Lima Kendala Merek Lokal Sulit Mengglobal
Tidak
banyak merek lokal atau asli Indonesia yang berhasil menjadi kampiun di
pasar internasional. Kenyataannya, merek-merek dari Eropa, Amerika, dan
Asia Timur yang merajai pasar dunia. Mulai dari produk pakaian,
makanan, elektronik, hingga perangkat teknologi. Kondisi tersebut
dikhawatirkan dapat mengkerdilkan merek asli Indonesia dalam
berkompetisi. Jahja B. Soenarjo, Chief Consulting Officer (COO) Direxion Strategy Consulting, memaparkan lima kendala yang menyebabkan merek lokal sulit mengglobal.
Pertama, tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri. Menurutnya,
keberanian dan kepercayaan diri adalah modal dasar bagi pengusaha lokal
atau nasional untuk masuk ke pasar yang lebih luas. Selama ini ia
menilai, merek lokal cenderung tidak berani mengambil risiko dan merasa
nyaman berbisnis di pasar yang sudah mapan.
Kedua,
manajemen yang buruk. Manajemen merupakan perangkat terpenting dalam
menggerakan bisnis. Manajemen harus berisi orang-orang yang memiliki
kapabilitas di bidangnya masing-masing. Stagnasi merek berakar dari
kesalahan dalam pembagian tugas dan tanggung jawab. Kesalahan
pengelolaan akan berakibat pada kegagalan pemasaran, branding,
hingga penjualan.“Indonesia berpeluang melahirkan merek-merek besar,
tapi karena manajemen yang buruk, maka perusahaan atau merek hanya
berjalan ditempat. Faktor utamanya adalah pendidikan people-nya dan tidak adanya dream dari founder,” terang Jahja.
Faktor
ketiga adalah akses keluar yang minim. Artinya, banyak pengusaha lokal
yang tidak memiliki pengetahuan luas ketika hendak mengembangkan bisnis
ke luar negeri. Penyebabnya antara lain : kurang mendapat informasi dari
pemerintah atau enggan bertanya dan mencari tahu. Untuk itu, Jahja
berharap, pemerintah harus memberikan penerangan kepada pelaku usaha
kecil dan menengah (UKM) seputar regulasi dan strategi menembus pasar
global.
Keempat, inovasi dan kreatifitas. Ia mengatakan, merek-merek yang sukses dalam branding
dan pemasaran adalah merek-merek yang mampu berkreasi, mengikuti
perubahan zaman serta mengerti selera konsumen. Mulai dari tampilan
kemasan, cita rasa, varian, hingga peningkatan kualitas. Tengok saja
Nike, Coca Cola, Adidas, Kopi Kapal Api, dan produk dari Mayora yang
mampu menembus pasar internasional. “Bisnis itu perlu kreatifitas.
Sayangnya, merek lokal belum siap berkompetisi karena daya saingnya
masih lemah, “ Jahja menguraikan.
Faktor
terakhir adalah keterbatasan modal. Modal kerap kali menjadi penghalang
pengusaha ketika ingin berekspansi. Maka dari itu, ia mengharapkan
pemerintah dan lembaga pinjaman seperti bank, bisa mempermudah pengusaha
lokal untuk menyuntikan dana ke bisnis mereka. “Kita bisa seperti
merek-merek Amerika dan Eropa jika kita memiliki tekad untuk menghapus
lima faktor kendala tadi. Jika dirasa masih belum mampu, ada baiknya
menyewa konsultan atau business coach,” imbuh JahjaBanyak Brand yang Tidak Mewakili Karakter Konsumen
Di era horizontal ini, positioning,
diferensiasi, branding (PDB) saja tidak cukup. Karena konsumen dan
produsen posisinya sejajar. Brand harus punya karakter. Dengan karakter
yang kuat, brand akan kuat karena konsumen akan mencari brand yang
sesuai (mewakili) karakter konsumen. Sekarang banyak brand yang awalnya
tidak ada masalah tiba-tiba ditinggalkan konsumen. “Karena konsumen
merasa brand tersebut tidak sesuai dengan karakternya,” kata Taufik,
Chief Business Officer MarkPlus Inc. mengungkapkan alasannya.
Selain karakter, perusahaan juga dituntut untuk
tanggap terhadap isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan dan manusia.
Ambil contoh kasus yang pernah menimpa Apple. Sebagai brand, kekuatan
Apple tidak diragukan lagi. Tetapi saat tersangkut kasus perlakuan
perusahaan supplier Apple terhadap buruh-buruhnya turut memengaruhi
pandangan konsumen pada Apple. “Bicara brand saat ini sangatlah
kompleks. Tidak hanya PDB dan karakter saja, namun juga berkaitan dengan
value chain pemilik merek tersebut,” ujar dia.
Masih dalam kasus Apple, untuk menyelamatkan
brand tersebut CEO-nya tidak sekadar melakukan klarifikasi saja. Namun,
CEO Apple terjun langsung ke perusahaan tersebut di Cina untuk
memastikan keadaan yang sebenarnya dan memberi solusi. “Beliau sadar
kalau ini dibiarkan akan membahayakan brand Apple yang sudah lama
dibangun karakternya,” tutur dia.
Banyak pemilik merek di Indonesia masih
bergerak alami. Masih sedikit pemilik merek yang melakukan rejuvinasi
agar mereknya tetap relevan untuk segala kalangan. “Pola pikirnya,
pokoknya punya merek yang kuat. Kalau nanti ada yang beli ya lebih bagus
lagi. Itu yang harus dihindari,” tegasnya.
Meski demikian, ada perusahaan di Indonesia
yang sudah mulai mengarah ke sana. Taufik menyebut Astra sudah punya
visi jangka panjang. “Memang produknya tidak gampang ditemui, tetapi
sebagai perusahaan Astra sudah punya visi ke depan tentang reputasinya,”
kata dia. Astra tidak sekadar memikirkan merek yang kuat, tetapi juga
reputasi jangka panjang. “Baru-baru ini kan Astra mendapat predikat best
wealth creator di ASEAN. Itu sudah dibangun belasan tahun yang lalu,”
tambahnya. Memang, upaya Astra ini tidak lepas dari pendirinya, William
Soeryadjaya. “Beliau ini tahu bahwa reputasi perusahaan akan memengaruhi
produknya. Maka, beliau mau membayar utang yang sebenarnya bukan
tanggung jawab dia,” tutur Taufik. Buah dari langkah tersebut, reputasi
Astra sebagai perusahaan yang dipercaya sangat tinggi. Akibatnya,
kalangan industri keuangan juga percaya ketika mengucurkan kredit pada
Astra.
“Pemilik brand di Indonesia mestinya mulai
mengarah ke sana. Tidak hanya sekadar membuat brand besar, terkenal dan
pelayanan bagus. Tetapi membangun brand dengan reputasi bagus,” kata
dia. Bila merek sudah punya reputasi bagus, ketika pemilik merek sudah
tidak ada maka merek masih tetap bertahan. “Punya merek besar dan bagus,
itu gampang. Tetapi bagaimana membuat merek dengan reputasi bagus, itu
yang harus terus diupayakan,” tegasnya.
Bila brand sudah memiliki reputasi bagus, maka
kemungkinan untuk bertarung di regional atau global cenderung mudah.
Benar memang, bermain di negeri orang tidak semudah membalik telapak
tangan. Tapi, dengan reputasi bagus pasti kemungkinan itu terbuka lebar.
Taufik mengambil contoh Sido Muncul. Produsen jamu tersebut bisa
memulai dengan membangun reputasi sebagai produsen herbal. “Dan, bila
Sido Muncul bisa menginspirasi pemain-pemain lainnya, Indonesia bisa
menjadi pusatnya produk herbal di dunia,” tutur dia. Maksudnya, selain
reputasi perlu juga dibarengi sinergi antar pemain untuk membangun
reputasi negara.
Pemerintah, kata Taufik, pelan-pelan juga mulai
membuka jalan. Meski belum terlalu seagresif pemerintahan di Korea
Selatan. Upaya pemerintah, misalnya, ditunjukkan dengan kebijakan
pegawai Kemendag harus punya skor TOEFL 600. “Ini tujuannya agar
orang-orang Kemendag dapat berjualan di luar negeri dengan bahasa yang
bagus,” dia menuturkan.Fesyen Merek Lokal Punya Sejumlah Dilema
Pemerintah berusaha mendorong masyarakatnya untuk mencintai produk dalam negeri. Akan tetapi, produk fesyen lokal sendiri tak leluasa berkembang seiring dengan kian derasnya gempuran dari produk asing. Geliat bisnis merek lokal pun terhambat oleh sejumlah kendala domestik.“Local brand di Indonesia banyak mengalami dilema,” kata Dicky Sukmana, owner dari usaha fesyen Invictus, di sebuah acara seminar mengenai tekstil, di Bandung, Seni (7/1/2013).
Persaingan usaha fesyen lokal dengan merek global semakin sengit. Dengan berbasiskan produksi massal, merek global bisa memasang harga yang terjangkau. Apalagi, kata Dicky, berbagai merek asing kerap melakukan diskon besar-besaran. Kondisi ini lantas membuat konsumen berpikir dua kali untuk membeli produk dalam negeri yang dari segi harga bisa lebih mahal ketimbang produk impor.
Permasalahan tidak sampai di situ saja. Ia menyebutkan, pengusaha fesyen lokal juga harus menghadapi biaya sewa tempat dan pajak yang tinggi. “Saya kasih ilustrasi, tahun 2003, saya sewa tempat Rp 17 juta setahun untuk luas paling 25 meter persegi, sekarang harga itu sudah Rp 100 juta. Itu di tengah-tengah daerah strategis,” kata dia.
Sementara itu, bila pengusaha menaikkan harga produk, maka dikhawatirkan produk tidak akan laku lantaran semakin sulit mengimbangi harga merek global yang kian terjangkau. “Percepatan kenaikan harga produk sama rental tempat nggak seimbang,” lanjut Dicky yang juga menjabat sebagai Creative Director di Marketbiz Media.
Masalah pembiayaan, masalah plagiat atau peniruan, dan kenaikan tarif dasar listrik juga termasuk yang menghantui pengusaha fesyen lokal. Kenaikan TDL pasti akan memberatkan pengusaha dalam biaya produksinya. Produk lokal pun rentan pembajakan. “Sering saya mengalami orang beli ke toko kami 5 pieces, tapi ketika dibawa ke daerahnya jadi berlusin-lusin,” terang dia.
Ia menyebutkan juga bahwa dasar permasalahan terletak di internal usaha. Menurut Dicky, pengusaha lokal kurang bisa mengatur usahanya dengan baik. “Jadi kami learning by doing semua, nggak pernah tahu cara me-manage staf yang besar,” imbuhnya.
Sebagai solusi, ia pun berharap agar merek-merek lokal melakukan regenerasi. Mulai tahun 2010, regenerasi sudah tampak dilakukan pengusaha fesyen lokal. Sekarang merek-merek lokal sudah mulai menggunakan konsep digital dalam usahanya. Dia juga berharap agar merek tidak hanya sekadar merek, tetapi kata dia, “Ya, brand dengan soul.”
Selain koreksi di internal perusahaan, Dicky berharap antarindustri di bidang tekstil pun bisa bekerja sama. Karena, pengalaman selama ini, industri fesyen lokal sering dipandang sebelah mata oleh perusahaan garmen untuk mendapatkan bahan baku tekstil yang berkualitas. “Kalau bule yang datang diservis bagus,” tuturnya.
No comments:
Post a Comment