Monday, March 11, 2013

menahan badai bisnis

Menahan Badai Bisnis

 
KOMPAS.com - Pengusaha ritel, Mohammad Iqbal, terdiam saat ditanya apakah bisnis minimarketnya terusik oleh naiknya upah minimum di DKI Jakarta menjadi Rp 2,2 Juta per bulan. Bisnis ritel merupakan salah satu sektor bisnis yang paling terpukul oleh kenaikan upah minimum.
Ritel, salah satu bisnis yang rentan gejolak ekonomi. Margin keuntungannya sangat tipis. Lebih tujuh tahun silam, margin keuntungan ritel masih di kisaran tujuh sampai delapan persen. Kini anjlok menjadi setengah persen sampai empat persen.
Namun saat upah minimum naik sekitar 40 persen, dan akan diikuti naiknya tarif listrik, Iqbal merasakan seakan diterjang badai. Ia perlu waktu memulihkan atau menyesuaikan diri dengan kondisi pascabadai mengamuk.
Menurut Iqbal, dengan naiknya upah ini, penghasilannya terpangkas hampir 36 persen. Kalau mau bertahan ia harus efisien ketat. Ia tidak mungkin mengurangi pegawai minimarket yang berjumlah 8 sampai 16 orang. Tim yang bekerja di minimarket bekerja dalam dua shift. Mengurangi jumlah mereka bisa menyebabkan tim kerja timpang.
Selain ritel, sektor bisnis yang terpukul oleh kenaikan upah minimum adalah bisnis-bisnis yang padat karya, seperti konfeksi, sepatu, tekstil, perhotelan, restoran skala kecil, produsen makanan-minuman ringan, pertukangan, kerajinan, dan sebagainya. Mereka ini kini serius menyiapkan diri menghadapi ketentuan baru upah minimum.
Huang Yancu, pengusaha di bidang makanan kecil di Jakarta, menyebutkan, ia punya sebelas karyawan yang diberi imbalan sesuai standar upah minimum. Selama ini ia bisa bertahan karena bersedia memangkas labanya untuk menjaga mutu makanan kecil, dan agar karyawannya tidak keluar. Kini ia kelimpungan karena kenaikan upah minimum 40 persen itu.
Wanita berusia 48 tahun ini mengajak diskusi putra sulungnya. Dari diskusi itu, ia menempuh beberapa langkah. Pertama, melakukan diversifikasi produk dan menemukan laba lebih dari keragaman produk itu. Kedua, ekstra efisien menggunakan listrik. Ruang kerja para pegawai diubah agar cahaya matahari masuk. Ketiga, mengkaji ulang harga. Apakah kalau dinaikkan tidak membuat pelanggan pergi. Keempat, menjaga kualitas produk agar tetap dipercaya.
Lepas dari pro kontra kenaikan upah minimum itu sudah diambil. Marilah kita melihat kenaikan itu dari perspektif positif, yakni memberi tenaga kerja kehidupan yang sedikit lebih baik, dan itu juga berarti energi belanja lebih besar.
Dalam konteks ini, ada baiknya kalau para pengusaha besar atau kecil, justru makin kreatif dan unggul. Kreatif menciptakan produk inovatif yang dikagumi publik sehingga pantas dihargai lebih tinggi.
Tentu saja ini tidak mudah dan membutuhkan proses. Namun para usahawan harus menyesuaikan diri. Sebaliknya para tenaga kerja pun mesti menaikkan kualitas kerja, disiplin, dan kreatif.

Mengubah Cara Berbisnis




KOMPAS.com - Apakah untuk berbisnis harus dengan cara membuka usaha baru, merawatnya dengan telaten sampai ia menghasilkan profit besar? Apakah untuk menghasilkan perusahaan yang memukau mesti dengan modal spektakuler? Pertanyaan ini kerap bergelayut di benak para usahawan muda Indonesia. Ini pula yang acap mengganggu keinginan mereka untuk melangkah ke bisnis berskala besar. Mereka ragu, apakah bisnis mesti seperti itu, harus dari awal.

Aksa Machmud, pendiri Grup Bosowa, menyebutkan, ia tidak terpaku pada kebiasaan harus dari mana. Ia berangkat dari intuisi dan pengalaman berbisnis. Kalau harus memulai dari awal, ia mulai dari awal, seperti pabrik Semen Bosowa di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Kalau tidak perlu dari awal, ia bisa masuk di tengah jalan.

Usahawan besar yang berangkat dari bawah ini acap membeli perusahaan yang macet atau sakit parah. Perusahaan itu ia ”obati”, ia rawat penuh ketekunan, lalu ia beri ”makanan sehat” dan vitamin, sehingga perusahaan tersebut sembuh dan meraup keuntungan. Jadilah Aksa salah satu usahawan besar di Indonesia. Ia di antaranya menjadi produsen semen, perkebunan, perikanan, perdagangan, dan lembaga keuangan.

Sudhamek Agoeng dari Grup Tudung pernah menyatakan tidak mudah mendirikan perusahaan baru, apalagi kalau perusahaan itu berskala besar. Maka, ia tidak menabukan membeli perusahaan yang sudah jalan, atau perusahaan yang tampak tidak menguntungkan. Perusahaan yang berkinerja kurang itu ia benahi, sampai meraup profit. Ia pun puas saat berhasil.

Apa menariknya mengakuisisi perusahaan di tengah jalan? Sudhamek menyatakan, perusahaan seperti itu sudah terbentuk, jaringannya sudah ada, begitu pula orangnya dan organisasinya. Ketika masuk, ia tinggal ”menyetel” dan menyesuaikan perusahaan itu sesuai dengan visi dan misinya.

Sejumlah usahawan Indonesia agaknya juga tertarik dengan langgam akuisisi seperti ini. Membuat perusahaan baru, menurut usahawan di bidang jasa Mohammad Syukur, cukup merepotkan. Harus membangunnya dari nol, merekrut pegawai, membangun jaringan pasar, melatih pegawai, dan sebagainya. Kalau akuisisi, lebih baik, kendati bukan berarti tidak merepotkan. Akuisisi juga berarti membeli persoalan rumit yang menyungkup perusahaan yang diakuisisi. Namun, di sinilah seninya, perusahaan itu bisa disetel sesuai visi dan keinginan pemilik baru perusahaan.

Terlepas dari semua aspek itu, kalau direnungkan semua hal termasuk akuisisi dan membeli saham perusahaan yang tengah berkibar, ujungnya adalah modal yang cukup. Djarum kini berkibar di antaranya karena membeli sebagian besar saham Bank Central Asia saat krisis ekonomi. Djarum kini meraih laba bersih bertriliun rupiah dari BCA. Namun, ketika membeli saham tersebut, Djarum mengeluarkan dana yang tidak kecil.

Chairul Tanjung juga demikian. Usahawan yang berangkat dari bawah ini mampu membeli saham dalam jumlah signifikan pelbagai perusahaan besar, misalnya Carrefour, di antaranya karena memiliki modal besar. Akan tetapi, di samping punya kapital besar, Chaerul didukung nyali, visi bisnis jauh ke depan. Kaya saja tidak cukup, perlu keberanian.

Bisnis yang Bermartabat

 


KOMPAS.com - Nomor satu pelanggan, nomor dua distributor, dan nomor tiga industri. Urutan ini dicanangkan para pendiri industri otomotif Toyota. Ini dimaknakan, raksasa industri otomotif dunia itu menempatkan pelanggan atau konsumen di urutan pertama prioritas. Pelanggan harus dinomorsatukan. Tanpa pelanggan, tidak ada distributor dan industri.
Di Indonesia, pelbagi perusahaan mempunyai strategi khas untuk memenangi pertarungan keras di pasar. Grup-grup usaha, seperti Astra, Salim, Djarum, Bakrie, Medco, Agung Podomoro, dan PT Haji Kalla—sekadar menyebut beberapa contoh—mempunyai strategi penuh warna dan kaya. Di antara grup tadi, yang kali ini menarik diungkapkan ialah PT Hadji Kalla. Grup usaha yang didirikan Haji Kalla, ayah dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, itu berdiri tahun 1952. Peringatan usia panjang itu diselenggarakan di Makassar, Sabtu (20/10/2012).
Haji Kalla mengawali bisnis pada era 1930-an dengan menjadi semacam patteke, pedagang keliling/eceran tempo dulu. Ia berdagang dari kampung ke kampung, dari desa ke desa. Yang diperdagangkan, mulai dari kain, sarung, hingga beberapa jenis kebutuhan sehari-hari. Karena situasi saat itu, perusahaannya kerap cemerlang, tetapi acap pula terseok-seok. Setelah Indonesia merdeka, usahanya makin maju hingga ”diformalkan” pada 1952. Perusahaan tumbuh ketika Jusuf Kalla, atas permintaan ayahnya, menjadi pemimpin perusahaan itu. Namun, Jusuf Kalla kemudian menyerahkan seluruh kendali kepada adik-adiknya ketika menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan merangkap Kepala Bulog tahun 1999.
Jusuf Kalla bertutur, pada ulang tahun ke-60 perusahaan ini ia setuju dibuat perayaan. Ia hendak menyapa pelanggan dan publik, sekaligus menyatakan bahwa perusahaan bisa bertahan lama kalau ditangani sepenuh hati dan menggenggam nilai-nilai luhur.
Perusahaan, lanjut Jusuf Kalla, harus selalu bersyukur atas apa yang diraih. Rasa syukur ini mendorong untuk terus maju dan maju. Perusahaan pun harus memiliki nilai budaya siri (martabat, harga diri). Kalau perusahaan tidak dikelola dengan baik, kinerjanya menurun. Hal itu akan membuat siri, martabat dan kehormatan, turun. Maka, segenap usaha konstruktif mesti dilakukan agar perusahaan maju dan martabat tegak.
Hal yang menarik adalah nama perusahaan menggunakan nama keluarga. Kalau kinerja turun, nama keluarga itu ikut terbawa-bawa. Maka, suka tidak suka, segenap energi dan elan harus dikerahkan. Reputasi bagus, nama semerbak.
Ke depan, kata Jusuf Kalla, adik-adiknya akan mengembangkan perusahaan ke aspek lebih strategis. Misalnya, bermain di wilayah ramah lingkungan, yakni energi terbarukan, green energy (membangun listrik 1.200 megawatt), industri, mesin-mesin presisi, dan sejumlah komoditas strategis.
Jusuf Kalla bangga, PT Haji Kalla berkibar. Selama lebih dari 20 tahun perusahaan (hampir) selalu nomor satu sebagai pembayar pajak terbesar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. ”Bayar pajak yang benar menjadi komitmen kami, demikian juga menyetor zakat,” ujar Jusuf Kalla.

No comments:

Post a Comment