Thursday, March 14, 2013

kisah sukses usaha rumahan

Meraup Untung Puluhan Juta dari Bisnis Sandal

 
 
MAGELANG, KOMPAS.com — Fika Chandra Uyun (26) kini sudah bisa tersenyum melihat perkembangan bisnisnya. Empat tahun lalu, ia mulai merintisnya. Ya, usaha sandal dari bahan sponge yang digelutinya kini mulai berkembang. Omzetnya pun sudah mencapai Rp 20 juta per bulan. Bagi Fika, angka tersebut cukup besar untuk sebuah usaha rumahan.

Produk sandal yang diberi merek "Frogo Sandal" pun sudah tersebar tak hanya di Pulau Jawa, tetapi hingga Sumatera dan Kalimantan. Fika mengisahkan, awalnya, usaha sandal itu dikelola oleh orangtuanya yang tinggal di Tuguran, Potrobangsan, Magelang Utara, Kota Magelang. Sementara Fika dipercaya mengurusi pemasaran.

"Kemudian pada tahun 2009, saya diminta orangtua untuk mengembangkan usaha kecil-kecilan secara mandiri. Dan itu tantangan bagi saya," ujarnya, saat ditemui di rumahnya sekaligus outlet-nya, di Dusun Nepak, Desa Bulurejo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Selasa (12/3/2013).

Fika lantas melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan usahanya. Ia terus melakukan eksperimen dan inovasi agar produk sandalnya menarik minat konsumen. Untuk pemasaran dan tenaga kerja, ia memanfaatkan jaringan yang dimiliki, seperti ibu rumah tangga dan mahasiswa.

"Hal tersebut setidaknya dapat memberikan pekerjaan sampingan bagi mereka, sekaligus dapat mengembangkan dan hitung-hitung promosi gratis," kata dia.

Sandal-sandal yang diproduksi dikerjakan secara manual dengan peralatan mesin sederhana. Warna yang cerah dan desainnya bervariasi membuat produk sandal ini banyak diminati. Untuk bahan baku berupa sponge sebagai alas dan webbing sebagai tali kaki, ia peroleh dari Yogyakarta dan Tasikmalaya.

"Sepasang sandal biasanya selesai dikerjakan dalam satu hari. Tapi kalau ada yang pesan, tiga hari baru selesai karena harus mengantre. Bisa pesan sepasang saja sampai puluhan," ujar ibu tiga anak ini.

Selain menerima pesanan pembuatan sandal, ia juga menerima pesanan desain bahkan konsumen bisa membawa atau memilih bahan sesuai selera. Harganya dibanderol mulai dari Rp 15.000 sampai Rp 50.000. "Harga tersebut disesuaikan dengan ukuran dan kerumitan pembuatannya," jelasnya.

Untuk mendongkrak omzetnya, Fika juga memanfaatkan momen-momen tertentu untuk berpromosi. Seperti musim liburan sekolah, Idul Fitri, dan musim haji. Saat ini, ia sudah menjalin kerja sama dengan sebuah agen perjalanan haji dan umrah di Magelang.

"Sandal itu biasa dipakai saat melakukan salah satu rukun haji maupun umrah," kata karyawati sebuah perusahaan otomotif itu.

Untuk mengembangkan usahanya, ia juga memberikan kesempatan bagi semua orang apabila ingin ikut berwirausaha sandal ini. Pada semester pertama, ia memberikan modal berupa produk yang disebar untuk 100 toko di wilayah Kedu. Ia dibantu suaminya, Roky Ardila, yang juga memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi dan pemesanan.

"Meskipun hanya usaha rumahan, tapi alhamdulillah bisa punya masukan buat kebutuhan keluarga," ujarnya.

Dari Gagang Sapu Raup Omzet Puluhan Juta Rupiah

KOMPAS.com — Omzet usaha gagang sapu ternyata bisa meraih pendapatan hingga puluhan juta rupiah per bulan, padahal hanya memanfaatkan limbah kayu biasa.

Pengusaha perajin gagang sapu, Reny, di Palembang, Kamis (7/3/2013), mengatakan, usaha tersebut dirintis keluarganya sejak awal tahun 90-an. "Sejak saya di sekolah dasar, bapak dan ibu memulai usaha ini," katanya di sela-sela kesibukannya memasang gantungan gagang sapu di tempat usahanya di Jalan Kemasrindo Kertapati, Palembang.

Dalam sehari, ia dan beberapa orang pekerja yang sebagian juga masih sanak dan keluarga mampu memproduksi sekitar 4.000 batang gagang kayu dan bambu bahan baku membuat sapu ijuk. "Khusus gagang bambu kami memproduksi sesuai pesanan," jelas dia.

Tempat usahanya pun tidak hanya menjual gagang sapu dalam partai besar, tetapi juga jumlah satuan atau eceran. Untuk gagang berukuran panjang dua meter, harganya Rp 1.500 per batang, sementara gagang sapu pendek ukuran 1,50 meter, Rp 1.000 per batang.
 
Tidak hanya gagang, ia juga menjual sapu utuh ukuran dua meter dengan harga Rp 20.000 dan ukuran 1,50 meter Rp 15.000 per sapu. "Banyak juga warga sekitar yang langsung beli sapu di sini," ujar gadis berusia 24 tahun itu.

Perajin pembuatan gagang sapu dan sapu ijuk di Kelurahan Kemas Rindo cukup banyak, mencapai belasan, tetapi pekerjanya sebagian besar keluarga dan warga sekitar.
 
Ny Frima, misalnya, selain sebagai agen membuat gagang sapu, ia juga menghasilkan sapu ijuk siap pakai, termasuk produk lain, seperti keset kaki dan tirai dari bambu.

Setiap pengusaha pembuatan gagang dan sapu ijuk rata-rata mempekerjakan dua hingga sepuluh orang sebagai tenaga khusus membuat sapu ijuk.

"Para pengusaha tersebut masing-masing juga sudah ada pelanggan rutin, termasuk tenaga khusus bagian pemasaran," kata Wawan, warga setempat.

Menurut dia, produk sapu ijuk tersebut dipasarkan selain di wilayah Kota Palembang dan kabupaten/kota di Sumsel, juga sampai ke sejumlah daerah tetangga, seperti Jambi, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, dan bahkan sampai ke Jakarta.

Berkat Telur Asin, Mery Raup Omzet Ratusan Juta Rupiah


 
 
KOMPAS.com - Telur asin mengantarkan Mery Yani sukses menjadi seorang pengusaha. Tak kuasa melihat usaha telur asin sang kakak hampir tutup, Mery segera mengambil alih. Lewat kerja keras, kini, ia berhasil menjual puluhan ribu telur asin setiap hari.
Pulang ke kampung halaman bukan berarti hilang kesempatan untuk meraih sukses. Mery Yani telah membuktikannya. Hanya butuh waktu empat tahun, perempuan 29 tahun ini berhasil melambungkan usaha telur asin hingga beromzet ratusan juta rupiah per bulan.
Kecintaan pada sang ibu yang terbaring sakit mendorong Mery Yani kembali ke Karawang pada 2005 silam. Padahal, di Jakarta, Mery tengah membangun karier sebagai akuntan di sebuah perusahaan impor.
Hingga akhirnya, ibunda berpulang pada 2007. Mery pun memutuskan untuk menetap di kota kelahirannya, sambil membantu sang ayah membuat pakan ternak dari dedak padi.
Belum surut kesedihannya, ia harus menghadapi kenyataan usaha telur asin milik sang kakak yang kian terpuruk. Mery memang sangat peduli akan usaha telur asin ini. “Telur asin merupakan penyokong hidup saya sejak masih sekolah dulu,” kenangnya. Ia pun tak bisa tinggal diam saat melihat usaha ini terancam tutup karena penjualan terus menyusut.
Beruntung, Mery pernah punya pengalaman menjajakan telur asin dari satu kios ke kios lain di pasar tradisional, semasa sekolah dulu. Berbekal pengalaman itu, ia pun memberanikan diri mengambil alih usaha sang kakak sejak November 2008. Sebagian uang klaim asuransi jiwa mendiang ibu pun menjadi modal awal usahanya.
Anak ketiga dari empat bersaudara ini mengawali langkahnya dengan memperkaya pengetahuan soal telur asin, baik dari buku maupun bertanya pada beberapa pengusaha yang lebih dulu terjun di bidang ini. Dari sana, Mery menyusun sebuah peta perencanaan usaha lengkap dengan standar kualitas telur, cara pemasaran, dan sistem manajerial karyawan.
Untuk memenuhi standar kualitas telur, Mery menjalin mitra dengan peternak telur bebek di sekitar Karawang. Ia memberi modal, baik berupa bibit bebek atau uang untuk membeli pakan. Tentu saja, para mitra itu nanti harus menyetor telur bebek ke usaha telur asin milik Mery.
Dalam proses pengasinan pun, lulusan Universitas Tarumanegara ini menggunakan bahan-bahan pilihan. Abu yang digunakan adalah abu hitam yang berasal dari sekam padi yang telah dibakar dan terjamin kebersihannya. Abu itu berasal dari lahan pertanian di sekitar Karawang.
Tak hanya membenahi pasok-an telur dan proses pengasinan, Mery juga mencermati pasar telur asin yang mengenal musim sepi. Nah, di saat pasar sedang sepi, lantaran pasokan telur asin berkurang, Mery segera memasok telur asin buatannya dalam jumlah besar.
Lolos sertifikasi
Sebagai pemain baru, tentu, situasi itu sangat menguntungkan. Bukan hanya soal fulus, cara tersebut juga berhasil mendongkrak merek telur asinnya, Sumber Telur Kilau. Alhasil, setelah merek telurnya banyak dikenal, penjualan Mery pun meningkat.
Dalam tempo setahun, Mery berhasil menggenjot penjualan hingga 1.500 butir per hari. Tak hanya itu, ia pun berhasil mengembalikan modal usahanya.
Sayang, saat penjualan meningkat, ia kembali berhadapan dengan masalah. Ia mendapati beberapa mitra yang ingkar menjual telur bebek untuk pabriknya. “Saya harus sabar mencari mitra lain,” ujar Mery.
Untuk menjaga agar pasokan telur bebek tetap stabil, Mery pun membangun peternakan sendiri. Di peternakan tersebut, Mery memiliki 1.500 ekor bebek yang diangon di sekitar Karawang dan Garut.
Ia juga terus meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produknya. Pada 2010, Mery mendaftarkan telur produksinya ke Departemen Kesehatan Republik Indonesia untuk memperoleh sertifikasi kualitas gizi. Setiap produksi, telur-telur hasil peternakan Mery dan mitranya harus melalui beberapa tahap pengujian. Tahapan tersebut meliputi pencucian telur, pengujian dari segi bentuk dan tingkat keretakan, penyemprotan cairan antibakteri, serta uji laboratorium.
Kegigihan Mery mengemas ulang usahanya itu berbuah manis. Hingga saat ini penjualan telur asin cap Sumber Telur sudah menjangkau beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jabodetabek, Kalimantan, Bangka Belitung, dan Lampung. Dalam kegiatan pemasaran, Mery mendapat dukungan lebih dari 50 distributor sesuai standar distributor ala Mery. “Mereka harus tahu kemauan konsumen, yang asin banget atau enggak terlalu asin. Distributor harus kenal betul dulu produknya,” terangnya.
Berkat berbagai standar ini, telur asin Mery bisa terjual 10.000 hingga 15.000 ribu butir telur per hari. Dengan harga jual berkisar Rp 1.700–Rp 2.500 per butir, setiap bulannya Merry telah dapat meraup omzet lebih dari Rp 300 juta.
Selain menyelamatkan usaha yang hampir bangkrut, Mery juga berhasil membuka lapangan kerja. Karyawannya telah berlipat, dari hanya empat orang pada awalnya, kini telah mencapai 30 orang.  

Berawal dari Garasi, Kini Roti Teja-Nanik Meraja

 
KOMAPS.com -  Ketekunan dan kejelian melihat celah pasar menjadi kunci sukses pasangan suami istri, Suteja Alim dan Nanik Sumiyati, berbisnis bakery di Semarang. Dari garasi rumah mereka, pasangan tersebut membangun pabrik roti berkapasitas besar.

Boleh jadi, Suteja Alim Wijaya dan Nanik Sumiyati tak akan pernah menyangka Virgin Cake & Bakery tumbuh besar seperti saat ini. Usaha yang bermula dari garasi di sebuah rumah kontrakan 13 tahun lalu itu kini menjelma menjadi pabrik roti berkapasitas besar yang mampu mengolah puluhan sak tepung terigu setiap hari.

Beberapa tahun belakangan ini, keberadaan gerai roti Virgin di Semarang sangat fenomenal. Gerai Virgin selalu terlihat ramai pengunjung setiap harinya. Pamor Virgin yang berada di suatu kawasan perumahan, yakni Tlogosari, pun terdengar sampai jauh.

Pelanggan bakery itu berasal dari berbagai penjuru kota. Bahkan, tidak sedikit konsumen Virgin yang datang dari luar Semarang, seperti Ungaran, Kudus, Jepara, Pekalongan, hingga Tegal.

Berangkat dari keinginan mempunyai usaha sendiri dan hobi membuat roti dan kue, Nanik memutuskan untuk membuka toko roti di rumahnya pada 1999. “Kami memakai uang tabungan Rp 25 juta untuk menyewa rumah, sekaligus membuka usaha ini,” kata Teja, panggilan akrab Suteja Alim.

Garasi rumah pun disulapnya menjadi toko roti sekaligus tempat produksi. “Bagian depan untuk etalase, di belakang untuk produksi,” ujar Nanik.

Selain menawarkan roti yang sudah jadi, ia juga menerima pesanan dari tetangga dan kenalan yang bermukim di sekitar Tlogosari, Semarang.

Pesanan pun makin sering berdatangan lantaran kue dan roti bikinan Nanik tidak mengecewakan. Harga yang terjangkau juga menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen. Berkat kedua hal ini, toko roti Virgin pun terus berkembang.

Hingga menginjak tahun keempat, Teja melihat perkembangan pesat gerai Virgin. Nanik, yang semula hanya dibantu pembantunya, sudah mempekerjakan puluhan karyawan.

Kala itu, Teja masih bekerja sebagai pemasok bahan bangunan. Setelah melihat Virgin berkembang pesat, ia pun lantas berhenti. “Saat itu, saya melihat perkembangan Virgin lebih cepat daripada bisnis saya, penghasilan saya pun bisa tergantikan,” ujar dia.

Perputaran uang di bisnis bakery ini lebih bagus ketimbang bisnis bahan bangunan yang tempo pembayarannya lebih lama. Apalagi, ia melihat sang istri kewalahan mengurus bisnisnya sendiri.

Dengan ilmu marketing yang dimilikinya, Suteja lantas fokus menggarap bisnis bakery bersama istrinya. Ia sengaja membidik pasar menengah ke bawah. Strategi ini terbukti benar. Pasar menengah bawah yang sangat besar saat itu berhasil mendongkrak omzet Virgin.  

Produk berkualitas dan harga terjangkau menjadi keunggulan gerai ini. Banyak konsumen berpendapat, meski harganya murah, kualitas roti dan kue Virgin tak mengecewakan.

Apalagi, seperti gerai roti premium, Suteja mengadopsi konsep swalayan. Pengunjung bisa memilih dan mengambil  sendiri roti yang telah disediakan dalam rak-rak. Sejak 2003, nama Virgin pun semakin terkenal. Bahkan, toko roti ini menjadi buah bibir di kalangan pengusaha bakery Semarang.
Banyak pesanan

Tak hanya penyuka roti, banyak pula produsen bahan baku yang berdecak kagum ketika melihat riuhnya pelanggan Virgin. Selain berlomba menjadi pemasok, mereka memberi berbagai pelatihan untuk mengembangkan produk Virgin. “Chef mereka mengajari kami bagaimana teknik memakai bahan baku mereka,” kata Teja.

Kejelian membaca perilaku pasar menjadi kunci Teja sukses di bisnis ini. Ia rajin mengamati habit (kebiasaan) konsumen dari hari ke hari, sehingga memahami karakter dan pola penjualan tiap-tiap hari. “Itu penting untuk menekan jumlah produk yang mubazir, karena roti memiliki umur,” terangnya.

Ia pun tak segan bertanya langsung kepada konsumen yang memesan dalam jumlah banyak. Sering, ia ikut mengantar pesanan konsumen, sembari mencari informasi soal produknya. “Ternyata, sekarang, banyak orang yang ingin praktis, ketika mempunyai hajat mereka memberi roti sebagai buah tangan,” ujar dia.

Tak heran, di musim orang banyak mengadakan hajatan, Virgin selalu kebanjiran pesanan. “Bahkan, roti berbentuk ring yang banyak dipesan, menduduki peringkat teratas penjualan Virgin,” tutur Teja.

Tak berhenti dengan mengoperasikan satu gerai saja, tahun lalu, Teja membuka gerai Virgin kedua di Ungaran, Jawa Tengah. Teja sengaja memilih luar Semarang karena ingin menangkap konsumen yang datang dari arah selatan ibu kota Jawa Tengah itu. Di cabang baru yang menempati lahan seluas 1,1 hektare, Teja juga mendirikan pabrik roti Virgin kedua. Ia pun masih punya rencana untuk membuka gerai baru di kawasan barat Semarang.

Kini, dengan dua cabang, Teja mempekerjakan lebih dari 200 karyawan di gerai maupun pabriknya. Virgin mampu mendulang omzet ratusan juta hingga miliaran rupiah tiap bulan.

No comments:

Post a Comment