Saturday, March 9, 2013

kesuksesan berawal dari hoby



Ling Ling, Di Balik Kesuksesan My Bubble Girl

Seorang perempuan cantik berdiri di sisi etalase sebuah toko, menyibak baju-baju bocah bergaya princess yang tergantung rapi di satu almari pakaian. Perempuan ini bukan manekin, meski wajahnya yang bak Barbie 100%, bisa mengecoh para tamu. Dialah Rosalindynata Gunawan yang akrab disapa Ling Ling. Kemenakan dari desainer kondang Sebastian Gunawan ini sudah genap satu tahun bergabung di My Bubble Girl, sebuah clothing line baju anak-anak bernuansa ceria.

Rosalindynata Gunawan/Ling Ling
Bubble Girl dicetuskan pertama kali oleh Sebastian Gunawan beserta partner, yakni Santika Warman dan Herman Himawan. Seiring waktu, sang paman yang makin menanjak kariernya, hanya bisa meluangkan sedikit waktu untuk mengurus clothing line ini. Padahal ada rencana Bubble Girl akan ekspansi besar-besaran entah itu buka toko baru atau second line di bawah bendera yang sama. Akhirnya, dididiklah Ling Ling selepas kuliah untuk benar-benar menjadi Head Designer yang akan memegang Bubble Girl suatu hari nanti.
“Saya memang suka ready to wear, jadi saya bilang mau. Selama dua tahun saya bekerja sama dengan Seba (Sebastian Gunawan-red), dia sudah menjadi mentor saya untuk mendidik jadi Head Designer. Dari kecil saya lihat Om saya suka gambar-gambar. Lihat dia gambar, saya jadi ikut-ikutan gambar. Akhirnya ditekunilah dunia desain,” ujar lulusan Fashion Design di Royal Melbourne Institute of Tecnology (RMIT), Australia ini.
Sebagai Head Designer, Ling Ling mempunyai tugas di antaranya memegang semua sampling team, hingga production team. Intinya dari menggambar sampai baju terakhir, di mana ia harus membawahi seorang asisten, dan 6 orang sampling team. Di samping itu, Ling Ling juga harus jeli melihat pasar dengan menciptakan line-line baru misalnya seperti sekarang, sudah ada premium line collection. Premium collection muncul karena banyak orang yang ingin baju pesta dengan look desainer tapi dengan harga yang ‘tidak desainer’. Ling Ling mencoba menyasar segmen high end tersebut dengan baju-baju party yang harganya bisa mencapai 1 juta ke atas.
“Awal-awalnya mereka pikir, bahwa ini sesuatu yang tidak mungkin, ngapain beliin baju anak kecil seharga Rp 1 juta ke atas, impossible. Cuma karena saya masih muda, jadi saya suka bereksperimen, saya yakin bisa. Dan karena keyakinan itu, sekarang ide tersebut jadi jalan banget,” terang dara kelahiran Jakarta, 16 September 1988 ini mantap.
“Anak-anak sekarang suka susah ditebak, mereka suka model baju yang seperti apa. Kalau tomboy biasanya suka cuma pakai short dan kutang. Kalau feminim, mereka suka pakai motif bunga-bunga, lebih ke princess line. Dan tergantung mamanya juga. Kebutuhan mamanya apa? Kalau misalnya mereka mau ke wedding, mereka bisa cari ke premium collection kami. Bajunya memang didesain khusus untuk event-event tertentu. Kalau memang misalnya mau jalan-jalan hari Minggu, santai-santai, mereka bisa pakai yang katun-katun, yang bisa buat lari-lari, nggak khawatir keringetan dan gampang dicuci,” ujar Ling Ling yang menerangkan bajunya kebanyakan berbahan katun. Sementara yang premium collection macam-macam bisa dari silk, ciffon,dll.
Baju-baju yang dijual memang bersifat ready to wear, artinya bisa dipakai kapan saja. Rentang harga dari yang termurah sekitar Rp 200 ribu sampai premium collection yang bisa mencapai di atas Rp 1 juta. Usia pemakai disasar antara 4-12 tahun. Ada juga baju baby, namun hanya terbatas satu jenis. Sementara produk lain seperti boneka, hanya ada di edisi khusus, yakni untuk Christmast Collection, di mana baju yang dipakai boneka-boneka tersebut sama dengan koleksi Natal yang dikeluarkan Bubble Girl. Misalnya salah satu marketing stratey adalah orang yang ingin membeli hadiah, saat beli baju, mereka bisa sekalian menghadiahkan bonekanya.
Lebih jauh Ling Ling memberikan gambaran bahwa anak-anak saat ini sudah tidak bisa didikte orangtuanya lagi. Ditambah dengan perkembangan teknologi dan social media, anak-anak menjadi lebih edukatif. Mereka tahu apa yang mereka ingin pakai, sembari melihat idola-idola mereka. Misalnya mereka melihat Ketty Perry atau artis-artis MTV, mereka tahu dan mengikuti gaya busana sang idola. Mereka juga suka melihat busana teman-temannya sehingga biasanya terpengaruh. Kebiasaan ini juga di-support oleh ibu-ibu mereka.
“Yang saya lihat, ibu-ibu muda sekarang ini, mereka sangat on tren. Buktinya dengan berhasilnya Zahra dan Mango, itu kan karena mereka selalu on tren. Dan di Jakarta mereka sangat berkembang. Dari situ kita bisa melihat, ternyata ibu-ibu muda saat ini sukanya yang on tren dan mereka akan pakaikan baju ke anaknya sama dengan apa yang mereka mau pakai. Kami konsiderasikan hal itu, dengan mengikuti on tren tapi tetap membuat designer tool sendiri. Jadi yang membedakan Bubble Girl dari label-label lainnya adalah kami mempunyai designer cut, cuttingnya lebih ke couture dan diimplikasikan ke yang on tren saat ini,” terang wanita yang pernah berkolaborasi dengan Cita Tenun Indonesia untuk tenun collection asal Garut pada acara fashion show Ibu Ani Yudhoyono saat hari ulang tahunnya di kebun mawar, Garut.
Tahun depan, Ling Ling berencana akan menyelenggarakan fashion show tunggal untuk premium collectionnya, di samping peluncuran label baru lagi yang tidak menutup kemungkinan akan membuka clothing line kategori teen.
“Kami sedang me-reform brand image. Jadi nanti semua brand image-nya akan diperbarui. Akan ada website/webstore, jadi kami bisa jualan online dan bisa menjangkau customer di luar Jabodetabek. Juga, akan meluncurkan label-label under Bubble Girl, lain dari koleksi yang sudah ada. Mimpi besarnya sih ingin recognize nationaly dan kalau bisa internationaly,” pungkas pehobi diving, traveling, find art practise, dan melukis ini.

Ngepel Dulu, Baru Jadi Bos Sevel

Siapa bilang jadi bos itu gampang? Untuk jadi bos Sevel alias 7-Eleven, Henri Honoris harus mengepel, bahkan membersihkan WC di salah satu toko Sevel di Amerika. Bukan itu saja, ia harus bisa meracik hotdog dan sandwich serta mengikuti truk supplier pengantar barang ke toko tengah malam demi merasakan bagaimana melayani konsumen secara langsung. Semua itu dilakukannya demi memboyong lisensi waralaba Sevel ke Indonesia.

Henri Honoris, Presiden Direktur PT Modern Putra Indonesia
Bagi Presdir PT Modern Putra Indonesia, mengantongi lisensi Sevel bukan perkara gampang. Pendekatan intensif dilakukannya sejak tahun 2006 ketika nama Indonesia belum banyak diperhatikan seperti sekarang. Padahal di saat yang sama Henri melihat peluang besar mengembangkan bisnis tersebut di Tanah Air.
“Selama dua tahun saya ditolak, kirim email, surat, semua dicuekin sama Amerika,” tutur Henri dalam Penganugerahan Net Promotion Sales yang diselenggarakan SWA dan Hachiko.
Setelah dua tahun pendekatan tanpa patah arang, akhirnya Henri dipanggil ke Amerika, negara tempat Sevel berasal. Di sana ia mempresentasikan kesiapannya membuka Sevel di Indonesia. Namun ternyata perjuangan Henri masih panjang. Setelah kembalinya ke Indonesia, ia tak kunjung mendapat jawaban.
Enam bulan menanti, Henri mulai gemas. Ia kembali menghubungi markas Sevel mengejar kepastian. Barulah kemudian Sevel mengirim surat akan datang ke Indonesia untuk survei. Mereka sekaligus menantang Henri mengikuti proses interview dan pelatihan di Amerika.
Dalam pelatihan tersebut, Henri dan ayahnya, Sungkono Honoris belajar banyak tentang bagaimana melayani konsumen mendengarkan mereka. Tak heran bila kemudian ‘mendengarkan’ jadi strategi Sevel menancapkan bendera dan bertahan di Indonesia sejak akhir tahun 2009. Pelajaran tersebut semakin merasuk tatkala mereka melebur menjadi kru Sevel. Keluarga pemegang lisensi Fuji Film tersebut mau tak mau merasakan membersihkan WC di toko sampai membuat sandwich untuk konsumen. “Awalnya ya sandwich saya berantakan sekali. Tapi ya karena praktek terus, lama-lama baru rapi,” kenang Henri.
Saat ini 98 outlet Sevel tersebar di Jakarta. Tokonya dikenal sebagai convenience store yang tidak biasa lantaran pelayanan ala warung kopi dengan akses internet gratis yang diberikan. Dengan kenyamanan dan harga yang cukup terjangkau, tak mengherankan bila kaum remaja yang dibidik Sevel pun tak pernah absen kongkow di toko waralaba tersebut. Melanjutkan suksesnya Sevel di Jakarta, Henri mengaku akan melakukan ekspansi ke kota-kota lain di Indonesia.

Tugas Kampus Lima Sekawan yang Jadi Duit

Berawal dari tugas kampus, sebagai salah satu syarat kelulusan dari Jurusan Pemasaran dan Keuangan di Prasetiya Mulya Business School, Stephen Khrisna, Ivan Ariwibowo, Yossi Permana, Oktavianus Andika, dan Aradea Respati merintis bisnis leather goods – produk fashion berbahan dasar kulit. “Waktu itu kami memilih, mau bikin bisnis roti bagel, fotografi atau leather goods. Nah pilihannya jatuh pada opsi ketiga, karena saat itu di Indonesia sedang demam denim dan barang kulit sangat cocok dipasangkan dengan denim,” tutur Ivan Ariwibowo, Chief Marketing Officer Voyej. Apalagi, mereka melihat banyak perajin di Indonesia yang mampu menciptakan produk buatan tangan yang bernilai seni tinggi.

Tim Voyej, Ivan Ariwibowo, Yossi Permana, dan Aradea Respati
Sebelum memulai bisnisnya, anak-anak muda berusia 24 tahun ini lebih dulu melakukan riset ke Bandung, Garut, Yogyakarta dan Malang untuk mencari perajin yang bisa mengerjakan produk yang mereka inginkan. Tak hanya itu, mereka juga mengaku kesulitan mencari kulit vegetable tanned cowhide, yakni kulit khusus sebagai bahan utama untuk produk Voyej seperti dompet, gantungan kunci, ikat pinggang, dan gelang.
Usaha mereka tak sia-sia. Setelah 6 bulan mencari perajin dan bahan baku, produk dengan label Voyej resmi diluncurkan pada 11 Februari 2011. Dana investasi sebesar Rp 40 juta digelontorkan untuk biaya sampling, perajin, membuat merek, toko online, dan membeli bahan baku. “Karena kulit yang kami inginkan di Indonesia kualitasnya kurang bagus, maka kami impor langsung dari Amerika Serikat,” ujar Yossi Permana, Chief Operating Officer Voyej.
Voyej membidik konsumen pria berusia 18-30 tahun yang tergolong kelas menengah-atas. Maklum produk Voyej tergolong tidak murah. Harga sebuah dompet misalnya, dibanderol Rp 800 ribu-1,8 juta, sedangkan ikat pinggang seharga Rp 500 ribu.
Yang istimewa, karena menggunakan kulit khusus, warna dompet, gelang, ikat pinggang dan gantungan kunci dapat berubah menjadi kecokelatan atau lebih gelap bergantung pada pemakaian dan atau perawatan si pemakai. “Inilah positioning produk kami,” ujar Ivan dengan bangga.
Aradea Respati, Kepala Riset dan Pengembangan Voyej menambahkan, Voyej sendiri artinya perjalanan jauh. “Proses pembuatan satu produk saja terbilang rumit dan lama. Dan tidak hanya itu, pengguna Voyej juga akan merasakan pengalaman baru selanjutnya. Kami ingin menciptakan customer experience,” ia menjelaskan.
Meskipun unik, pemasaran produk Voyej awalnya cukup sulit karena banyak konsumen yang belum mengerti keistimewaan produk ini. Kelima sekawan ini harus mengedukasi pasar lebih dulu agar mudah membidik konsumen yang dituju. Awalnya mereka mempromosikan produknya melalui berbagai forum online. Namun kini, selain melalui Internet, pemasaran Voyej juga melalui konsinyasi di lima gerai di Jakarta dan Bandung, salah satunya Goods Dept di Pacific Place, Jakarta. Sekitar 50% pembeli melakukan pembelian secara online, dan 30% di antaranya bahkan berasal dari luar negeri seperti Amerika Serikat, Singapura, Australia, Kanada, Hong Kong dan Taiwan.
Dalam sebulan kelima anak muda ini mampu meraup omset rata-rata Rp 60 juta. Angka penjualan bahkan meningkat hingga 100% pada momen Ramadan, misalnya. Hanya dalam tiga bulan, bisnis kelima anak muda ini balik modal.
Arrad Fajri yang telah menggunakan dompet buatan Voyej sejak tiga bulan yang lalu, menilai produk Voyej memang unik dan memiliki ciri khas. “Ini dompet paling keren yang saya punya,” katanya. Menurutnya, desain produk Voyej sangat trendy dan keunggulannya terletak pada bahan kulit yang bisa berubah warna. “Dompet saya berubah warna dalam waktu dua bulanan. Saya senang karena dompet saya semakin keren,” ia menambahkan.
Ke depan, Voyej memang berencana melakukan ekspansi bisnis dengan membangun gerai sendiri, membangun jaringan pasar mancanegara, hingga menambah portofolio baru. Lima sekawan ini berharap, bisnis yang dijalankan sekarang dapat semakin besar dan eksis, meskipun dua pendirinya lebih memilih bekerja sebagai profesional di perusahaan.

Si Manis di Balik BonChon

Michelle E. Surjaputra. Itulah namanya. Di usianya yang baru menginjak 23 tahun, gadis muda nan manis ini sudah punya bisnis yang lumayan bagus: restoran cepat saji asal Korea, BonChon Chicken.
Inspirasi mengembangkan bisnis ini diperolehnya saat menempuh studi di Amerika Serikat. “Saat kuliah, setidaknya saya dua kali sebulan nongkrong di BonChon. Di New York ada sekitar tujuh gerai BonChon,” ujar kelahiran Jakarta 15 November 1988 yang lulusan New York University- Leonard N. Stern School of Business ini.
Michelle E. Surjaputra
Michelle E. Surjaputra, pemegang master franchise BonChon Chicken untuk Indonesia
Namun, Michelle tak langsung membawa BonChon. Sekembalinya ke Indonesia, dia sempat magang di perusahaan ayahnya. Juga, pernah magang di AXA Advisory, Bank Indonesia dan UBS. Ide BonChon baru muncul saat mengunjungi mal-mal di Jakarta. “Saya pikir, kenapa tidak saya bawa BonChon ke Indonesia? Apalagi, di Indonesia sedang tren yang serba Korea dan orang Indonesia suka makan ayam,” kata Michelle mengenang.
Awalnya, dia agak grogi berbisnis karena tak punya pengalaman sama sekali dengan waralaba. Lantas, mengapa tak bergabung dengan bisnis orang tua? “Bisnis orang tua bidang manufaktur metal. Itu bukan bidang saya. Saya lebih suka industri gaya hidup,” ungkapnya.
Mantap dengan pilihannya, dia pun mencoba memberanikan diri menulis minat bekerja sama yang dikirimkan ke pihak BonChon Chicken melalui website. Apa respons mereka? Rupanya, menurut GM-nya, BonChon sudah sering menerima tawaran permohonan master franchise untuk di Indonesia. “Tetapi, saya diberi kesempatan membuat business plan,” katanya. Beruntung, Michelle sangat terbiasa membuat business plan, sehingga dia bisa membuat setebal 50 halaman hanya dalam tiga hari. “Mereka terkesan dengan proposal saya,” dia mengenang.
Akhirnya, segalanya berlangsung cepat dan seperti sebuah keajaiban. Begitulah kesan Michelle. Agustus 2011, dia memasukkan proposal, Oktober sudah diminta ikut pelatihan, bulan November keluar izin, dan di bulan Januari 2012 gerai pertama BonChon di Jakarta dia buka. Cukup cepat. Gerai pertama BonChon Chicken dibuka di Grand Indonesia di bawah naungan PT Michelindo Food International sebagai pemegang master franchise BonChon Chicken untuk Indonesia.
Setelah itu, Michelle bergerak cepat. Bersama kawan-kawannya yang bertindak sebagai investor, dia segera beraksi. “Saya dan beberapa teman. Tetapi, tak sampai lima orang,” katanya. Bermula dari Grand Indonesia, BonChon kini berjumlah tujuh gerai yang tersebar di mal-mal kelas atas seperti City Walk Sudirman, Living World Alam Sutera, Supermal Karawaci, Gandaria City, Central Park dan Kota Kasablanka. Setelah itu, akan segera menyusul gerai di Kemang Village dan Beachwalk Bali.
Michelle E. Surjaputra
Michelle E. Surjaputra
Menyasar segmen pelanggan kelas A dan B, Michelle menjelaskan, keunikan BonChon terletak pada kesegaran bahan makanannya, termasuk dapur. “Di sini ayamnya tidak ada proses pembekuan, tak menggunakan bahan kimia dalam bumbu ayam,” ujarnya penuh bangga.
Menurut Utomo Njoto, pengamat waralaba, kalau BonChon ingin kian membesar, akan lebih cocok bermain di segmen menengah ketimbang di segmen A. “Penetrasi mereka cukup cepat. Tidak mudah untuk secara konsisten buka satu gerai per bulan,” katanya. Namun untuk menjadi bisnis yang solid, Utomo menyarankan Michelle lebih memperkuat dari sisi organisasi dan tim, apalagi bila hendak menjalankan sub-franchising. “Butuh kemampuan sistem, infrastruktur organisasi dan pembiayaan,” ujar Utomo.
Saran Utomo sangat mengena. Bagi Michelle, tantangan terbesar untuk mengembangkan bisnisnya adalah bagaimana memastikan BonChon Indonesia bisa mengikuti standar BonChon internasional. Dia ingin menjadikan BonChon Indonesia sebagai BonChon terbaik di dunia. Untuk itulah, dia intens terlibat dalam operasional perusahaan. Dia selalu rapat setiap pagi di kantor dan setiap gerai dia datangi setidaknya dua kali dalam sebulan. Michelle berencana akan terus berekspansi dan setiap bulan membuka satu gerai baru.

No comments:

Post a Comment