158111
Harga : US$ 30

Judgment Calls: Twelve Stories of Big Decisions and the Teams that Got Them Right
Bagi para praktisi dan pemerhati manajemen pengetahuan, Thomas Davenport bukanlah nama asing. Davenport telah lama dikenal sebagai salah satu pemikir manajemen pengetahuan yang berpengaruh di dunia. Kecintaannya pada ranah keilmuan manajemen pengetahuan terbukti dengan produktivitasnya menghasilkan berbagai karya di bidang ini. Kali ini, profesor tamu di Harvard Business School ini berkolaborasi dengan Brook Manville, mantan Direktur Manajemen Pengetahuan McKinsey, merangkum kisah 12 organisasi yang berhasil mengelola data dan pengetahuan yang mereka miliki menjadi alat penilaian dan pengambilan keputusan yang efektif.
Ide ditulisnya buku ini bermula ketika kedua penulis itu mengamati bahwa krisis berkepanjangan yang melanda dunia saat ini (terutama di Amerika Serikat dan Eropa) bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan para pelakunya. Sebut saja, krisis finansial di AS. Industri finansial AS yang terpusat di Wall Street penuh disesaki profesional lulusan universitas Ivy League, siapa yang meragukan kompetensi dan pengetahuan para profesional itu? Namun, tetap saja kecemerlangan otak para pelaku industri finansial tersebut tidak dapat mencegah krisis yang terus terjadi hingga kini. Davenport dan Manville menduga, masalah utamanya bukan pada kurangnya pengetahuan ataupun kompetensi, melainkan lebih pada kurangnya kemampuan membuat judgment (penilaian).
Fokus kedua penulis buku ini bukan terletak pada proses penilaian oleh individu, melainkan lebih pada proses penilaian organisasi (organizational judgment). Penilaian organisasi adalah kapasitas kolektif organisasi dalam memberikan penilaian yang bijak pada sebuah masalah. Kedua penulis meyakini bahwa penilaian organisasi memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari kekuasaan seorang pemimpin, karena penilaian organisasi memiliki kekuatan yang menyeluruh dan tidak tergantung pada figur satu individu saja. Penilaian organisasi tidak hanya melibatkan informasi, tetapi juga seluruh atmosfer organisasi, seperti kepercayaan, emosi, bias, dan perangkat nilai. Sebagai contoh di level individu, segala keputusan yang kita ambil tentu tidak hanya berdasarkan analisis matematis, tetapi juga melibatkan perasaan, suka/tidak suka, dan nilai yang kita yakini, itulah judgment.
Kelemahan organisasi dalam melakukan penilaian kolektif, dan hanya mengandalkan penilaian individu dari sang pemimpin, sangat tampak pada kegagalan proses akuisisi Yahoo! oleh Microsoft pada 2008. Pada tahun tersebut, Microsoft, yang telah mengamati sepak terjang Yahoo! sejak lama, berniat mengambil alih kepemilikan Yahoo! untuk menambah asetnya di bisnis Internet. Saatnya dinilai tepat karena performa Yahoo! saat itu tengah menurun, nilai sahamnya 44% di bawah harga tertinggi yang pernah dicapai, dan Yahoo! baru saja memecat 10% karyawannya. Pada 1 Februari 2008, Microsoft datang dengan tawaran US$ 31 per lembar saham (senilai US$ 44,6 miliar), sebuah tawaran yang sangat menggiurkan karena tawaran ini 62% lebih tinggi dari nilai Yahoo! saat itu. Jerry Yang, pendiri sekaligus CEO Yahoo!, menolak tawaran tersebut dan bahkan ketika Microsoft datang kembali dengan tawaran US$ 33 per lembar saham (70% di atas nilai Yahoo!). Jerry Yang secara pribadi memiliki penilaian bahwa nilai sesungguhnya Yahoo! saat itu paling tidak dapat mencapai US$ 4 lebih tinggi dari tawaran terakhir Microsoft.
Pada 3 Mei 2008, Microsoft menarik total tawarannya terhadap Yahoo! Akibatnya, saham Yahoo! limbung dan Yahoo! hingga kini tidak dapat lagi mencapai kejayaannya seperti dulu. Akibat lebih jauh, Jerry Yang diberhentikan sebagai CEO Yahoo! dan digantikan oleh Carol Bartz. Kesalahan penilaian organisasi Yahoo! ternyata terus berlanjut karena Bartz tidak dapat mendongkrak performa perusahaan dan diganti setelah hanya sempat dua tahun ada di puncak kepemimpinan Yahoo! Penggantinya adalah mantan CEO Paypal, Scott Thompson yang ditunjuk sebagai CEO Yahoo! pada Januari 2012. Kontroversi masih terus berlanjut karena pada Mei 2012 Thompson diduga memalsukan ijazah sarjana komputernya, dan langsung diminta mundur oleh para pemegang saham karena dinilai tidak kredibel lagi sebagai pemimpin perusahaan. Dari berbagai peristiwa yang melanda Yahoo! ini, tampak ada kelemahan penilaian organisasi yang terjadi secara struktural sehingga organisasi selalu salah dalam mengambil keputusan.
Sebaliknya, sebuah kisah kesuksesan proses penilaian organisasi datang dari konsultan manajemen global ternama, McKinsey&Co. Sejak 1980-an, McKinsey menghadapi sebuah dilema, bagaimana mencari bakat konsultan yang berkualitas di tengah pesatnya pertumbuhan bisnis konsultansi mereka. Bagi organisasi yang sangat menjaga reputasinya sekelas McKinsey, persoalannya adalah kualitas, bukan pada kuantitas. Secara tradisional, McKinsey berburu bakat terbaik dari para pemegang MBA Harvard Business School dan universitas sekelasnya. Namun, ketika persaingan rekrutmen dengan sesama konsultan manajemen lainnya semakin ketat, bakat yang berkualitas semakin sulit tersedia. Maka, haruskah McKinsey meninggalkan pola tradisional mereka dalam merekrut calon konsultan? Misalnya dengan merekrut profesional berpengalaman di bidang tertentu, atau bahkan mererut para Ph.D. Setelah melakukan diskusi dan studi internal yang menyeluruh, McKinsey akhirnya mengubah kebijakannya dengan tidak lagi melihat pada gelar, tetapi lebih pada mencari kandidat konsultan dengan kemampuan analisis yang dalam, daya intelektualitas di atas rata-rata, serta kemampuan berpikir kreatif.
Sejak saat itu, mulailah McKinsey melakukan kombinasi rekrutmen antara lulusan MBA dari berbagai sekolah bisnis ternama dengan para profesional dan Ph.D di bidang hukum, fisika, kebijakan publik, bahkan dokter. Ini adalah sebuah penilaian organisasi, karena dilakukan berdasarkan kebutuhan organisasi dan didukung secara penuh oleh segenap anggota organisasi di McKinsey. Hasilnya, para konsultan yang direkrut dari jalur nontradisional pun dapat memiliki performa yang superior, performa khas McKinsey.
Satu hal yang dapat kita cermati dari buku ini bahwa manajemen pengetahuan bukan sekadar proses pengolahan data menjadi informasi, kemudian transformasi informasi menjadi pengetahuan, dan proses berbagi pengetahuan semata. Para pakar manajemen pengetahuan ini menunjukkan bahwa hal yang lebih mendasar dari pengelolaan pengetahuan adalah bagaimana menjadikan pengetahuan sebagai dasar penilaian dan pengambilan keputusan yang tertanam (embedded) secara otomatis di dalam organisasi. Dengan demikian, segenap anggota organisasi akan memiliki panggilan (calling) alami dalam menjadikan pengetahuan sebagai aset organisasi yang paling berharga.
YUDO ANGGORO

Banggalah pada Diri Sendiri

Judul : Self-Promotion for Introverts
Penulis : Nancy Ancowitz
Penerbit : The McGraw-Hill Companies, Inc. 2010
Tebal : xvii + 269 Halaman
I’ve seen you silent at meetings. I’ve seen you eating lunch alone. And I’ve even seen your louder, less talented colleagues promoted over you. Yet I know you have something to say. What stops you from saying what you want to say, especially when it’s about you? Perhaps you don’t want to brag or draw too much attention to yourself.”
Paragraf itu terdapat di halaman pertama buku Self-Promotion for Introverts. Kalau dicermati, ada beberapa poin yang menjelaskan karakter seorang introvert. Pendiam, penyendiri, bersuara keras, tidak suka (atau malu) menonjolkan diri. Akhirnya, kariernya kalah dibandingkan dengan rekan-rekannya yang punya karakter sebaliknya. “Itulah karakter orang introvert,” kata Nancy Ancowitz, penulisnya.
Ancowitz tampaknya tak mau dengan sengaja larut dalam penjelasan tentang gejala karakter introvert. Ancowitz menulis buku ini juga bukan untuk menunjukkan kelemahan karakter introvert. Dia ingin menunjukkan bahwa bila Anda memiliki karakter seperti itu, bukan berarti karier Anda kiamat. Tak ada yang lebih baik apakah introvert atau ekstrovert. Sebab, meski memiliki kelemahan, karakter ini juga memiliki kelebihan. Buktinya, tokoh-tokoh sukses seperti Bill Gates, Warren Buffett, Charles Schwab, Steven Spielberg dan CEO Sara Lee Corporation Brenda Barnes adalah orang-orang yang memiliki karakter introvert.
Menurut Ancowitz, orang penyendiri bukan karena tidak ingin bergaul atau tidak memiliki jiwa sosial. Dia lalu menunjukkan bukti. Dalam sebuah wawancara dengan Oprah Winfrey, komedian Jerry Seinfeld mengakui bahwa dia memiliki pribadi introvert. Namun, dia menambahkan hal penting tentang karakternya. ”Saya mencintai orang-orang, tetapi saya tidak bisa berbicara dengan mereka. Di atas panggung, baru saya bisa.”
Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh Ancowitz, mengapa Seinfeld bisa berbicara saat di atas panggung. Padahal, ”Introvert mendapatkan lebih banyak stimulasi mereka secara internal, sedangkan ekstrovert mencari sumber-sumber di luar,” kata Debra L. Johnson, Ph.D., seorang psikolog fisiologis dan peneliti utama di Universitas Iowa yang melakukan studi terhadap aktivitas otak berkaitan dengan kecenderungan introvert dan ekstrovert. Logikanya, karena ditonton banyak orang (faktor eksternal), Seinfeld jadi berani berbicara.
Namun, Ancowits memang bukan psikolog. Dia seorang pelatih komunikasi bisnis, khususnya dalam pengembangan karier dan keahlian dalam presentasi. Karena itu, ketika membahas karakter introvert, Ancowitz merujuk para pakar, terutama psikologi. Dalam hal perbedaan biologi, misalnya, seperi di paragraf sebelumnya, Ancowitz mengutip pendapat Johnson.
Menurut Johnson, introversi berkaitan dengan aktivitas di daerah otak yang bertanggung jawab untuk belajar, memori, perencanaan dan produksi bahasa. Sementara itu, ekstroversi berkaitan dengan pemrosesan sensorik. Ekstrovert mungkin didorong untuk mencari rangsangan sensorik dari orang atau situasi lain karena mereka tidak dapat menyediakan tingkat stimulasi internal secara optimal. Hipotesis ini mendukung gagasan bahwa introvert cenderung lebih berfokus pada internal dan ekstrovert cenderung lebih dikendalikan lingkungan eksternal.
Melalui buku ini, Ancowitz berbagi pengalaman dan membantu orang sebanyak mungkin — terutama introvert — untuk mempromosikan diri mereka lebih mendalam. Dalam menyusun buku ini, Ancowitz melakukan serangkaian wawancara dengan banyak orang ternama termasuk Cathie Black (Majalah Hearst), Warren Buffett, Bill Clinton (mantan
Presiden AS), guru pemasaran Seth Godin, Earvin “Magic” Johnson, Katharine Myers (Myers-Briggs Trust), Craig Newmark (pendiri Craigslist), Leonard Nimoy dan Chita Rivera. Dari serangkaian wawancara tersebut, Ancowitz bekesimpulan bahwa mereka berhasil karena keberanian mereka untuk tetap memiliki visibilitas yang tinggi. Melalui buku ini, Ancowitz berharap Anda bisa belajar tentang visibilitas dari kebijaksanaan kolektif mereka.
Jadi, apakah lebih baik menjadi introvert atau ekstrovert? “Keduanya memiliki kekuatan dan jebakan,” kata Daniel Jelatang, Ph. D. dalam artikel berjudul “The Science Behind Personality yang dia tulis untuk The Independent, Inggris. “Scoring kepribadian tidak akan memberitahu Anda apa pun yang Anda tidak tahu. Ini didasarkan pada bagaimana Anda melihat diri sendiri, sehingga secara logis tidak bisa. Namun, hal itu dapat mengungkapkan kepada Anda bagaimana Anda dibandingkan dengan orang lain, dan (itu) juga dapat menekan Anda menjadi akumulasi kekayaan pengetahuan psikologis tentang kekuatan dan beban orang lain yang memiliki pengalaman serupa dengan Anda.” Teknik scoring inilah yang banyak ditampilkan Ancowitz dalam buku ini sehingga memudahkan pembaca mengevaluasi diri.
Mengenali kelebihan Anda, menurut Ancowitz, merupakan suatu usaha yang penting karena pada dasarnya tidak ada satu resep yang berhasil untuk satu orang dipastikan bisa dipakai untuk orang lain dengan hasil yang sama. Banyak faktor yang berpengaruh di dalamnya. Karena itu, orang yang berhasil memperoleh visibilitas — dari Whoopi Goldberg hingga Donald Trump — melakukannya dengan berbagai cara. Apa yang bekerja dengan baik bagi mereka tidak dapat bekerja untuk Anda, terutama jika Anda seorang introvert.
Sebagai orang yang introvert juga, melalui buku ini, Ancowitz mengajak para intovert lainnya untuk membangun skill yang dibutuhkan untuk meningkatkan visibilitas mereka. Tak ada penjelasan apa yang dimasud dengan visibility. Menurut Irving Rein, Philip Kotler, Michael Hamlin dan Martin Stoller dalam buku High Visibility (McGraw-Hill, 2006), visibility berarti membedakan seseorang dengan orang lainnya dan seperti apa visibility tersebut tergantung pada sektor, audiens potensial dan tujuan pribadi.
Visibilitas tinggi merupakan mekanisme yang menjelaskan bagaimana seseorang menciptakan dan mempertahankan dirinya menjadi dikenali publik. Dalam pasar yang semakin kompetitif, visibilitas merupakan faktor tunggal yang menjelaskan perbedaan antara seseorang yang memiliki kompetensi tertentu dan seseorang lainnya. Memahami bagaimana proses visibilitas menjadi tinggi juga dapat menjelaskan mengapa beberapa selebritas, misalnya, mendapat sorotan dan kemudian pudar seketika sementara yang lain muncul kembali dalam bentuk baru.
Melalui buku ini, Ancowitz hanya menuntun Anda menemukan jalan yang cocok untuk apa yang Anda miliki. Intinya, jika Anda memiliki sesuatu yang berbeda dari orang lain, Ancowitz merekomendasikan Anda untuk segera meningkatkan visibilitas Anda. Sebab, begitu Anda memiliki keunikan, mengapa Anda tidak mempromosikan diri Anda?
Ambil contoh Hillary Clinton. Anak perempuan dari keluarga kelas menengah dari Park Ridge, Illinois, ini berhasil menciptakan profile image yang bertentangan yang sempurna. Dia cerdas, penuh kasih, sosok ibu yang memahami, berarti, hingga politisi. Masalahnya, dalam proses tranformasinya itu, dia memiliki terlalu banyak Pygmalions -- seorang pemuda yang membenci perempuan.
Penasihatnya berusaha keras untuk melunakkan citranya sesuai dengan keinginan dari jajak pendapat terbaru. Karena itulah, diciptakan kegiatan untuk memperlunak citranya, yaitu kegiatan yang terkait dengan aktivitas sosial. Misalnya, pada suatu hari dia adalah First Lady yang memanggang kue di pagi hari, minum teh dengan Pramuka putri pada sore harinya, dan kemudian menghabiskan malam dengan Martha Stewart di acara Natal.
Sebaliknya, pada hari berikutnya dia menunjukkan kepiawaiannya dalam berbicara soal kekerasan rumah tangga, memberikan ceramah untuk wartawan seputar isu keadilan dalam liputan jurnalistik, dan memberi saran kepada Presiden tentang konflik Bosnia. Penampilannya, tidak seperti Eliza, juga berubah setiap hari sesuai dengan perannya, sebagai perias wajah, rambut dan pakaian untuk anak perempuannya, dan sebagainya.
Lalu bagaimana cara orang introvert meningkatkan visibilitas, Ancowitz memberi tip:
- Seimbangkan waktu yang Anda habiskan untuk melakukan sesuatu dengan waktu yang Anda gunakan untuk berpikir atau berbicara tentang apa yang Anda lakukan.
- Kumpulkan semua yang Anda lakukan dengan baik dengan menulis prestasi Anda, termasuk file ucapan selamat melalui surat elektronik (surel), testimonial, dan evaluasi kinerja cemerlang yang Anda terima.
- Berlatihlah untuk mengartikulasikan prestasi Anda, dan sampaikan hal itu kepada rekan senior, mentor, atau pelatih yang Anda percayai untuk mendapatkan umpan balik.
- Dapatkan agenda rapat untuk membangun platform bagi ide Anda.
- Setelah rapat, tindaklanjuti dengan menulis surel untuk mengonfirmasi poin-poin yang Anda sampaikan dalam rapat.
- Tetap berkomunikasi dengan rekan kerja, manajer, dan klien sepanjang karier Anda. Biarkan mereka tahu kedatangan dan kepergian Anda.
- Jika Anda adalah seorang introvert yang suka bergaul, berbicaralah pada pertemuan, konferensi, dan acara sosial lainnya untuk meningkatkan kredibilitas dan visibilitas Anda.
Bagi introvert, mencapai visibilitas merupakan tantangan terbesar. Kaum introvert sering
membenamkan diri ke dalam tugas-tugasnya, terperosok ke kedalaman dunianya, dan lalai untuk muncul guna mendapatkan semangat untuk menemukan dunia baru. Apa yang perlu dilakukan si introvert? Legenda Broadway Chita Rivera menawarkan nasihat untuk Anda: “Jadilah orang yang bangga pada diri sendiri.”
*) Peresensi adalah Redaktur Eksekutif Majalah Mix-Marcom dan Dosen STIKOM-LSPR Jakarta.

Dari Pemimpin Perang Kuno untuk Pemimpin Bisnis Modern

Judul : Power Ambition Glory
Penulis : Steve Forbes dan John Prevas
Penerbit : Crown Business, 2009
Tebal : xii + 308 halaman
Pada saat menulis resensi buku Hannibal Crosses the Alpskarya John Prevas (2001) untuk Majalah Forbes, Steve Forbes mengambil kesimpulan bahwa semua pemimpin yang mencapai sesuatu yang besar, baik dalam bisnis maupun politik, biasanya melakukannya dengan menentang pemikiran konvensional saat itu. Elemen yang dibutuhkan pemimpin yang sukses juga tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Sejarah Yunani kuno juga telah mengajari kita bahwa kepemimpinan merupakan hal yang paling penting bagi kemakmuran rakyat.
Dengan pemikiran demikian, Steve Forbes, bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik untuk Pemilu 1996 dan 2000 yang juga merupakan CEO dan Editor-in-ChiefMajalah Forbesyang sangat berpengaruh, bekerja sama dengan John Prevas untuk menulis buku ini. Prevas sendiri telah melakukan napak tilas di pegunungan Prancis, Iran, Afganistan, Uzbekistan dan Pakistan untuk meneliti kehidupan tokoh-tokoh yang dibahas di buku ini.
Tesis dasar buku ini adalah terdapat persamaan yang sangat mengagumkan antara pemimpin masa lalu dengan masa kini. Forbes dan Prevas kemudian memilih enam tokoh dari Mediterania kuno untuk didiskusikan dalam buku ini: Cyrus, Xenophon, Alexander yang Agung, Hannibal, Julius Caesar dan Augustus. Semua tokoh ini memiliki karakter dan gaya kepemimpinan sendiri-sendiri. Dengan demikian, pelajaran yang dapat dipetik dari mereka menjadi sangat bervariasi dan saling melengkapi.
Bagi Cyrus yang mendirikan Kerajaan Persia (di mana Iran berada sekarang), kepemimpinannya bukan sekadar menaklukkan, tetapi membangun dengan visi. Walaupun daerahnya kelihatan seperti padang gurun belaka, Cyrus mampu melihat posisi strategis Persia dengan visi sebagai penghubung antara Cina dan Barat.
Persamaan Cyrus dalam konteks bisnis modern adalah Ray Kroc yang mengembangkan McDonald’s. Dulu, mengembangkan restoran drive-in merupakan hal yang tidak masuk akal, tetapi Kroc melihat posisi strategisnya seiring dengan pertumbuhan industri otomotif di AS.
Selain itu, Babilonia yang ditaklukkan Cyrus dapat diibaratkan dengan mentalitas perusahaan yang berpikiran bahwa pangsa pasarnya tidak mungkin direbut sampai terlambat untuk menyadarinya. Goodyear, yang dulu kala merupakan pemimpin pasar, menjadi contoh perusahaan dengan mentalitas Babilonia.
Tantangan yang dihadapi Xenophon lain lagi. Ditekan dari luar dengan musuh yang jumlahnya mencapai 100 kali lipat, Xenophon masih harus menghadapi anak buahnya yang menuntut agar suaranya didengarkan . Dia sukses melewati itu semua dengan membangun tujuan bersama (common purpose) dan konsensus. Dengan keahlian berkomunikasi dan memotivasi anak buahnya, Xenophon berhasil membalikkan kondisi putus asa menjadi kesuksesan. Kepemimpinannya membuktikan bahwa tim yang memiliki motivasi dan dipimpin dengan baik akan mampu mengatasi musuh yang jumlahnya ratusan kali lebih kuat.
Tokoh berikutnya sudah tidak asing bagi kita: Alexander yang Agung. Tokoh legendaris ini sukses luar biasa di kancah perang, tetapi nasibnya harus berakhir karena ketidakmampuannya dalam menentukan batasan ambisinya. Pelajaran terpenting dari tokoh ini adalah bagaimana ambisinya menjadi “Lord of Asia” dengan memasuki Afghanistan, Uzbekistan dan India justru membunuh dirinya karena kehabisan sumber daya. Di sisi lain, pada saat ditanya mengapa Kroc begitu lambat mengembangkan bisnisnya, dia menjawab tidak akan melakukan ekspansi kalau belum bisa memastikan semua toilet di gerai McDonald’s bersih sempurna.
Tokoh yang dibahas berikutnya adalah Hannibal. Dia memiliki kemenangan yang sama fenomenalnya dengan Alexander yang Agung. Bedanya, Hannibal mampu mengontrol ambisinya. Baginya, kepemimpinan adalah mengenai mengalahkan musuh dan bergerak lebih dekat ke tujuan. Kepemimpinan bukan untuk memuaskan ego pribadi dan memuaskan kepentingan sendiri. Dari sisi taktik, Hannibal juga menempuh cara yang tidak biasa bahkan bisa dibilang “gila” di saat itu: menyeberangi pegunungan di musim salju sehingga memberikan serangan yang tidak terduga oleh musuhnya. Sam Walton dengan Walmart-nya merupakan contoh aplikasi Hannibal dalam konteks bisnis modern. Dulu penguasa industri ritel di AS adalah Kmart dengan jumlah toko yang mencapai 50 kali lipat. Sam Walton mengalahkan Kmart dengan memakai teknologi informasi dan memasuki daerah pinggiran. Taktik ini merupakan sesuatu yang tidak biasa di saat itu.
Julius Caesar juga memiliki legenda yang tidak kalah dari tokoh-tokoh sebelumnya. Faktanya, Julius Caesar menaklukkan daerah yang lebih luas dan bertempur lebih banyak daripada Alexander. Berbeda dari Alexander, Julius menyempatkan diri mundur sejenak untuk mengonsolidasikan daerah kekuasaannya dan mereformasi Pemerintah Roma. Selain itu, Julius pun lebih mampu memaafkan musuhnya yang mau mengaku. Julius percaya bahwa dia memiliki takdir yang sakti untuk menjadi raja dunia. Sama seperti Alexander, Julius juga berakhir karena egonya dan kelemahannya yang memungkinkannya dibunuh oleh lingkaran dalamnya. Hank Greenberg yang pernah menjadi legenda di AIG dan Sandy Weill dari Citibank merupakan contoh manifestasi modern mengenai pemimpin bisnis besar yang jatuh karena egonya.
Tokoh yang terakhir adalah Augustus yang dapat dikatakan merupakan contoh pemimpin ideal. Augustus membangun kerajaan dengan infrastruktur politik dan finansial. Timnya pun dibentuk dengan orang-orang yang kompeten. Dia sendiri juga menyadari kekuatan dan kelemahannya serta sejauh mana dapat mengembangkan kerajaannya. Buku ini menyatakan Augustus adalah contoh pemimpin ideal yang kepemimpinan dan kesuksesannya berasal dari keseimbangan antara power, ambition dan glory. Alfred Sloan yang mendirikan General Motors merupakan contoh pemimpin ideal yang mengaplikasikan prinsip kepemimpinan Augustus dalam konteks bisnis modern.
Buku ini ditutup dengan tiga kesimpulan utama. Pertama, karakter merupakan fondasi utama tempat seorang pemimpin yang baik dibentuk. Berikutnya, kemauan untuk mempertimbangkan pendapat dan perspektif orang lain menunjukkan keyakinan diri dan kekuatan seorang pemimpin. Terakhir, sukses sebuah bisnis tidak ditentukan semata oleh keahlian dan kharisma seorang pemimpin.
Power Ambition Glory merupakan buku yang harus dibaca dengan pelan dan cermat, terutama bagi yang tidak terbiasa dengan sejarah Mediterania kuno. Beruntungnya, buku ini memberikan pengantar dan peta sebelum membahas seorang tokoh secara rinci. Walaupun agak berat, pelajaran yang diberikan oleh tokoh sejarah sangat mendalam, baik untuk kehidupan, bisnis, karier maupun politik.
Dengan melihat pengalaman para tokoh di atas, penulis buku ini berharap kita, pembacanya, akan mampu mendapatkan perspektif yang baru mengenai arah yang kita tuju, bagaimana mencapainya dan gambaran tentang hasilnya. Kisah-kisah di atas akan membuat kita menjadi lebih efektif dalam membangun organisasi dan memenuhi tanggung jawab kita sebagai seorang pemimpin.
Sama seperti yang dikatakan mantan Gubernur New York Rudy Guilani di bagian Pengantar, buku ini adalah sebuah referensi mengenai bangun dan jatuhnya kerajaan, sekaligus perspektif baru mengenai pemimpin bisnis modern dan bagaimana mereka berada dalam kerangka sejarah.
*) Peresensi bekerja di Development Planning sebuah perusahaan minyak asing, Jakarta.

Belajar Kepemimpinan dari Disney Institute

Judul : Creating Magic
Penulis : Lee Cockerell
Penerbit: Vermilion, 2 Juli 2009
Tebal : 288 halaman
It’s not the magic that makes it work,
it’s the way we work that makes it magic.
Walt Disney. Kita semua sudah mengenal nama ini sejak kecil. Mungkin kita semua mengasosiasikan Walt Disney dengan dunia imajinasi ataupun dunia hiburan semata. Sesungguhnya, di balik glamornya dunia impian Disney, tersimpan pelajaran kepemimpinan dan manajemen yang sangat besar. Hal ini dapat dimengerti mengingat besarnya skala operasional DisneyLand.
Pada 1986, Disney mendirikan Disney Institute yang berfungsi sebagai “laboratorium hidup” untuk mengajarkan prinsip manajemen. Kali ini, Lee Cockerell, Wapres Eksekutif Operasional Walt Disney World Resort selama 10 tahun dan membawahkan 40 ribu anggota pemeran, berbagi pelajaran kepemimpinan sebagaimana yang diajarkan di Disney Institute.
Setiap manusia, dalam tingkatan apa pun, ingin diperhatikan, dihormati dan dilibatkan. Ketika setiap orang diperhatikan dan tahu bahwa dia diperhatikan, dia akan bahagia untuk bekerja dan memberikan dedikasi terbaik. Kemampuan berhubungan dengan manusia bukan merupakan anugerah, melainkan sesuatu yang dapat dipelajari. Di Disney, konsep ini diformulasi menjadi Respect, Appreciate and Value Everyone (RAVE). Seorang pemimpin harus mengenal timnya dan membiarkan tim mengenal dirinya. Prinsip pertama ini dapat dirangkum sebagai “perlakukan para anggota pemeran (sebutan Disney untuk karyawannya) seperti apa yang diinginkan mereka lakukan terhadap para tamu”. Para anggota pemeran memiliki harapan yang sama dengan para tamu: mereka ingin diperlakukan dan dihormati sebagai individu, secara spesial dan berpengetahuan luas.
Strategi kedua, mengenai struktur organisasi. Struktur yang tidak jelas menyebabkan inkonsistensi. Studi kasus yang dibawa adalah pada saat satu kaleng Coca-Cola memiliki dua harga yang berbeda dalam kompleks DisneyLand, para koki memesan 25 tipe kentang dan 130 tipe pasta karena tidak adanya komunikasi. Lee kemudian membenarkan masalah ini dengan menyewa konsultan luar untuk merombak struktur dan merumuskan siapa yang mengambil tanggung jawab terakhir setiap keputusan. Dalam setiap perubahan, pasti terdapat pertentangan dari anggotanya. Lee memakai ilustrasi yang bagus: selama 125 tahun, Tabasco selalu dibuat dalam warna merah. Bagaimana kalau perusahaannya meluncurkan Tabasco baru berwarna hijau? Awalnya Lee sendiri ogah mencobanya sampai dipaksa istrinya dan dia merasakan enaknya Tabasco hijau. Terinspirasi dari cerita ini, Lee kemudian meluncurkan Green Tabasco Award bagi para pemimpin yang berani mencoba cara baru melakukan sesuatu.
Jadikan orang Anda merek Anda! Kekuatan dari sebuah merek sangat ditentukan oleh kekuatan orang di belakangnya. Pada saat kita akan merekrut seseorang, kita harus selalu mengevaluasinya dari kompetensi teknis, manajerial, teknologi dan kepemimpinan. Proses seleksi harus melibatkan seluruh tim. Setiap kandidat harus diperiksa secara pribadi dan melalui wawancara terstruktur.
Selanjutnya, orang-orang tersebut harus mendapatkan pelatihan yang tepat. Yang dibutuhkan oleh para pekerja adalah sebuah tujuan, lebih dari sekadar pekerjaan. Sebagai seorang pemimpin, dia harus menjadi COACH. Dalam versi Lee, COACH artinya Care, Observe, Act, Communicate, and Help.
Bagaimana kalau seorang tamu Anda tiba-tiba memasuki ruangan Anda sambil marah-marah karena pelayanan yang buruk? Hal pertama yang orang biasa akan lakukan adalah mencari tahu “siapa”. Lee melakukannya dengan cara yang lain: mencari tahu “apa”. Pada saat terjadi masalah, mencari tahu siapa yang salah tidak ada gunanya kalau masalahnya ada di prosedur atau kebijakan yang cacat. Untuk menyolusi masalah proses, kita harus senantiasa mengidentifikasi konflik pekerja-karyawan yang terjadi dan mengubah proses bisnis, sehingga masalah yang sama tidak akan terjadi lagi. Lee menyarankan perusahaan melakukan proses audit silang di mana para manajer dapat keluar satu hari untuk mengaudit proses departemen koleganya. Selain menemukan kelemahan proses di area lain, praktik ini juga memungkinkan manajer itu melihat best practice di tempat lain dan mengaplikasikannya di departemennya sendiri.
Walt Disney, sang legenda pendiri DisneyLand, selalu menghabiskan sebagian waktunya berjalan-jalan di DisneyLand. Suatu hari, dia melihat pemeran koboi melintas di TomorrowLand yang futuristik. Pengalaman langsung inilah yang mendorongnya membuat terowongan empat meter di bawah tanah, sehingga perjalanan para anggota pemeran (dan petugas pembersih, misalnya) tidak akan kelihatan oleh pengunjung. Manajemen dengan mengelilingi lokasi secara langsung inilah yang dikenal di manajemen modern sebagai Management by Wandering Around (MBWA) atau yang dalam manajemen Kaizen Jepang disebut genchi genbutsu. Untuk mendapatkan kebenaran, dalam setiap rapat dengan anak buahnya, Lee selalu meminta laporan mengenai People, Process, Project and Profit (4P).
Bahan bakar bisnis pada dasarnya dapat diperoleh secara gratis. Bahan bakar itu adalah Appreciation, Recognition and Encouragement (ARE). Siapkan dalam agenda harian kita agar kita dapat menyalurkan ARE ini untuk anak buah kita. Lewatkan juga waktu bermanfaat bersama para karyawan dan hadiri acara para pekerja untuk membangun kebersamaan dengan mereka.
Seorang pemimpin harus mengembangkan dirinya terus-menerus. Warren Buffett sang legenda investor terkaya di dunia, selalu menghabiskan waktu luangnya dengan membaca surat kabar. Selain membaca surat kabar, kita juga harus selalu belajar mengenai dasar-dasar bisnis, belajar dari yang terbaik, dan belajar dari pesaing kita. Kita juga harus memastikan kalau pekerja kita senantiasa belajar dan berkembang terus. US Army senantiasa mengundang pemimpin dari industri lainnya untuk berbagi praktik kepemimpinan terbaik yang dapat diaplikasikan dalam organisasi mereka.
Seorang pemimpin juga harus menunjukkan kegairahan dan komitmen. Berbagilah semangat dan energi positif kepada para pekerja kita. Buatlah kesan yang baik melalui perilaku dan penampilan Anda. Membaca bab ini mengingatkan saya (peresensi) akan nasihat dari seorang mentor saya: pada saat kita telah menjadi pemimpin, semua orang akan memperhatikan wajah kita. Bila wajah kita murung, semua orang pasti akan mempertanyakan apa yang terjadi dengan organisasi ini. Dengan demikian, seorang pemimpin harus senantiasa menjadi role model profesional. Seorang pemimpin berada di atas panggung pertunjukan sepanjang waktu.
Strategi yang terakhir adalah mengenai karakter. Kualitas seorang pemimpin harus senantiasa mengatakan kebenaran. Berbelit dan manipulasi akan menciptakan iklim ketidakpercayaan. Jangan pernah membuat sesuatu yang ilegal dan jangan pernah meminta anak buah Anda melakukan hal serupa. Pengaruh kita sebagai pemimpin terletak pada kekuatan karakter kita.
Hal yang paling mengesankan dari buku ini adalah membuka mata kita akan pentingnya work/life balance. Sekalipun telah menjadi seorang wapres eksekutif, Lee pulang kerja pukul 05.15 sore untuk mengunjungi gym. Dia juga hobi memasak untuk keluarganya dan menghadiri semua acara anak-anaknya. Keseimbangan kerja/hidup merupakan kunci menjadi manusia yang menyeluruh, bahagia dan sukses.
Lee sendiri pun bukanlah seorang yang meraih kesuksesannya dengan gampang. Dia memulai kariernya sebagai waiter banquet di Hilton. Dia kemudian meraih posisi manajer di Marriott dan meraih bintangnya sebagai eksekutif di Disney Resort. Perjalanan kariernya ini pula yang mendewasakan dan mengubah dia dari seorang yang keras menjadi seorang pemimpin yang disegani saat ini. Buku ini juga menceritakan sisi kesalahan dan kelemahannya sebagai pemimpin, serta pelajaran yang bisa dipetik di balik semua itu. Buku ini seolah-olah membuktikan bahwa kepemimpinan dapat dipelajari dan dikembangkan. Kepemimpinan bukanlah posisi semata, melainkan juga tanggung jawab.
Buku ini membuka mata, bagaimana seorang eksekutif puncak melakukan sesuatu yang menyentuh bagi anak buahnya. Lee mengirimkan sekitar 700 surat penghargaan setiap bulannya. Hal ini menunjukkan bahwa Lee seorang yang people-person. Sebuah teladan buat perjalanan karier kita.
Buku ini ditulis dengan cerita yang ringan. Konsep dalam buku ini adalah concepts based on common sense but are not common practice. Itulah kelebihan buku ini.
Konsultan sebuah perusahaan konsultan asing

1 comment: