Wednesday, March 6, 2013

cara memahami pasar

Harus Jeli Menentukan Selling Point

Kelas menengah di Indonesia selain tumbuh pesat, populasinya juga paling banyak dibandingkan klelompok masyaralat lainnya. Daya beli mereka kuat, sehingga mampu menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi, tidak gampanmg membidik pasar kelas menengah. Menurut Dr. Ujang Sumarwan, pakar perliaku konsumen IPB Bogor, di tengah banyaknya pilihan produk yang tersedia untuk kelas menengah, para pemlik merek harus jeli menentukan selling point yang tepat bagi konsumen yang dibidiknya. Berikut adalah wawancara Ujang Sumarwan dengan Rangga Wiraspati:
Bagaimana Anda melihat fenomena dan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia?
Pertumbuhan kelas menengah yang pesat umumnya merupakan fenomena di negara berkembang. Pertumbuhan kelas menengah didorong oleh pendidikan yang bagus, kesempatan bekerja yang tinggi, dan daya beli yang bagus sehingga aktivitas konsumsi mereka juga bagus. Aktivitas konsumsi itu yang menentukan GDP di negara berkembang. Jadi, menurut saya benar pertumbuhan kelas menengah akan mendorong pertumbuhan perekonomian negara. Dalam pengamatan saya, kelas menengah merupakan populasi terbanyak di Indonesia, maka kelas menengah merupakan penentu utama bagi perekonomian nasional. Berdasarkan kaidah-kaidah tadi, kelas menengah merupakan sasaran terdepan dari para pemasar di Indonesia, karena jumlah penduduknya yang terbanyak.
Kelas menengah sendiri saya bagi dua, yaitu menengah bawah dan menengah atas. Kelompok menengah bawah terdiri dari anggota masyarakat yang telah menjadi sarjana, baru mendapat kerja dengan gaji kurang lebih Rp 7 juta per bulan. Ketika karier anggota masyarakat tersebut sudah mencapai lima tahun atau lebih dan gajinya sudah double digit, maka ia masuk ke dalam kelompok menengah atas.
Ujang Sumarwan, IPB, pengamat, pemasaran
Ujang Sumarwan
Untuk produk menengah, terutama consumer goods, saya mengamati hampir setiap brand menengah tersedia di Indonesia, karena para pemasar tahu besarnya jumlah penduduk kelas menengah yang terbanyak. Kelas menengah mempunyai ciri khas, yaitu sangat responsif terhadap inovasi pada produk, sehingga semua produk menengah baru yang ada di Indonesia penerimaannya relatif cepat. Harga produk menengah pun disesuaikan dengan daya beli mereka, maka saya melihat produk menengah dengan harga yang paling murah sampai paling mahal pun ada bagi kelas menengah. Contoh kasusnya adalah larisnya handphone pada range harga Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000. Salah satu jenis produk yang booming di kalangan kelas menengah adalah gadget. Yang dimaksud gadget adalah segala peralatan yang dapat membuat orang untuk bekerja lebih ringan dan mudah untuk pria dan wanita. Banyak masyarakat salah pengertian tentang gadget, yaitu sebatas alat telekomunikasi saja. Padahal, peralatan di dapur dan peralatan untuk mempercantik diri pun dapat termasuk kategori gadget. Saya melihat gadget tersedia sangat banyak di pasaran, dan umumnya kelas menengah mampu membeli dan mengekspresikan diri melalui gadget. Pada umumnya kelas menengah yang berusia 30-45 tahun menggunakan produk dan brand sebagai simbol ekspresi diri. Sementara itu, usia kelompok kelas atas pada umumnya telah melampaui usia kelas menengah.
Saat ini jumlah perusahaan Indonesia yang terus membangun brand Indonesia sangat banyak. Dulu, konsumen Indonesia terobsesi dengan brand luar negeri dan ketersediaan brand lokal masih sedikit. Sekarang produk-produk lokal seperti tas, pakaian, sepatu, dan aksesoris banyak dan diterima oleh kelas menengah. Produk-produk lokal yang terkadang harganya pun terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah kini juga terdapat di outlet modern seperti mal, contohnya produk-produk asal Bandung seperti Bodypack dan Eiger. Produk-produk lokal tumbuh seiring dengan meningkatnya kelas menengah. Produk IT lokal seperti komputer pun tumbuh. Penjualan produk-produk kelas menengah lokal pun terbilang bagus. Konsumen Indonesia, terutama anak muda, menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari dan mereka pun bangga akan hal tersebut. Untuk produk dan brand kelas menengah, ketersediaan produk dan brand di retailer dan outlet modern menjadi indikator perkembangan produk dan brand menengah tersebut, karena hal itu menunjukkan seberapa besar permintaan terhadap produk dan brand menengah.
Fenomena lainnya dari pertumbuhan kelas menengah adalah frekuensi penggunaan moda transportasi pesawat terbang yang tinggi. Dulu yang dapat naik pesawat terbang dengan biaya pribadi adalah golongan menengah atas. Golongan menengah bawah naik pesawat terbang dengan biaya dari kantor. Sekarang hal tersebut berubah, dengan golongan menengah bawah pun mampu naik pesawat terbang dengan biaya sendiri. Perjalanan ke luar negeri selalu penuh, yang mengindikasikan Indonesia merupakan pasar gemuk untuk industri penerbangan. Tempat liburan pun selalu menjadi buruan kaum menengah.
Seberapa besar potensi mereka sebagai target pasar?
Di Indonesia, secara total ekonomi, daya serap (konsumsi) kelas menengah lebih banyak dibandingkan kelas atas. Kelas atas segmennya kecil, jadi total aktivitas belanja kelas atas masih kalah dibandingkan dengan kelas menengah, yang jumlahnya sangat besar di Indonesia. Perusahaan bisa menyasar kelas menengah dengan mengandalkan margin yang kecil, namun volume besar. Sebaliknya, perusahaan akan menyasar kelas atas dengan margin besar namun volume kecil.
Untuk menyasar kelas menengah, bagaimana cara-cara yang dilakukan pemasar dan pemilik merek kelas menengah? Sudah tepatkah dan apa yang harus ditingkatkan?
Yang pertama komunikasi yang langsung berhubungan dengan konsumen. Cara yang paling efektif menurut saya adalah marketing event, karena salah satu ciri kaum menengah adalah gemar berkomunikasi dan berkumpul dalam sebuah komunitas. Pemasar atau pemilik merek dapat menggarap pasar komunitas, karena bagi kelas menengah, kepercayaan terhadap peers-nya bisa jadi sangat menentukan. Masyarakat kelas menengah cepat mengevaluasi pemasaran yang bersifat personal, karena mereka memiliki akses informasi yang relatif bagus. Jadi, pendekatan melalui peer group, komunitas, dan event ini yang harus diperhatikan.
Saya memperhatikan selama ini beberapa pemilik merek selalu mengandalkan salesmanship yang relatif memaksa, kurang persuasif. Kasus itu sering terjadi di industri perbankan, mereka sering mengabaikan etika dalam melakukan pemasaran. Dalam memasarkan produk bagi kelas menengah, pemilik merek tidak bisa memaksa, tetapi mereka harus memberikan informasi yang memudahkan konsumen untuk mengambil keputusan. Kemudian pemilik merek harus tetap memperhatikan reward kepada konsumen, karena terkadang konsumen kelas menengah mengharapkan reward berupa barang atau dalam bentuk lain. Para pemilik merek bisa mengikat konsumen kelas menengahnya dengan CRM (Customer Relationship Management) yang lebih intens. Melalui CRM, konsumen bisa merasa diperlakukan spesial oleh para pemilik merek. Jika konsumen merasa lebih dihargai, maka konsumen akan merasa lebih dekat secara emosional dengan suatu merek.
Upaya-upaya Integrated Marketing Communication (IMC) apa yang tepat dalam menyasar kelas menengah?
IMC itu dulu istilahnya promotion, di dalamnya terdapat unsur-unsur Public Relations, Personal Selling, Direct Marketing, dan Event. Pemilik merek harus memilih cara-cara tersebut untuk menyasar target yang dibidik. Event marketing bisa berupa penyelenggaraan sponsorship program, seminar, lokakarya, konser, dll. Menurut saya iklan TV harus diperbanyak, dan juga marketing event karena kebiasaan kaum kelas menengah yang suka berkumpul. Misalnya, sebuah perkumpulan olah raga, pemasar harus jeli melihat celah itu, pemasar harus memahami watak konsumen yang mau berkumpul karena adanya kesamaan minat atau hobi.
Apa saja dos and don’ts dalam menggarap kelas menengah ini?
Pemasar mesti paham kalau saat ini konsumen ingin dipandang penting oleh perusahaan. Maka do yang paling penting adalah membangun CRM dengan pelanggan. Do yang kedua adalah selalu memonitor perilaku konsumen, karena perubahan perilaku konsumen dewasa ini cenderung cepat dan perusahaan harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan itu. Perusahaan perlu mempunyai tim yang memantau perubahan perilaku konsumen dalam divisi pemasarannya. Do yang ketiga adalah bangun komunikasi dengan retailers, karena para pengecer inilah yang setiap hari melihat perilaku konsumen dan mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi. Jadi retailers merupakan narasumber yang berharga untuk memberikan informasi apa yang dibutuhkan konsumen dan beragam preferensinya. Don’t yang pertama adalah jangan memprovokasi konsumen, dalam arti jangan membuat konsumen berpikir bahwa mereka berperilaku konsumtif melalui kredit konsumen, karena tidak semua konsumen merupakan pembeli bijak. Pemasar di Indonesia bisa melihat contoh angka consumer bankruptcy di AS yang tinggi. Perusahaan harus memperhatikan daya beli konsumen juga, karena nilai mata uang saat ini belum tentu sama di masa depan, jika konsumen bangkrut maka dampaknya akan buruk pada perekonomian. Jika konsumen diprovokasi untuk menggunakan kredit konsumen, secara tidak langsung pemasar mengikis daya beli konsumen di masa depan. Maka perusahaan juga mempunyai tanggung jawab secara sosial untuk mengedukasi konsumen untuk menjaga daya belinya. Kita harus belajar dari masyarakat Barat yang perekonomian negaranya kolaps karena penggunaan kredit konsumen yang membabi buta sehingga memakan konsumen itu sendiri.
Biasanya kendala-kendala apa saja yang muncul dan bagaimana solusi untuk mengatasinya?
Kendala pertama adalah banyaknya pilihan produk dan merek di hadapan konsumen, maka perusahaan harus membuat selling point yang tepat dan relevan bagi konsumen kelas menengah. Maka, solusinya adalah memperhatikan konsumen dengan jeli sehingga perusahaan dapat menentukan selling point yang tepat bagi konsumen yang ingin disasar. Kendala lainnya adalahberiklan menjadi tidak terlalu efektif karena semua juga beriklan pada saat yang bersamaan. Untuk mengatasinya, perusahaan perlu menentukan diferensiasi yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Ketika yang ditawarkan sama, maka yang menjadi penentu pertimbangan bagi konsumen adalah faktor harga, namun jika konsumen percaya ada diferensiasi dan selling point yang berbeda dan relevan, maka konsumen akan bersedia untuk membayar lebih mahal untuk suatu produk atau merek. Selalu meng-update selling point dari produk yang akan dijual adalah kewajiban bagi perusahaan serta divisi marketing-nya.
Bagaimana fenomena dan pertumbuhan produk/brand menengah ke depan? Prediksinya akan seperti apa nanti?
Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi kelas menengah stabil seperti saat ini, diyakini kelas menengah akan bertambah. Kelas menengah akan sangat kritis dan sangat menuntut. Perusahaan tidak bisa lagi menggunakan paradigma lama dalam pemasaran dan mengabaikan hak-hak konsumen. Bertambahnya jumlah kelas menengah mengharuskan perusahaan untuk beradaptasi dengan budaya melayani dan memenuhi kualitas yang diminta konsumen. Fenomena kelas menengah lainnya adalah biasanya kelas ini mengekspresikan diri keluar dari rumahnya, karena kebutuhan akan pakaian, aksesoris, kendaraan bermotor, gadget, perjalanan wisata akan meningkat. Dalam pengamatan saya, di Indonesia indikator dari bertambahnya kelas menengah adalah lakunya lapangan golf. Golf merupakan simbol olah raga kelas atas, di Indonesia ada kecenderungan perilaku kelas menengah yang ingin masuk ke lingkungan kelas atas, sehingga banyak dari mereka yang mempelajari golf. Terkadang perilaku konsumen kelas menengah yang berpenghasilan lebih dari cukup ini tidak rasional, mereka mementingkan penampilan daripada fungsi. Dalam konteks gadget, animo masyarakat kelas menengah selalu tinggi terhadap sebuah produk baru. Gadget telah menjadi simbol status sosial kelas menengah di mata masyarakat, sampai terkadang mereka mengorbankan anggaran kebutuhan yang lain demi memenuhi kebutuhan ekspresi diri ini.
Benarkah telah terjadi revolusi konsumen? Benarkah revolusi perilaku konsumen menengah mengubah secara mendasar rule of the game pemasaran di Indonesia? Seperti apa perwujudannya?
Dalam beberapa hal ada kesamaan perilaku konsumen menengah di Indonesia dengan negara-negara lain. Namun perbedaan yang cukup mendasar dari karakter konsumen Indonesia, banyak konsumen Indonesia lebih mementingkan manfaat psikologis daripada fungsional untuk jenis-jenis barang tertentu. Itu perbedaannya dengan di luar negeri. Di Indonesia, dalam beberapa kasus pergantian preferensi merek dan produk bukan karena manfaat fungsionalnya tidak berlaku lagi. Mungkin ini bisa disebut revolusi konsumen juga, karena ketika pendapatan seseorang Indonesia meningkat, maka aspirasinya pun meningkat juga, ia bisa tidak betah terhadap suatu produk walaupun secara fungsional masih berguna baginya. Seorang tidak betah dengan gadget lamanya karena tampilannya yang ketinggalan jaman, bukan karena sudah tidak berfungsi sesuai fungsi utamanya lagi. Gadget baru akan mengeksresikan siapa dia di mata masyarakat dan membuatnya lebih diterima di masyarakat. Saya pikir kondisi ini sesuatu yang sangat berubah dan baru di Indonesia dibandingkan dengan perilaku generasi sebelumnya. Perilaku konsumen itu mengalami revolusi jika ia berubah secara cepat memiliki dampak yang signifikan bagi ekonomi negara.

Harga Bukan Faktor Penentu yang Utama

Dengan daya belinya yang kuat,, kelas menengah tidak semata-mata bergantung pada faktor harga, tapi juga mempertimangkan aspek lain, seperti kemasan, pengalaman, dan brand yang memiliki value yang lebih tinggi. Bagaimana Ricky Afrianto (Direktur Pemasaran PT Mayora Tbk) menyiasati pasar kelas menengah ini? Praktisi pemasasaran FMCG ini memaparkannya kepada Denoan Rinaldi
Apa tanggapan Anda sebagai pemasar mengenai konsumen dan pergeseran pola konsumsi kelas menengah? Seberapa besar pergeseran pola konsumsi konsumen kelas menengah berdasarkan pengamatan Anda? Mohon berikan contoh dari konsumen Anda selama ini.
Pertama, ini merupakan berita gembira karena konsumsi akan meningkat dan konsumen kelas menengah mulai peduli dengan kualitas yang lebih baik. Jadi tidak hanya semata-mata hanya melihat soal harga.
Perubahan yang saya lihat misalnya dengan beralihnya konsumen ke kemasan yang lebih besar. Dan fenomena ini tidak hanya terjadi di kota tetapi juga di second city. Perubahan lain yang bisa kita lihat adalah tren makan di luar menjadi suatu tren baru dan bisnis retail untuk roti juga meningkat.

Ricky Afrianto, Mayora
Ricky Afrianto
Konsumen mana yang berubah drastis dan konsumen mana yang relatif tidak berubah. Apa penyebab perubahan itu dan apa pula efeknya bagi dunia usaha?
Perubahan yang jelas terjadi di kelas menengah. Dan perubahan ini jelas mempunyai efek kepada dunia usaha. Contoh nyata, misalnya bagi perusahaan yang hanya bermain di price point sudah harus melihat tren konsumen yang sudah mempertimbangkan faktor lain di luar harga, misalnya kemasan, experience, dan brand yang mempunyai value lebih tinggi sehingga kreativitas di luar harga akan bermain cukup signifikan di masa sekarang ini.
Dan yang pasti kategori di luar kebutuhan keluarga misalnya telekomunikasi dan hiburan akan meingkat seiring dengan meningkatnya pendapatan.
Mengenai pertimbangan pembelian dilihat dari sisi Scorecard Index (basic+advance), mohon jelaskan dasar pembelian konsumen kelas menengah selama ini.
Yang pasti harga bukan menjadi satu-satunya faktor dalam membeli sebuah brand. Kelas menengah mulai melihat faktor ”consumer experience” sehingga tidak heran jika kita melihat retail bakery channel yang menawarkan pengalaman bagi konsumen mulai berkembang dan frekuensi untuk makan di luar mulai meningkat.
Dari hasil survei, ternyata kelas menengah Indonesia masih berada di tingkat early phase dalam hal pengeluaran, yaitu Rp 2 juta – Rp 4 juta per bulan. Mereka masih sangat berhitung dengan harga dan masih banyak dipengaruhi faktor-faktor mendasar dalam pembelian ketimbang faktor pengalaman. Bagaimana logikanya? Apa pendapat Anda?
Ini setara dengan pengeluaran US$ 8 -20 per hari. Menurut saya untuk ukuran Indonesia hal ini cukup besar. Karena ada juga konsumen kelas menengah dengan pengeluaran lebih dari Rp 4 juta per bulan. Sedangkan bagi konsumen dengan pengeluaran Rp 2- Rp 4 juta sebagian besar untuk keperluan keluarga 40%, tabungan 26% baru sisanya untuk keperluan yang lain. Dengan logika ini jelas bahwa faktor harga tidak bisa dipungkiri tetap menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi, yang tidak bisa kita lupakan adalah konsumsi untuk hiburan yaitu sekitar 7.7%, yang secara prosentasi cukup besar, di mana faktor pengalaman akan lebih dituntut. Artinya pertimbangan faktor harga dan pengalaman untuk kasus di Indonesia masih tergantung dari kategori/subyek-nya. Jadi tidak bisa dipukul rata. Untuk negara yang lebih maju, faktor harga akan semakin ”less sensitive” hampir untuk semua katetgori.
Banyak dugaan akan terjadi premiumisasi (barang premium menjadi barang massal) karena dorongan kelas menengah yang sangat besar. Benarkah? Jika benar, apa pendapat Anda dan contoh yang Anda lihat?
Saya melihatnya lebih karena adanya peningkatan permintaan terhadap produk atau merek premium yang dikarenakan adanya peningkatan pendapatan dan keinginan konsumen untuk menjadi lebih baik terutama dari kalangan kelas menengah. Dari sini terjadilah tren dari perusahaan yang mencoba melakukan premiumisasi dengan dua cara. Pertama, bisa dengan melakukan peningkatan value untuk produk yang sudah exist, tentu diimbangi dengan peningkatan harga. Kedua dengan memberikan value added yang lebih dengan meluncurkan produk atau merek baru yang lebih tinggi harganya dibanding sebelumnya.
Sebagai pemasar, apa yang akan Anda lakukan melihat fenomena ini? Mohon jelaskan.
Sebagai pemasar saya melihat bahwa kita harus mulai mempertimbangkan faktor di luar harga, apalagi untuk produk-produk di luar kebutuhan pokok, karena konsumen akan mulai menghargai pengalaman yang diberikan oleh brand kita. Ditambah lagi dengan perkembangan tekonologi dan social media saat ini. Mereka mulai melihat value dan image dari merek kita sehingga faktor lain seperti kemasan dan faktor ”convenience” juga menjadi faktor penting bagi konsumen.
Kategori di luar kebutuhan pokok seperti telekomunikasi dan hiburan akan semakin berkembang seiring dengan meningkatnya pendapatan dari kalangan menengah ini.
Tugas setiap pemasar dan pemilik merek adalah mengetahui siapa pasar mereka dan potensi kelas menengah sehingga pemasar dapat bersiap-siap mengantisipasi perubahan secara mendasar rule of the game pemasaran di Indonesia di mana perubahan rule of the game itu ujung-ujungnya akan merevolusi strategi yang dijalankan pemasar. Nah, apa yang Anda persiapkan saat ini? Apa do’s and don’t Anda garisbawahi?

8 things to do yang menurut saya penting adalah:
    • Understand target market dan insight –nya
    • Menganalisis tren yang ada saat ini berkaitan dengan middle class ini dan melihat relevansinya dengan brand dan kategori kita
    • Melihat media secara menyeluruh (tidak hanya TV), sesuai dan relevan dengan target market kita terlebih dengan perkembangan teknologi dan social media yang sangat pesat
    • Melakukan analisis terhadap produk dan brand kita, antara apa yang kita tawarkan (baik functional benefit dan emotional benefit). Dan mencoba memberikan nilai tambah terutama memberikan pengalaman yang lebih bagi target market kita
    • Jangan sekedar melakukan program tanpa ada insight dan strategi yang jelas. Jadi harus membuat Insight-driven campaign
    • Inovasi untuk menjaga relevansi produk dan brand kita dengan target market kita terutama untuk kelas menengah
    • Melakukan pengukuran secara berkala untuk efektivitas program marketing
    • Terakhir, percaya bahwa “any marketing program is a show!Jadi gimana kita harus memukau konsumen di setiap pertunjukan brand kita.

      Menciptakan Emosi Positif bagi Konsumen

      Istijanto_Oei
      Istijanto Oei
      Memberikan kepuasan konsumen saja kini tidak cukup lagi. Konsumen harus mendapatkan pengalaman yang mengesankan ketika mengonsumsi suatu produk atau jasa, agar konsumen ini merekomendasikan merek yang dikonsumsinya kepada pihak lain. Caranya, dengan menekan emosi negatif konsumen dan sekaligus meningkatkan emosi positifnya. Bagaimana cara meningkatkan emosi positif konsumen? Istijanto Oei, pengajar dan pakar pemasaran Prasetiya Business Scholl mengungkapkannya kepada Rangga Wiraspati dari SWA:
      Ada lagi survei SWA tentang NPS (Net Promoter Score) dan NEV (Net Emotion Value). Bagaimana Anda melihat pendekatan ini? Apa catatan dan pemahaman Anda tentang pendekatan itu?

      NEV mengukur total emosi atau perasaan konsumen yang timbul selama mengalami (experience) dengan produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan dengan rumus: mengurangkan emosi negatif ke emosi positif yang dirasakan konsumen, sehingga didapat nilai bersih emosi konsumen. Emosi merupakan faktor yang penting karena pada dasarnya konsumen tidak sekedar membeli produk inti (misal orang yang membutuhkan tempat menginap di hotel), namun juga emosi yang diciptakan selama di hotel (misal disambut ramah staf hotel). Secara umum, konsumen mengharapkan mendapatkan emosi yang positif seperti senang, bangga, merasa nyaman, aman, dihargai dan emosi positif lainnya, dan menghindari emosi negatif seperti sedih, kecewa, stres, marah, dan emosi negatif lain selama proses mengonsumsi suatu merek. Bagi pemilik merek tentu saja harus menciptakan dan memperbesar emosi yang positif selama konsumen berhubungan dengan merek, dari proses awal (order), konsumsi, sampai setelahnya (after sales service). Di antara proses ini terdapat banyak kegiatan (moment of truth) yang bisa memunculkan emosi baik positif maupun negatif bagi konsumen. Perusahaan berkepentingan mengelola emosi ini dengan rumus: menciptakan, menambah, melipatgandakan emosi positif konsumen dan/atau menghilangkan, mengurangi, atau menurunkan drastis emosi negatif konsumen.
      Banyak komponen yang bisa dimainkan merek untuk menciptakan emosi positif. Sebagai contoh untuk industri hotel pemberian “goodbye drink” untuk tamu yang check out (karena selama ini yang ada hanya welcome drink di hotel).
      PS merupakan pengukuran yang sifatnya lebih tinggi dibanding satisfaction (kepuasan) dan bersifat secara keseluruhan (overall). Ini berarti konsumen yang melakukan promoter sudah melampaui kepuasannya, karena konsumen yang sekedar puas belum tentu melakukan promoter (merekomendasikan atau referral). Hanya konsumen yang kepuasannya sangat tinggi yang akan melakukan rekomendasi.
       Ditinjau dari ilmu pemasaran, NPS merupakan pengukuran untuk rekomendasi konsumen. Ini dikategorikan sebagai “Customer Citizenship Behavior” yaitu perilaku konsumen yang melebihi peranannya sebagai konsumen (“extra role”) atau konsumen yang mau memberi lebih dari sekedar posisinya sebagai konsumen seperti perilaku memberi masukan ke perusahaan (feedback), merekomendasikan untuk membeli atau memakai ke orang lain, atau yang lain. (Kalau konsumen hanya berperan posisinya sebagai konsumen dinamai “in role”, contohnya konsumen yang memakai produk sesuai buku petunjuk)
      Jadi NPS digunakan sebagai salah satu tolok ukur extra role behavior yaitu merekomendasikan dan ini merupakan tingkatan yang tinggi bagi perilaku konsumen terhadap suatu merek.
      Secara ilmu pemasaran, NEV merupakan anteseden (pemicu) ke NPS. Hubungan antara NEV dan NPS dapat dinyatakan sbb: semakin tinggi NEV maka akan menyebabkan NPS yang semakin tinggi juga.
      Kelemahan metode NPS karena pengukuran bersifat general dengan 1 pertanyaan maka kita tidak tahu di bagian mana yang membuat detractor atau promoter sehingga temuan NPS perlu ditindaklanjuti dengan riset yang lebih detil. Kelebihan metode NPS: cara bertanya yang simpel karena hanya 1 pertanyaa sehingga konsumen tidak keberatan menjawab (tingkat tanggapan responden yang tinggi)
      Bagaimana cara mencapai NPS dan NEV bagus? Mohon diuraikan.
      Untuk mencapai skor NEV dan NPS yang tinggi, perusahaan perlu melakukan pemetaan lebih dulu terhadap setiap kegiatan yang berinteraksi dengan pelanggan dari awal order sampai purna jual (moment of truth). Ini bisa dibuat dalam cetak biru yang menggambarkan setiap interaksi konsumen dengan perusahaan. Selanjutnya dari setiap kegiatan interaksi, dinilai mana yang standar, di bawah standar, dan (jika ada) di atas standar sesuai dengan kategori industri. Lalu diciptakan upaya-upaya untuk menciptakan interaksi dengan konsumen di atas standar, Yang paling bagus kalau bisa jauh di atas standar. Ukurannya: jauh di luar harapan konsumen dan jauh di atas standar industrinya.
      Kalau mau diringkas dengan tip: Ciptakan emosi-emosi yang sangat positif bagi konsumen dan jauh di luar apa yang diharapkan konsumen (beyond customer expectation). Ini bisa menciptakan kejutan positif (positive shock) yang akan memicu konsumen merekomendasikan (sehingga NPS naik).
      Bagaimana memahami service? Bagaimana analisis Anda soal service yang terkait dengan pengukuran?
      Service jangan dinilai dari core service (inti servis)-nya namun juga supplementary service (layanan pendukung). Contoh seperti di hotel, orang yang menginap di hotel tidak hanya butuh kamar tidur (core service), namun juga layanan yang ramah dari staf hotel (layanan pendukung). Tips: BuatserviceAnda sebagai suatu pengalaman yang berkesan mendalam bagi konsumen.

      Istijanto Oei
      Untuk pengukuran, setiap interaksi dapat diukur jika ditemukan NPS yang kurang bagus bagi perusahaan. Jadi NEV bisa diukurkan pada setiap interaksi yang terjadi, misalnya untuk kasus hotel, NEV bisa diukur saat tamu datang check in, tiap kegiatan berikutnya sampai check out.
      Bagaimana mempelajari proses& memahami moment of truth untuk menghasilkan NEV yang bagus? Kegiatan macam apa yang terkait hal itu yang bisa dilakukan perusahaan?
      Hampir sama dengan jawaban nomor dua, yaitu dibuat pemetaan lebih dulu terhadap setiap kegiatan yang berinteraksi dengan pelanggan dari awal order sampai purna jual (moment of truth). Ini bisa dibuat dalam cetak biru (blue print) yang menggambarkan setiap interaksi konsumen dengan perusahaan. Selanjutnya dari setiap kegiatan interaksi, dinilai mana yang standard, di bawah standar, dan (jika ada) di atas standar sesuai dengan kategori industry. Lalu diciptakan upaya-upaya untuk menciptakan interaksi dengan konsumen di atas standar, Yang paling bagus kalau bisa jauh di atas standar. Ukurannya: jauh di luar harapan konsumen dan jauh di atas standar industrinya
      Kegiatan bisa dilakukan, baik yang melalui sentuhan “human” maupun “non human”. Human dilakukan oleh staf yang bisa membangkitkan emosi positif, misal staf hotel yang responsif, customized, dan courtesy yang tinggi, atau “non human” seperti pemberian “goodbye drink” pada tamu hotel yang check out.
      Sebagai catatan, tidak setiap kegiatan ini mengandung biaya bahkan bisa tanpa biaya, asal pemilik merek kreatif dan cerdik dalam meramunya.

      Mengukur Loyalitas dan Rekomendasi Sebuah Brand

      Pendekatan NPS (net promoter score) merupakan alat yang sederhana untuk mengukur kekuatan sebuah brand, termasuk seberapa besar brand itu direkomendasikan oleh pelanggan ketimbang brand lain. Apa saja yang harus diperhatikan ketika menerapkan NPS? Praktisi barang konsumsi yang cepat bergerak (FMCG – fast moving consumers goods), Ricky Afrianto membeberkannya kepada Denoan Rinaldi dari SWA:
      Ricky Afrianto, NPS, Net Promoter Score, pemasaran, bisnis, brand, rekomendasi, konsumen, kepuasan
      Ricky Afrianto
      Bagaimana Anda melihat pendekatan NPS? Apa catatan dan pemahaman Anda tentang pendekatan itu?
      NPS merupakan salah satu alat ukur loyalitas yang paling sederhana dan mudah dipahami sehingga sangat popular dan banyak yang menggunakannya. Model ini menurut saya, selain sederhana, sangatlah berguna dalam mengukur seberapa kuat brand kita dan seberapa besar brand kita mau direkomendasikan pelanggan dibanding brand lain.
      Akan tetapi karena kemudahannya, model ini juga menjadi debat para ahli. Salah satu ”concern” yaitu model NPS ini lebih merupakan ”attitudinal” yang mencerminkan ”present attitude” VS ”future behavioural”. Selain itu, ”single question” dianggap kurang reliable. Akan tetapi, bagaimanapun, model ini sangatlah mudah untuk dimengerti dan cukup bisa memberikan ukuran seberapa kuat loyalitas atau rekomendasi pelanggan brand kita. Dan ini memberikan fokus bagi pemilik brand untuk lebih mengembangkan ”promoter” dan mengurangi atau bahkan membuat nol pelanggan yang ”detractor”.
      Yang menarik dalam survei ini adalah digunakan juga model ”NEV” (net emotional value) yang membantu memperkuat hasil survei NPS ini. Dan ada penelitian yang memperlihatkan hubungan positif antara NPS dan NEV. Dan saya pikir SWA dan partner dalam research ini sudah mencoba untuk memberikan hasil yang lebih akurat dalam survei ini dengan menggunakan dua ”measurement” ini. Di mana diketahui bahwa NPS yang positif juga disebabkan karena emotional value yang positif yang ada pada pelanggan. Walaupun bisa saja sebuah brand mendapatkan nilai NPS tertinggi belum tentu mendapatkan nilai NEV tertinggi dan sebaliknya.
      Bagi merek-merek, menurut Anda, bagaimana mencapai NPS dan NEV bagus? Mohon jelaskan.
      Bagi pemilik merek, untuk mencapai NPS yang baik juga perlu memperhatikan emotionalvalue yang brand ciptakan. Karena rekomendasi/loyalitas tidak hanya dipengaruhi oleh respons rasional tapi juga respons emosional. Jadi pemilik brand wajib terus mencoba memberikan manfaat yang terbaik dari brand mereka baik dari segi “functional” maupun “emotional”.
      Dan, seperti kita ketahui bahwa pemilik brand harus tahu siapa yang merupakan “talker” yang membicarakan hal-hal positif tentang brand kita. Kemudian mereka harus tahu siapa “promoter” yang mau merekomendasikan brand kita dan yang paling tinggi kita tahu siapa yang bisa membantu untuk menjual brand kita. Karena pada intinya rekomendasi yang baik harus tercermin di penjualan. Di sini pemilik brand bisa mempertimbangkan misalnya “community” atau “one on communication” (jika memungkinan) sebagai bagian dari CRM mereka. Jika sudah membahas mengenai community, CRM atau social media, yang terpenting brand kita harus membangun “conversation” atau menciptakan “consumer engagement” yang nantinya kita harapkan bisa menjadi talker, promoter dan konsumen yang membantu menjual brand/product/jasa kita.
      Dalam survei ini kita bisa melihat bahwa banyak sekali brand mempunyai nilai NPS yang negatif, contohnya credit card, bank, post paid GSM sim card, prepaid GSM sim card dst. Karena di kategori ini ekspektasi konsumen akan value/service sangatlah tinggi. Begitu realita yang diterima konsumen (pelayanan, realibility dst) lebih kecil dari ekspektasinya, maka akan mengurangi NPS secara keseluruhan.
      Bagaimana cara memahami service?
      Untuk service biasanya kita bisa melihat dari kualitas pelayanan. Kita bisa melihat dari berbagai dimensi kualitas pelayanan antara lain melalui RATER yaitu Reliability, Assurance, Tangibles, Empathy dan Responsiveness. Dengan konsep ini kita bisa menilai performance brand/product/jasa kita seberapa baik dan bisa kita bandingkan dengan kompetitor. Dan dari RATER kita bisa secara spesifik memperhatikan dimenasi mana yang kurang dan harus diperbaiki dan dimensi mana kita lebih unggul dibanding pesaing? Untuk brand-brand dengan nilai NPS negatif dan nilai NEV yang rendah bisa menggunakan RATER untuk mengevaluasi kualitas layanan mereka yang nantinya akan membantu memperbaiki nilai NPS dan NEV brand tersebut.
      Bagaimana mempelajari proses & memahami moment of truth untuk menghasilkan NEV yang bagus? Jelaskan kegiatan macam apa yang terkait tentang hal itu yang pernah Anda lakukan!
      Untuk memahami moment of truth agar menghasilkan NEV yang baik, pemilik brand perlu untuk memahami bagaimana konsumen berinteraksi dengan brand kita. Tidak hanya pada saat membeli atau pada saat di depan rak. Kita bahkan perlu memahami proses pembelian yang terjadi di konsumen sebelum mereka pergi ke outlet karena moment of truth setiap kategori bisa berbeda.
      Misalnya untuk kategori soft drink, moment of truth bisa saja di outdoor. Misalnya, ketika melihat poster sebuah brand soft drink dengan botol yang dingin dikelilinggi oleh es, seorang konsumen yang tadinya tidak terpikir membeli soft drink akan membeli produk tersebut. Sebaliknya, misalnya sebuah hotel di sebuah pulau, moment of truth-nya bisa jadi pada saat konsumen mengecek tiket pesawat untuk liburan mereka dan tiba-tiba melihat iklan sebuah hotel yang sangat menarik di pulau tertentu. Jadi intinya moment of truth bisa berbeda tergantung kategorinya.
      Contoh riil yang pernah saya lakukan pada saat di perusahaan sebelumnya adalah kita melakukan promo pengecekan kepadatan tulang. Di sini merupakan moment of truth yang sangat penting karena konsumen yang tadinya tidak berminat membeli produk susu karena setelah kita lakukan pengecekan kepadatan tulang dan memberikan informasi seputar kesehatan tulang, konsumen akan merasakan adanya ”needs” untuk membeli produk kita.
      Di sinilah peranan pemilik brand untuk mengetahui pesan-pesan apa yang harus kita sampaikan, sehingga komunikasi yang kita berikan benar-benar tepat yang akhirnya tidak hanya membuat konsumen membeli tapi terus membeli lagi di kemudian hari karena pesan yang kita sampaikan diterima langsung oleh konsumen dengan tepat dan experience, baik rasional dan emosiona , yang kita berikan pada saat itu juga tepat. Di sinilah peranan pemilik brand untuk memberikan total experience ke konsumen secara positive yang nantinya akan mendorong NPS dan NEV brand kita.

      Brand Harus Jadi “Manusia” di Media Sosial

      Populasi pengguna media sosial sudah makin sesak. Banyaknya  pengguna media sosial ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi brands untuk meraih keuntungan lain. Mau tidak mau, brands harus hadir di media sosial untuk lebih dekat mengampiri dan melayani pelanggannya di media sosial.
      Namun bagaimana cara menghidupkan merek suatu produk di media sosial? Marlin Silviana, Associate Partner di Hachiko, perusahaan konsultan di bidang customer loyalty solutions, mengatakan bahwa merek harus memosisikan diri sebagai karakter tertentu. “Suatu merek yang dipersepsikan sudah establish di dunia nyata, bisa berubah ketika masuk media sosial dan membuat engagement dengan audience-nya,” ungkap Marlin pada talkshow di acara peluncuran buku yang berjudul  “Social Media Nation: 15 Inspirasi Berjejaring Sosial oleh Prasetiya Mulya Business School di FX Plaza, Jakarta.
      Untuk melakukan engagement, lanjut Marlin, pemilik merek harus memahami karakter audience-nya di media sosial. Marlin mencontohkan hal yang dilakukan maskapai penerbangan Belanda, KLM, terhadap audience-nya di media sosial. Marlin bercerita bahwa KLM pernah membuat kejutan terhadap pelanggannya yang melakukan “check in” di Bandara melalui Facebook ketika pelanggan itu hendak bertolak ke New York.
      Setelah melakukan “riset” kecil terhadap si pelanggan melalui akun media sosialnya, diketahui bahwa sang pelanggan merupakan penggemar salah satu klub football di New York. Berdasarkan hal ini, tim KLM pun memberi kejutan kepada pelanggan KLM itu. Tiba-tiba sebelum pelanggan itu berangkat, tim KLM membuat kejutan dengan memberi peta kota New York dilengkapi dengan informasi sejumlah kafe yang menayangkan pertandingan klub olahraga kesayangannya itu. “Dengan berupaya memahami audience, maka brand akan dipersepsikan sebagai manusia,” kata Marlin.  
      Ke depannya, menurut Marlin, pemilik merek tidak cukup hanya fokus pada loyalty pelanggan yang biasanya hanya berbicara repeat purchase dan retention pelanggan. “Tren ke depan di media sosial, yang terpenting bagi pemilik merek adalah advocacy, yaitu membuat pelanggan merekomendasikan mereknya,” ungkap Marlin. (EVA)

1 comment:

  1. Aku Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman dapat diandalkan yang SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya Rp900,000,000 dari SANDRAOVIALOANFIRM sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui SANDRAOVIALOANFIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak SANDRAOVIALOANFIRM. menghubungi mereka melalui email:. (Sandraovialoanfirm@gmail.com)
    Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.

    ReplyDelete