Harus Jeli Menentukan Selling Point
Kelas menengah di
Indonesia selain tumbuh pesat, populasinya juga paling banyak
dibandingkan klelompok masyaralat lainnya. Daya beli mereka kuat,
sehingga mampu menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Tapi, tidak gampanmg membidik pasar kelas menengah. Menurut Dr. Ujang
Sumarwan, pakar perliaku konsumen IPB Bogor,
di tengah banyaknya pilihan produk yang tersedia untuk kelas menengah,
para pemlik merek harus jeli menentukan selling point yang tepat bagi
konsumen yang dibidiknya. Berikut adalah wawancara Ujang Sumarwan dengan
Rangga Wiraspati:
Bagaimana Anda melihat fenomena dan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia?
Pertumbuhan
kelas menengah yang pesat umumnya merupakan fenomena di negara
berkembang. Pertumbuhan kelas menengah didorong oleh pendidikan yang
bagus, kesempatan bekerja yang tinggi, dan daya beli yang bagus sehingga
aktivitas konsumsi mereka juga bagus. Aktivitas konsumsi itu yang
menentukan GDP di negara berkembang. Jadi, menurut saya benar
pertumbuhan kelas menengah akan mendorong pertumbuhan perekonomian
negara. Dalam pengamatan saya, kelas menengah merupakan populasi
terbanyak di Indonesia, maka kelas menengah merupakan penentu utama bagi
perekonomian nasional. Berdasarkan kaidah-kaidah tadi, kelas menengah
merupakan sasaran terdepan dari para pemasar di Indonesia, karena jumlah
penduduknya yang terbanyak.
Kelas
menengah sendiri saya bagi dua, yaitu menengah bawah dan menengah atas.
Kelompok menengah bawah terdiri dari anggota masyarakat yang telah
menjadi sarjana, baru mendapat kerja dengan gaji kurang lebih Rp 7 juta
per bulan. Ketika karier anggota masyarakat tersebut sudah mencapai lima
tahun atau lebih dan gajinya sudah double digit, maka ia masuk ke dalam kelompok menengah atas.
Untuk produk menengah, terutama consumer goods, saya mengamati hampir setiap brand
menengah tersedia di Indonesia, karena para pemasar tahu besarnya
jumlah penduduk kelas menengah yang terbanyak. Kelas menengah mempunyai
ciri khas, yaitu sangat responsif terhadap inovasi pada produk, sehingga
semua produk menengah baru yang ada di Indonesia penerimaannya relatif
cepat. Harga produk menengah pun disesuaikan dengan daya beli mereka,
maka saya melihat produk menengah dengan harga yang paling murah sampai
paling mahal pun ada bagi kelas menengah. Contoh kasusnya adalah
larisnya handphone pada range harga Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000. Salah satu jenis produk yang booming di kalangan kelas menengah adalah gadget. Yang dimaksud gadget
adalah segala peralatan yang dapat membuat orang untuk bekerja lebih
ringan dan mudah untuk pria dan wanita. Banyak masyarakat salah
pengertian tentang gadget,
yaitu sebatas alat telekomunikasi saja. Padahal, peralatan di dapur dan
peralatan untuk mempercantik diri pun dapat termasuk kategori gadget. Saya melihat gadget tersedia sangat banyak di pasaran, dan umumnya kelas menengah mampu membeli dan mengekspresikan diri melalui gadget. Pada umumnya kelas menengah yang berusia 30-45 tahun menggunakan produk dan brand sebagai simbol ekspresi diri. Sementara itu, usia kelompok kelas atas pada umumnya telah melampaui usia kelas menengah.
Saat ini jumlah perusahaan Indonesia yang terus membangun brand Indonesia sangat banyak. Dulu, konsumen Indonesia terobsesi dengan brand luar negeri dan ketersediaan brand
lokal masih sedikit. Sekarang produk-produk lokal seperti tas, pakaian,
sepatu, dan aksesoris banyak dan diterima oleh kelas menengah.
Produk-produk lokal yang terkadang harganya pun terjangkau oleh kalangan
menengah ke bawah kini juga terdapat di outlet
modern seperti mal, contohnya produk-produk asal Bandung seperti
Bodypack dan Eiger. Produk-produk lokal tumbuh seiring dengan
meningkatnya kelas menengah. Produk IT lokal seperti komputer pun
tumbuh. Penjualan produk-produk kelas menengah lokal pun terbilang
bagus. Konsumen Indonesia, terutama anak muda, menggunakannya dalam
kehidupan sehari-hari dan mereka pun bangga akan hal tersebut. Untuk
produk dan brand kelas menengah, ketersediaan produk dan brand di retailer dan outlet modern menjadi indikator perkembangan produk dan brand menengah tersebut, karena hal itu menunjukkan seberapa besar permintaan terhadap produk dan brand menengah.
Fenomena
lainnya dari pertumbuhan kelas menengah adalah frekuensi penggunaan
moda transportasi pesawat terbang yang tinggi. Dulu yang dapat naik
pesawat terbang dengan biaya pribadi adalah golongan menengah atas.
Golongan menengah bawah naik pesawat terbang dengan biaya dari kantor.
Sekarang hal tersebut berubah, dengan golongan menengah bawah pun mampu
naik pesawat terbang dengan biaya sendiri. Perjalanan ke luar negeri
selalu penuh, yang mengindikasikan Indonesia merupakan pasar gemuk untuk
industri penerbangan. Tempat liburan pun selalu menjadi buruan kaum
menengah.
Seberapa besar potensi mereka sebagai target pasar?
Di
Indonesia, secara total ekonomi, daya serap (konsumsi) kelas menengah
lebih banyak dibandingkan kelas atas. Kelas atas segmennya kecil, jadi
total aktivitas belanja kelas atas masih kalah dibandingkan dengan kelas
menengah, yang jumlahnya sangat besar di Indonesia. Perusahaan bisa
menyasar kelas menengah dengan mengandalkan margin yang kecil, namun
volume besar. Sebaliknya, perusahaan akan menyasar kelas atas dengan
margin besar namun volume kecil.
Untuk
menyasar kelas menengah, bagaimana cara-cara yang dilakukan pemasar dan
pemilik merek kelas menengah? Sudah tepatkah dan apa yang harus
ditingkatkan?
Yang pertama komunikasi yang langsung berhubungan dengan konsumen. Cara yang paling efektif menurut saya adalah marketing event,
karena salah satu ciri kaum menengah adalah gemar berkomunikasi dan
berkumpul dalam sebuah komunitas. Pemasar atau pemilik merek dapat
menggarap pasar komunitas, karena bagi kelas menengah, kepercayaan
terhadap peers-nya
bisa jadi sangat menentukan. Masyarakat kelas menengah cepat
mengevaluasi pemasaran yang bersifat personal, karena mereka memiliki
akses informasi yang relatif bagus. Jadi, pendekatan melalui peer group, komunitas, dan event ini yang harus diperhatikan.
Saya memperhatikan selama ini beberapa pemilik merek selalu mengandalkan salesmanship
yang relatif memaksa, kurang persuasif. Kasus itu sering terjadi di
industri perbankan, mereka sering mengabaikan etika dalam melakukan
pemasaran. Dalam memasarkan produk bagi kelas menengah, pemilik merek
tidak bisa memaksa, tetapi mereka harus memberikan informasi yang
memudahkan konsumen untuk mengambil keputusan. Kemudian pemilik merek
harus tetap memperhatikan reward kepada konsumen, karena terkadang konsumen kelas menengah mengharapkan reward berupa barang atau dalam bentuk lain. Para pemilik merek bisa mengikat konsumen kelas menengahnya dengan CRM (Customer Relationship Management)
yang lebih intens. Melalui CRM, konsumen bisa merasa diperlakukan
spesial oleh para pemilik merek. Jika konsumen merasa lebih dihargai,
maka konsumen akan merasa lebih dekat secara emosional dengan suatu
merek.
Upaya-upaya Integrated Marketing Communication (IMC) apa yang tepat dalam menyasar kelas menengah?
IMC itu dulu istilahnya promotion, di dalamnya terdapat unsur-unsur Public Relations, Personal Selling, Direct Marketing, dan Event. Pemilik merek harus memilih cara-cara tersebut untuk menyasar target yang dibidik. Event marketing bisa berupa penyelenggaraan sponsorship program, seminar, lokakarya, konser, dll. Menurut saya iklan TV harus diperbanyak, dan juga marketing event
karena kebiasaan kaum kelas menengah yang suka berkumpul. Misalnya,
sebuah perkumpulan olah raga, pemasar harus jeli melihat celah itu,
pemasar harus memahami watak konsumen yang mau berkumpul karena adanya
kesamaan minat atau hobi.
Apa saja dos and don’ts dalam menggarap kelas menengah ini?
Pemasar mesti paham kalau saat ini konsumen ingin dipandang penting oleh perusahaan. Maka do yang paling penting adalah membangun CRM dengan pelanggan. Do
yang kedua adalah selalu memonitor perilaku konsumen, karena perubahan
perilaku konsumen dewasa ini cenderung cepat dan perusahaan harus bisa
menyesuaikan diri dengan keadaan itu. Perusahaan perlu mempunyai tim
yang memantau perubahan perilaku konsumen dalam divisi pemasarannya. Do yang ketiga adalah bangun komunikasi dengan retailers, karena para pengecer inilah yang setiap hari melihat perilaku konsumen dan mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi. Jadi retailers merupakan narasumber yang berharga untuk memberikan informasi apa yang dibutuhkan konsumen dan beragam preferensinya. Don’t
yang pertama adalah jangan memprovokasi konsumen, dalam arti jangan
membuat konsumen berpikir bahwa mereka berperilaku konsumtif melalui
kredit konsumen, karena tidak semua konsumen merupakan pembeli bijak.
Pemasar di Indonesia bisa melihat contoh angka consumer bankruptcy
di AS yang tinggi. Perusahaan harus memperhatikan daya beli konsumen
juga, karena nilai mata uang saat ini belum tentu sama di masa depan,
jika konsumen bangkrut maka dampaknya akan buruk pada perekonomian. Jika
konsumen diprovokasi untuk menggunakan kredit konsumen, secara tidak
langsung pemasar mengikis daya beli konsumen di masa depan. Maka
perusahaan juga mempunyai tanggung jawab secara sosial untuk mengedukasi
konsumen untuk menjaga daya belinya. Kita harus belajar dari masyarakat
Barat yang perekonomian negaranya kolaps karena penggunaan kredit
konsumen yang membabi buta sehingga memakan konsumen itu sendiri.
Biasanya kendala-kendala apa saja yang muncul dan bagaimana solusi untuk mengatasinya?
Kendala pertama adalah banyaknya pilihan produk dan merek di hadapan konsumen, maka perusahaan harus membuat selling point
yang tepat dan relevan bagi konsumen kelas menengah. Maka, solusinya
adalah memperhatikan konsumen dengan jeli sehingga perusahaan dapat
menentukan selling point yang tepat bagi konsumen yang ingin disasar. Kendala lainnya adalahberiklan
menjadi tidak terlalu efektif karena semua juga beriklan pada saat yang
bersamaan. Untuk mengatasinya, perusahaan perlu menentukan diferensiasi
yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Ketika yang ditawarkan sama,
maka yang menjadi penentu pertimbangan bagi konsumen adalah faktor
harga, namun jika konsumen percaya ada diferensiasi dan selling point yang berbeda dan relevan, maka konsumen akan bersedia untuk membayar lebih mahal untuk suatu produk atau merek. Selalu meng-update selling point dari produk yang akan dijual adalah kewajiban bagi perusahaan serta divisi marketing-nya.
Bagaimana fenomena dan pertumbuhan produk/brand menengah ke depan? Prediksinya akan seperti apa nanti?
Dengan
asumsi pertumbuhan ekonomi kelas menengah stabil seperti saat ini,
diyakini kelas menengah akan bertambah. Kelas menengah akan sangat
kritis dan sangat menuntut. Perusahaan tidak bisa lagi menggunakan
paradigma lama dalam pemasaran dan mengabaikan hak-hak konsumen.
Bertambahnya jumlah kelas menengah mengharuskan perusahaan untuk
beradaptasi dengan budaya melayani dan memenuhi kualitas yang diminta
konsumen. Fenomena kelas menengah lainnya adalah biasanya kelas ini
mengekspresikan diri keluar dari rumahnya, karena kebutuhan akan
pakaian, aksesoris, kendaraan bermotor, gadget,
perjalanan wisata akan meningkat. Dalam pengamatan saya, di Indonesia
indikator dari bertambahnya kelas menengah adalah lakunya lapangan golf.
Golf merupakan simbol olah raga kelas atas, di Indonesia ada
kecenderungan perilaku kelas menengah yang ingin masuk ke lingkungan
kelas atas, sehingga banyak dari mereka yang mempelajari golf. Terkadang
perilaku konsumen kelas menengah yang berpenghasilan lebih dari cukup
ini tidak rasional, mereka mementingkan penampilan daripada fungsi.
Dalam konteks gadget, animo masyarakat kelas menengah selalu tinggi terhadap sebuah produk baru. Gadget
telah menjadi simbol status sosial kelas menengah di mata masyarakat,
sampai terkadang mereka mengorbankan anggaran kebutuhan yang lain demi
memenuhi kebutuhan ekspresi diri ini.
Benarkah telah terjadi revolusi konsumen? Benarkah revolusi perilaku konsumen menengah mengubah secara mendasar rule of the game pemasaran di Indonesia? Seperti apa perwujudannya?
Dalam
beberapa hal ada kesamaan perilaku konsumen menengah di Indonesia
dengan negara-negara lain. Namun perbedaan yang cukup mendasar dari
karakter konsumen Indonesia, banyak konsumen Indonesia lebih
mementingkan manfaat psikologis daripada fungsional untuk jenis-jenis
barang tertentu. Itu perbedaannya dengan di luar negeri. Di Indonesia,
dalam beberapa kasus pergantian preferensi merek dan produk bukan karena
manfaat fungsionalnya tidak berlaku lagi. Mungkin ini bisa disebut
revolusi konsumen juga, karena ketika pendapatan seseorang Indonesia
meningkat, maka aspirasinya pun meningkat juga, ia bisa tidak betah
terhadap suatu produk walaupun secara fungsional masih berguna baginya.
Seorang tidak betah dengan gadget lamanya karena tampilannya yang ketinggalan jaman, bukan karena sudah tidak berfungsi sesuai fungsi utamanya lagi. Gadget
baru akan mengeksresikan siapa dia di mata masyarakat dan membuatnya
lebih diterima di masyarakat. Saya pikir kondisi ini sesuatu yang sangat
berubah dan baru di Indonesia dibandingkan dengan perilaku generasi
sebelumnya. Perilaku konsumen itu mengalami revolusi jika ia berubah
secara cepat memiliki dampak yang signifikan bagi ekonomi negara.
Harga Bukan Faktor Penentu yang Utama
Dengan daya belinya yang kuat,,
kelas menengah tidak semata-mata bergantung pada faktor harga, tapi
juga mempertimangkan aspek lain, seperti kemasan, pengalaman, dan brand
yang memiliki value yang lebih tinggi. Bagaimana Ricky Afrianto
(Direktur Pemasaran PT Mayora Tbk) menyiasati pasar kelas menengah ini?
Praktisi pemasasaran FMCG ini memaparkannya kepada Denoan Rinaldi
Konsumen mana yang berubah drastis dan konsumen mana yang relatif tidak berubah. Apa penyebab perubahan itu dan apa pula efeknya bagi dunia usaha?
Perubahan yang jelas terjadi di
kelas menengah. Dan perubahan ini jelas mempunyai efek kepada dunia
usaha. Contoh nyata, misalnya bagi perusahaan yang hanya bermain di price point sudah harus melihat tren konsumen yang sudah mempertimbangkan faktor lain di luar harga, misalnya kemasan, experience, dan brand yang mempunyai value lebih tinggi sehingga kreativitas di luar harga akan bermain cukup signifikan di masa sekarang ini.
Yang pasti harga bukan menjadi satu-satunya faktor dalam membeli sebuah brand. Kelas menengah mulai melihat faktor ”consumer experience” sehingga tidak heran jika kita melihat retail bakery channel yang menawarkan pengalaman bagi konsumen mulai berkembang dan frekuensi untuk makan di luar mulai meningkat.
Dari hasil survei, ternyata kelas menengah Indonesia masih berada di tingkat early phase
dalam hal pengeluaran, yaitu Rp 2 juta – Rp 4 juta per bulan. Mereka
masih sangat berhitung dengan harga dan masih banyak dipengaruhi
faktor-faktor mendasar dalam pembelian ketimbang faktor pengalaman.
Bagaimana logikanya? Apa pendapat Anda?
Ini setara dengan pengeluaran US$
8 -20 per hari. Menurut saya untuk ukuran Indonesia hal ini cukup
besar. Karena ada juga konsumen kelas menengah dengan pengeluaran lebih
dari Rp 4 juta per bulan. Sedangkan bagi konsumen dengan pengeluaran Rp
2- Rp 4 juta sebagian besar untuk keperluan keluarga 40%, tabungan 26%
baru sisanya untuk keperluan yang lain. Dengan logika ini jelas bahwa
faktor harga tidak bisa dipungkiri tetap menjadi prioritas utama dalam
pengambilan keputusan. Akan tetapi, yang tidak bisa kita lupakan adalah
konsumsi untuk hiburan yaitu sekitar 7.7%, yang secara prosentasi cukup
besar, di mana faktor pengalaman akan lebih dituntut. Artinya
pertimbangan faktor harga dan pengalaman untuk kasus di Indonesia masih
tergantung dari kategori/subyek-nya. Jadi tidak bisa dipukul rata. Untuk
negara yang lebih maju, faktor harga akan semakin ”less sensitive” hampir untuk semua katetgori.
Banyak dugaan akan terjadi premiumisasi
(barang premium menjadi barang massal) karena dorongan kelas menengah
yang sangat besar. Benarkah? Jika benar, apa pendapat Anda dan contoh
yang Anda lihat?
Saya melihatnya lebih karena
adanya peningkatan permintaan terhadap produk atau merek premium yang
dikarenakan adanya peningkatan pendapatan dan keinginan konsumen untuk
menjadi lebih baik terutama dari kalangan kelas menengah. Dari sini
terjadilah tren dari perusahaan yang mencoba melakukan premiumisasi
dengan dua cara. Pertama, bisa dengan melakukan peningkatan value untuk produk yang sudah exist, tentu diimbangi dengan peningkatan harga. Kedua dengan memberikan value added yang lebih dengan meluncurkan produk atau merek baru yang lebih tinggi harganya dibanding sebelumnya.
Sebagai pemasar saya melihat
bahwa kita harus mulai mempertimbangkan faktor di luar harga, apalagi
untuk produk-produk di luar kebutuhan pokok, karena konsumen akan mulai
menghargai pengalaman yang diberikan oleh brand kita. Ditambah lagi dengan perkembangan tekonologi dan social media saat ini. Mereka mulai melihat value dan image dari merek kita sehingga faktor lain seperti kemasan dan faktor ”convenience” juga menjadi faktor penting bagi konsumen.
8 things to do yang menurut saya penting adalah:
Apa
tanggapan Anda sebagai pemasar mengenai konsumen dan pergeseran pola
konsumsi kelas menengah? Seberapa besar pergeseran pola konsumsi
konsumen kelas menengah berdasarkan pengamatan Anda? Mohon berikan
contoh dari konsumen Anda selama ini.
Pertama, ini
merupakan berita gembira karena konsumsi akan meningkat dan konsumen
kelas menengah mulai peduli dengan kualitas yang lebih baik. Jadi tidak
hanya semata-mata hanya melihat soal harga.
Perubahan yang saya lihat misalnya dengan beralihnya konsumen ke kemasan yang lebih besar. Dan fenomena ini tidak hanya terjadi di kota tetapi juga di second city. Perubahan lain yang bisa kita lihat adalah tren makan di luar menjadi suatu tren baru dan bisnis retail untuk roti juga meningkat. Konsumen mana yang berubah drastis dan konsumen mana yang relatif tidak berubah. Apa penyebab perubahan itu dan apa pula efeknya bagi dunia usaha?
Dan yang pasti
kategori di luar kebutuhan keluarga misalnya telekomunikasi dan hiburan
akan meingkat seiring dengan meningkatnya pendapatan.
Mengenai pertimbangan pembelian dilihat dari sisi Scorecard Index (basic+advance), mohon jelaskan dasar pembelian konsumen kelas menengah selama ini.
Sebagai pemasar, apa yang akan Anda lakukan melihat fenomena ini? Mohon jelaskan.
Kategori di luar
kebutuhan pokok seperti telekomunikasi dan hiburan akan semakin
berkembang seiring dengan meningkatnya pendapatan dari kalangan menengah
ini.
Tugas setiap pemasar dan
pemilik merek adalah mengetahui siapa pasar mereka dan potensi kelas
menengah sehingga pemasar dapat bersiap-siap mengantisipasi perubahan
secara mendasar rule of the game pemasaran di Indonesia di mana perubahan rule of the game itu ujung-ujungnya akan merevolusi strategi yang dijalankan pemasar. Nah, apa yang Anda persiapkan saat ini? Apa do’s and don’t Anda garisbawahi? 8 things to do yang menurut saya penting adalah:
- Understand target market dan insight –nya
- Menganalisis tren yang ada saat ini berkaitan dengan middle class ini dan melihat relevansinya dengan brand dan kategori kita
- Melihat media secara menyeluruh (tidak hanya TV), sesuai dan relevan dengan target market kita terlebih dengan perkembangan teknologi dan social media yang sangat pesat
- Melakukan analisis terhadap produk dan brand kita, antara apa yang kita tawarkan (baik functional benefit dan emotional benefit). Dan mencoba memberikan nilai tambah terutama memberikan pengalaman yang lebih bagi target market kita
- Jangan sekedar melakukan program tanpa ada insight dan strategi yang jelas. Jadi harus membuat Insight-driven campaign
- Inovasi untuk menjaga relevansi produk dan brand kita dengan target market kita terutama untuk kelas menengah
- Melakukan pengukuran secara berkala untuk efektivitas program marketing
- Terakhir, percaya bahwa “any marketing program is a show!” Jadi gimana kita harus memukau konsumen di setiap pertunjukan brand kita.
Menciptakan Emosi Positif bagi Konsumen
Memberikan kepuasan konsumen saja kini tidak cukup lagi. Konsumen harus mendapatkan pengalaman yang mengesankan ketika mengonsumsi suatu produk atau jasa, agar konsumen ini merekomendasikan merek yang dikonsumsinya kepada pihak lain. Caranya, dengan menekan emosi negatif konsumen dan sekaligus meningkatkan emosi positifnya. Bagaimana cara meningkatkan emosi positif konsumen? Istijanto Oei, pengajar dan pakar pemasaran Prasetiya Business Scholl mengungkapkannya kepada Rangga Wiraspati dari SWA:Ada lagi survei SWA tentang NPS (Net Promoter Score) dan NEV (Net Emotion Value). Bagaimana Anda melihat pendekatan ini? Apa catatan dan pemahaman Anda tentang pendekatan itu?
NEV mengukur total emosi atau perasaan konsumen yang timbul selama mengalami (experience) dengan produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan dengan rumus: mengurangkan emosi negatif ke emosi positif yang dirasakan konsumen, sehingga didapat nilai bersih emosi konsumen. Emosi merupakan faktor yang penting karena pada dasarnya konsumen tidak sekedar membeli produk inti (misal orang yang membutuhkan tempat menginap di hotel), namun juga emosi yang diciptakan selama di hotel (misal disambut ramah staf hotel). Secara umum, konsumen mengharapkan mendapatkan emosi yang positif seperti senang, bangga, merasa nyaman, aman, dihargai dan emosi positif lainnya, dan menghindari emosi negatif seperti sedih, kecewa, stres, marah, dan emosi negatif lain selama proses mengonsumsi suatu merek. Bagi pemilik merek tentu saja harus menciptakan dan memperbesar emosi yang positif selama konsumen berhubungan dengan merek, dari proses awal (order), konsumsi, sampai setelahnya (after sales service). Di antara proses ini terdapat banyak kegiatan (moment of truth) yang bisa memunculkan emosi baik positif maupun negatif bagi konsumen. Perusahaan berkepentingan mengelola emosi ini dengan rumus: menciptakan, menambah, melipatgandakan emosi positif konsumen dan/atau menghilangkan, mengurangi, atau menurunkan drastis emosi negatif konsumen.Banyak komponen yang bisa dimainkan merek untuk menciptakan emosi positif. Sebagai contoh untuk industri hotel pemberian “goodbye drink” untuk tamu yang check out (karena selama ini yang ada hanya welcome drink di hotel).PS merupakan pengukuran yang sifatnya lebih tinggi dibanding satisfaction (kepuasan) dan bersifat secara keseluruhan (overall). Ini berarti konsumen yang melakukan promoter sudah melampaui kepuasannya, karena konsumen yang sekedar puas belum tentu melakukan promoter (merekomendasikan atau referral). Hanya konsumen yang kepuasannya sangat tinggi yang akan melakukan rekomendasi.Ditinjau dari ilmu pemasaran, NPS merupakan pengukuran untuk rekomendasi konsumen. Ini dikategorikan sebagai “Customer Citizenship Behavior” yaitu perilaku konsumen yang melebihi peranannya sebagai konsumen (“extra role”) atau konsumen yang mau memberi lebih dari sekedar posisinya sebagai konsumen seperti perilaku memberi masukan ke perusahaan (feedback), merekomendasikan untuk membeli atau memakai ke orang lain, atau yang lain. (Kalau konsumen hanya berperan posisinya sebagai konsumen dinamai “in role”, contohnya konsumen yang memakai produk sesuai buku petunjuk)Jadi NPS digunakan sebagai salah satu tolok ukur extra role behavior yaitu merekomendasikan dan ini merupakan tingkatan yang tinggi bagi perilaku konsumen terhadap suatu merek.Secara ilmu pemasaran, NEV merupakan anteseden (pemicu) ke NPS. Hubungan antara NEV dan NPS dapat dinyatakan sbb: semakin tinggi NEV maka akan menyebabkan NPS yang semakin tinggi juga.Kelemahan metode NPS karena pengukuran bersifat general dengan 1 pertanyaan maka kita tidak tahu di bagian mana yang membuat detractor atau promoter sehingga temuan NPS perlu ditindaklanjuti dengan riset yang lebih detil. Kelebihan metode NPS: cara bertanya yang simpel karena hanya 1 pertanyaa sehingga konsumen tidak keberatan menjawab (tingkat tanggapan responden yang tinggi)Bagaimana cara mencapai NPS dan NEV bagus? Mohon diuraikan.Untuk mencapai skor NEV dan NPS yang tinggi, perusahaan perlu melakukan pemetaan lebih dulu terhadap setiap kegiatan yang berinteraksi dengan pelanggan dari awal order sampai purna jual (moment of truth). Ini bisa dibuat dalam cetak biru yang menggambarkan setiap interaksi konsumen dengan perusahaan. Selanjutnya dari setiap kegiatan interaksi, dinilai mana yang standar, di bawah standar, dan (jika ada) di atas standar sesuai dengan kategori industri. Lalu diciptakan upaya-upaya untuk menciptakan interaksi dengan konsumen di atas standar, Yang paling bagus kalau bisa jauh di atas standar. Ukurannya: jauh di luar harapan konsumen dan jauh di atas standar industrinya.Kalau mau diringkas dengan tip: Ciptakan emosi-emosi yang sangat positif bagi konsumen dan jauh di luar apa yang diharapkan konsumen (beyond customer expectation). Ini bisa menciptakan kejutan positif (positive shock) yang akan memicu konsumen merekomendasikan (sehingga NPS naik).Bagaimana memahami service? Bagaimana analisis Anda soal service yang terkait dengan pengukuran?Service jangan dinilai dari core service (inti servis)-nya namun juga supplementary service (layanan pendukung). Contoh seperti di hotel, orang yang menginap di hotel tidak hanya butuh kamar tidur (core service), namun juga layanan yang ramah dari staf hotel (layanan pendukung). Tips: BuatserviceAnda sebagai suatu pengalaman yang berkesan mendalam bagi konsumen.Untuk pengukuran, setiap interaksi dapat diukur jika ditemukan NPS yang kurang bagus bagi perusahaan. Jadi NEV bisa diukurkan pada setiap interaksi yang terjadi, misalnya untuk kasus hotel, NEV bisa diukur saat tamu datang check in, tiap kegiatan berikutnya sampai check out.Bagaimana mempelajari proses& memahami moment of truth untuk menghasilkan NEV yang bagus? Kegiatan macam apa yang terkait hal itu yang bisa dilakukan perusahaan?Hampir sama dengan jawaban nomor dua, yaitu dibuat pemetaan lebih dulu terhadap setiap kegiatan yang berinteraksi dengan pelanggan dari awal order sampai purna jual (moment of truth). Ini bisa dibuat dalam cetak biru (blue print) yang menggambarkan setiap interaksi konsumen dengan perusahaan. Selanjutnya dari setiap kegiatan interaksi, dinilai mana yang standard, di bawah standar, dan (jika ada) di atas standar sesuai dengan kategori industry. Lalu diciptakan upaya-upaya untuk menciptakan interaksi dengan konsumen di atas standar, Yang paling bagus kalau bisa jauh di atas standar. Ukurannya: jauh di luar harapan konsumen dan jauh di atas standar industrinyaKegiatan bisa dilakukan, baik yang melalui sentuhan “human” maupun “non human”. Human dilakukan oleh staf yang bisa membangkitkan emosi positif, misal staf hotel yang responsif, customized, dan courtesy yang tinggi, atau “non human” seperti pemberian “goodbye drink” pada tamu hotel yang check out.Sebagai catatan, tidak setiap kegiatan ini mengandung biaya bahkan bisa tanpa biaya, asal pemilik merek kreatif dan cerdik dalam meramunya.
Mengukur Loyalitas dan Rekomendasi Sebuah Brand
Pendekatan NPS (net promoter score) merupakan alat yang sederhana untuk mengukur kekuatan sebuah brand, termasuk seberapa besar brand itu direkomendasikan oleh pelanggan ketimbang brand lain. Apa saja yang harus diperhatikan ketika menerapkan NPS? Praktisi barang konsumsi yang cepat bergerak (FMCG – fast moving consumers goods), Ricky Afrianto membeberkannya kepada Denoan Rinaldi dari SWA:
Bagaimana Anda melihat pendekatan NPS? Apa catatan dan pemahaman Anda tentang pendekatan itu?
NPS merupakan salah satu alat ukur loyalitas yang paling sederhana dan mudah dipahami sehingga sangat popular dan banyak yang menggunakannya. Model ini menurut saya, selain sederhana, sangatlah berguna dalam mengukur seberapa kuat brand kita dan seberapa besar brand kita mau direkomendasikan pelanggan dibanding brand lain.
Akan tetapi karena kemudahannya, model ini juga menjadi debat para ahli. Salah satu ”concern” yaitu model NPS ini lebih merupakan ”attitudinal” yang mencerminkan ”present attitude” VS ”future behavioural”. Selain itu, ”single question” dianggap kurang reliable. Akan tetapi, bagaimanapun, model ini sangatlah mudah untuk dimengerti dan cukup bisa memberikan ukuran seberapa kuat loyalitas atau rekomendasi pelanggan brand kita. Dan ini memberikan fokus bagi pemilik brand untuk lebih mengembangkan ”promoter” dan mengurangi atau bahkan membuat nol pelanggan yang ”detractor”.
Yang menarik dalam survei ini adalah digunakan juga model ”NEV” (net emotional value) yang membantu memperkuat hasil survei NPS ini. Dan ada penelitian yang memperlihatkan hubungan positif antara NPS dan NEV. Dan saya pikir SWA dan partner dalam research ini sudah mencoba untuk memberikan hasil yang lebih akurat dalam survei ini dengan menggunakan dua ”measurement” ini. Di mana diketahui bahwa NPS yang positif juga disebabkan karena emotional value yang positif yang ada pada pelanggan. Walaupun bisa saja sebuah brand mendapatkan nilai NPS tertinggi belum tentu mendapatkan nilai NEV tertinggi dan sebaliknya.
Bagi merek-merek, menurut Anda, bagaimana mencapai NPS dan NEV bagus? Mohon jelaskan.
Bagi pemilik merek, untuk mencapai NPS yang baik juga perlu memperhatikan emotionalvalue yang brand ciptakan. Karena rekomendasi/loyalitas tidak hanya dipengaruhi oleh respons rasional tapi juga respons emosional. Jadi pemilik brand wajib terus mencoba memberikan manfaat yang terbaik dari brand mereka baik dari segi “functional” maupun “emotional”.
Dan, seperti kita ketahui bahwa pemilik brand harus tahu siapa yang merupakan “talker” yang membicarakan hal-hal positif tentang brand kita. Kemudian mereka harus tahu siapa “promoter” yang mau merekomendasikan brand kita dan yang paling tinggi kita tahu siapa yang bisa membantu untuk menjual brand kita. Karena pada intinya rekomendasi yang baik harus tercermin di penjualan. Di sini pemilik brand bisa mempertimbangkan misalnya “community” atau “one on communication” (jika memungkinan) sebagai bagian dari CRM mereka. Jika sudah membahas mengenai community, CRM atau social media, yang terpenting brand kita harus membangun “conversation” atau menciptakan “consumer engagement” yang nantinya kita harapkan bisa menjadi talker, promoter dan konsumen yang membantu menjual brand/product/jasa kita.
Dalam survei ini kita bisa melihat bahwa banyak sekali brand mempunyai nilai NPS yang negatif, contohnya credit card, bank, post paid GSM sim card, prepaid GSM sim card dst. Karena di kategori ini ekspektasi konsumen akan value/service sangatlah tinggi. Begitu realita yang diterima konsumen (pelayanan, realibility dst) lebih kecil dari ekspektasinya, maka akan mengurangi NPS secara keseluruhan.
Bagaimana cara memahami service?
Untuk service biasanya kita bisa melihat dari kualitas pelayanan. Kita bisa melihat dari berbagai dimensi kualitas pelayanan antara lain melalui RATER yaitu Reliability, Assurance, Tangibles, Empathy dan Responsiveness. Dengan konsep ini kita bisa menilai performance brand/product/jasa kita seberapa baik dan bisa kita bandingkan dengan kompetitor. Dan dari RATER kita bisa secara spesifik memperhatikan dimenasi mana yang kurang dan harus diperbaiki dan dimensi mana kita lebih unggul dibanding pesaing? Untuk brand-brand dengan nilai NPS negatif dan nilai NEV yang rendah bisa menggunakan RATER untuk mengevaluasi kualitas layanan mereka yang nantinya akan membantu memperbaiki nilai NPS dan NEV brand tersebut.
Bagaimana mempelajari proses & memahami moment of truth untuk menghasilkan NEV yang bagus? Jelaskan kegiatan macam apa yang terkait tentang hal itu yang pernah Anda lakukan!
Untuk memahami moment of truth agar menghasilkan NEV yang baik, pemilik brand perlu untuk memahami bagaimana konsumen berinteraksi dengan brand kita. Tidak hanya pada saat membeli atau pada saat di depan rak. Kita bahkan perlu memahami proses pembelian yang terjadi di konsumen sebelum mereka pergi ke outlet karena moment of truth setiap kategori bisa berbeda.
Misalnya untuk kategori soft drink, moment of truth bisa saja di outdoor. Misalnya, ketika melihat poster sebuah brand soft drink dengan botol yang dingin dikelilinggi oleh es, seorang konsumen yang tadinya tidak terpikir membeli soft drink akan membeli produk tersebut. Sebaliknya, misalnya sebuah hotel di sebuah pulau, moment of truth-nya bisa jadi pada saat konsumen mengecek tiket pesawat untuk liburan mereka dan tiba-tiba melihat iklan sebuah hotel yang sangat menarik di pulau tertentu. Jadi intinya moment of truth bisa berbeda tergantung kategorinya.
Contoh riil yang pernah saya lakukan pada saat di perusahaan sebelumnya adalah kita melakukan promo pengecekan kepadatan tulang. Di sini merupakan moment of truth yang sangat penting karena konsumen yang tadinya tidak berminat membeli produk susu karena setelah kita lakukan pengecekan kepadatan tulang dan memberikan informasi seputar kesehatan tulang, konsumen akan merasakan adanya ”needs” untuk membeli produk kita.
Di sinilah peranan pemilik brand untuk mengetahui pesan-pesan apa yang harus kita sampaikan, sehingga komunikasi yang kita berikan benar-benar tepat yang akhirnya tidak hanya membuat konsumen membeli tapi terus membeli lagi di kemudian hari karena pesan yang kita sampaikan diterima langsung oleh konsumen dengan tepat dan experience, baik rasional dan emosiona , yang kita berikan pada saat itu juga tepat. Di sinilah peranan pemilik brand untuk memberikan total experience ke konsumen secara positive yang nantinya akan mendorong NPS dan NEV brand kita.
Brand Harus Jadi “Manusia” di Media Sosial
Populasi pengguna media sosial sudah makin sesak. Banyaknya pengguna media sosial ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi brands untuk meraih keuntungan lain. Mau tidak mau, brands harus hadir di media sosial untuk lebih dekat mengampiri dan melayani pelanggannya di media sosial.
Namun bagaimana cara menghidupkan merek suatu produk di media sosial? Marlin Silviana, Associate Partner di Hachiko, perusahaan konsultan di bidang customer loyalty solutions, mengatakan bahwa merek harus memosisikan diri sebagai karakter tertentu. “Suatu merek yang dipersepsikan sudah establish di dunia nyata, bisa berubah ketika masuk media sosial dan membuat engagement dengan audience-nya,” ungkap Marlin pada talkshow di acara peluncuran buku yang berjudul “Social Media Nation: 15 Inspirasi Berjejaring Sosial” oleh Prasetiya Mulya Business School di FX Plaza, Jakarta.
Untuk melakukan engagement, lanjut Marlin, pemilik merek harus memahami karakter audience-nya di media sosial. Marlin mencontohkan hal yang dilakukan maskapai penerbangan Belanda, KLM, terhadap audience-nya di media sosial. Marlin bercerita bahwa KLM pernah membuat kejutan terhadap pelanggannya yang melakukan “check in” di Bandara melalui Facebook ketika pelanggan itu hendak bertolak ke New York.
Setelah melakukan “riset” kecil terhadap si pelanggan melalui akun media sosialnya, diketahui bahwa sang pelanggan merupakan penggemar salah satu klub football di New York. Berdasarkan hal ini, tim KLM pun memberi kejutan kepada pelanggan KLM itu. Tiba-tiba sebelum pelanggan itu berangkat, tim KLM membuat kejutan dengan memberi peta kota New York dilengkapi dengan informasi sejumlah kafe yang menayangkan pertandingan klub olahraga kesayangannya itu. “Dengan berupaya memahami audience, maka brand akan dipersepsikan sebagai manusia,” kata Marlin.
Ke depannya, menurut Marlin, pemilik merek tidak cukup hanya fokus pada loyalty pelanggan yang biasanya hanya berbicara repeat purchase dan retention pelanggan. “Tren ke depan di media sosial, yang terpenting bagi pemilik merek adalah advocacy, yaitu membuat pelanggan merekomendasikan mereknya,” ungkap Marlin. (EVA)
Aku Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman dapat diandalkan yang SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya Rp900,000,000 dari SANDRAOVIALOANFIRM sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui SANDRAOVIALOANFIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak SANDRAOVIALOANFIRM. menghubungi mereka melalui email:. (Sandraovialoanfirm@gmail.com)
ReplyDeleteAnda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.