Belajar Kepemimpinan dari KFC dan Pizza Hut
Judul : Taking People with You
Penulis : David Novak
Penerbit : Penguin Group, 2012
Tebal : xii + 237 halaman
Penulis : David Novak
Penerbit : Penguin Group, 2012
Tebal : xii + 237 halaman
Pertanyaan
pertama semua orang saat melihat sebuah buku mengenai kepemimpinan
(lagi): Mengapa saya harus membaca buku ini lagi? Penulis buku ini
langsung menjawabnya di bagian pengantar dengan mengatakan bahwa isi
buku ini telah diujicobakan selama 15 tahun kepada 4.000 orang sebagai
materi program pengembangan kepemimpinan di Yum! (perusahaan pemilik KFC
dan Pizza Hut), penulis buku ini adalah CEO-nya. Dengan demikian, wajar
sajalah buku ini berisi guidebook dan workbook tahap demi tahap dengan langkah konkret
mengembangkan kepemimpinan. Ini juga yang menjadi kekuatan buku ini
karena telah diujicobakan, bukan sekadar teori kepemimpinan lagi.
Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama mengenai memiliki mind set yang benar. Yang kedua, memiliki perencanaan akan strategi, struktur dan budaya. Yang terakhir, follow-through untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Sebelum memasuki bagian pertama, penulis buku ini menceritakan perjalanan kariernya dari seorang copywriter
di agensi kecil dengan latar belakang pendidikan di bidang jurnalistik
di Universitas Missouri sampai menjadi CEO salah satu jaringan fast food
terbesar di dunia. Refleksi tersebut akan berujung pada kesimpulan
bahwa sukses kariernya adalah karena latar belakang pekerjaannya di
bidang pemasaran yang menuntutnya harus membaca pikiran konsumen. Pelajaran ini kemudian diaplikasikan dalam kepemimpinannya ketika dia harus membaca pikiran orang yang dipimpinnya.
Aplikasinya
berupa tiga pertanyaan yang akan memengaruhi pendekatan kita terhadap
arti kepemimpinan. Ketiga pertanyaan tersebut: (1) Hal terbesar apakah
yang akan mengembangkan bisnis kita atau mengubah kehidupan kita; (2)
Siapakah yang harus kita pengaruhi atau bawa; (3) Persepsi, kepercayaan
dan kebiasaan apa dari target pendengar yang harus kita bangun, ubah
atau perkuat untuk mencapai tujuan.
Tugas
pertama seorang pemimpin yang sukses adalah memiliki ide ke mana anak
buah akan dibawa. Penulis buku ini selalu membuka program pengembangan
kepemimpinan Taking People with You dengan satu
pertanyaan mendasar: satu hal terbesar apakah yang ada dalam bayangan
kita yang akan mengembangkan bisnis dan mengubah kehidupan kita?
Walaupun pertanyaannya tampak mudah, menjawabnya tidak mudah. Jawaban inilah yang akan menjadi big goal yang akan kita capai. Big goal
tersebut harus benar-benar besar, bukan sekadar lebih dari sebelumnya.
Dari pengalamannya, biasanya kekurangan para pemimpin adalah tidak
memiliki tujuan yang besar. Hal ini dapat dimengerti karena tidak ada
manusia yang ingin gagal, sehingga semua orang pasti sangat berhati-hati
dalam menetapkan tujuan. Agar memiliki big goal, kita harus memiliki powerful mind set, bukan limiting mind set.
Menjadi
diri sendiri adalah cara terbaik menunjukkan integritas yang harus
dimiliki seorang pemimpin. Kewajiban seorang pemimpin tidak berhenti
hanya dengan menjadi diri sendiri, tetapi juga membantu pengikutnya
menjadi diri mereka sendiri. Selain itu, seorang pemimpin juga harus
menjadi seorang pelajar dalam artian memprioritaskan pengetahuan dan ide
di atas ego.
Mendapatkan mind set
yang benar untuk mencapai tujuan yang besar adalah satu hal dan
mengeksekusinya adalah hal lain. Dalam hal eksekusi (yang menjadi bagian
kedua buku ini), penulisnya meminjam kerangka Senn Delaney yang terdiri
dari tiga bagian: strategi (identifikasi arah yang dituju dan apa yang
harus dikerjakan); struktur (memberikan sumber daya dan proses yang
benar yang memadai sehingga rencana dapat dieksekusi); budaya
(menciptakan lingkungan yang memperkuat strategi dan struktur).
Cara
terbaik memulai penentuan arah yang akan dicapai adalah dengan memahami
realitas dan posisi hari ini, serta berbagi pemahaman tersebut dengan
semua yang kita pimpin. Argumennya, orang-orang akan menghargai fakta
bahwa kita memercayai mereka dan jujur terhadap kenyataan yang dihadapi.
Setelah itu, imajinasikan masa depan yang akan dicapai dengan visi yang
besar akan masa depan. Tip dalam hal ini: orang-orang akan lebih mau
membantu kita meraih visi ini apabila kita melibatkan mereka dengan
menerima masukan dan ide mereka sehingga mereka itu bagian dari visi
mereka. Singkat kata, tidak ada masukan artinya tidak ada komitmen.
Orang-orang yang kita pimpin harus dilibatkan dalam proses penentuan apa
yang dilakukan dan bagaimana melakukannya. Orang-orang tidak suka
diberi tahu apa yang harus dilakukan.
Kunci
kedua dalam hal eksekusi adalah memiliki sumber daya yang tepat.
Apabila sumber daya yang memadai tidak berada di tempat, orang-orang
tidak akan percaya kalau kita benar-benar akan melakukannya dan tentu
saja kita tidak akan berhasil mengeksekusinya.
Terakhir,
harus membangun sebuah budaya bahwa semua orang menang. Agar
benar-benar memotivasi orang, kita harus menciptakan lingkungan kerja
yang positif tempat semua orang tahu bahwa mereka memberikan kontribusi dan merasa dihargai.
Bagian ketiga buku ini adalah mengenai follow- through.
Riset internal mereka terhadap kapabilitas 300 pemimpin mereka
menunjukkan bahwa kelemahan pemimpin yang terbesar adalah dalam hal follow-through. Hampir semua manusia pasti menyukai sesuatu yang baru, kemudian kehilangan semangat dalam eksekusinya. Best practice-nya adalah Steve Reinemund yang selalu membawa catatan kecil ke mana pun untuk mencatat semua hal, kemudian menelepon sebagai follow-through beberapa hari kemudian. Bukan hanya itu, Jamie Dimon,
CEO JPMorgan Chase, juga selalu membawa kertas kecil yang berisikan apa
yang harus dia selesaikan hari itu dan apa yang harus orang lain
selesaikan untuk dia di hari itu. Best practice lainnya, Andy Pearson yang selalu menanyakan so what dan now what di akhir setiap presentasi.
Seorang pemimpin harus mengukur kemajuan yang telah dicapai dalam mencapai big goal
tersebut, dan harus memastikan bahwa semuanya bergerak sesuai dengan
rencana. Tidak hanya berhenti di sini, seorang pemimpin juga harus
merekognisi kemajuan yang telah dicapai dan kinerja luar biasa yang
diberikan oleh pengikutnya, sehingga ini semua akan memotivasi
orang-orang lebih bergerak lagi.
Tentu saja kenyataannya, pasti ada halangan dalam mencapai big goal
tersebut. Tip singkat yang diberikan, pastikan kita telah mendengar
dari semua orang akan pemikiran mereka terhadap semua isu karena mereka
mungkin melihat sesuatu yang tidak kita lihat.
Buku ini ditutup dengan sebuah cerita yang sangat menarik untuk memperkuat esensi taking people with you. Dalam kariernya, tujuan Magic Johnson adalah melakukan passing assist sehingga membantu pemain lainnya agar sukses. Alhasil, Kareem Abdul Jabaar menjadi scorer terbaik, James Worthy berhasil masuk menjadi tim All-Star, dan Bryon Scott mencatat rekor tiga poin terbanyak. Itulah definisi taking people with you yaitu memilih tim sendiri dan sebagai hasilnya, semuanya menjadi lebih baik, termasuk bagi sang pemimpin.
Sebagaimana
yang direkomendasikan, sebaiknya buku ini tidak dibaca langsung habis
tetapi dibaca per bab, direfleksikan dan diaplikasikan sebelum
melanjutkan ke bab berikutnya. Dengan cara ini, manfaat buku ini akan
maksimal. Sekali lagi, kekuatan buku sesungguhnya bukan dalam hal isi,
tetapi dalam organisasinya sebagai workbook yang efisien.
EDISON LESTARI
Dunia Tanpa Kepemimpinan
Judul Buku : Every Nation for Itself: Winners and Losers in a G-Zero World
Pengarang: Ian Bremmer
Penerbit : Penguin Group
Cetakan : Pertama, Mei 2012
Tebal : viii + 229 halaman
Pengarang: Ian Bremmer
Penerbit : Penguin Group
Cetakan : Pertama, Mei 2012
Tebal : viii + 229 halaman
G-Zero (government 0) merujuk pada suatu
fenomena saat ini: tidak ada satu negara atau satu aliansi negarapun
yang mau dan mampu memegang tongkat kepemimpinan secara global. Ini
karena negara-negara yang di masa lalu pernah menjadi pemimpin dunia,
saat ini sedang menghadapi berbagai masalah internal yang besar,
kompleks dan pelik. Amerika Serikat yang pernah amat digdaya, kini
lumpuhsecara politik ataupun ekonomi. Besarnya defisit anggaran belanja
mengurangi kemampuannya bermain dipercaturan politik dan ekonomi global.
Kawasan Eropajuga sedang menghadapi persoalan keuangan akut, yang bisa
mengarah pada bubarnya aliansinegara Eropa.
Cina yang digadang-gadang memiliki potensi besar
menjadi negara adidaya berikutnya, juga sedang menghadapi persoalan
pelemahan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya berbagai masalah
domestik. Sementara negara yang baru muncul (new emerging force)
seperti Brasil, Turki ataupun India belum bisa diharapkan memegang
kepemimpinan dunia, karena prestasi ekonomi yang dicapainya selama ini
belum memiliki fondasi yang cukup kuat untuk dapat tumbuh secara
berkelanjutan. Adapun aliansinegara seperti G-8 dan G-20, yang
diharapkan dapat berperan memimpin dunia secara kolektif,
tidakmenunjukkan kinerja kepemimpinan yang diharapkan. Sehingga, untuk
pertama kalidalam 7dekade terakhir, tidak ada satu kekuatan atau aliansi
kekuatan yang muncul untuk memimpin dunia dan membantu menyolusi
permasalahan yang bersifat global.Masing-masing negara hanya berpikir
dan bertindak untuk kepentingan sendiri.
Ironis, memang. Persoalan dunia kian besar, kompleks
dan melintasi batas negara, tetapi kemampuan atau kekuatan negara maju
ataupun aliansi negara maju semacam G-8 atau G-20 malah kian memudar.
Padahaldi lain pihak, masalah global yang terkait perekonomian global,
perubahan iklim, cyberattack, terorisme dan keamanan pangan
serta air bersih tidak bisa diatasi oleh satu negara saja. Harus ada
kerjasama yang baik untuk menyolusi bersama. Dunia membutuhkan
kepemimpinan yang mau dan mampu menanggung biaya atau beban yang harus
ditanggung dan memiliki kekuatan yang memadai untuk memaksakan suatu
kompromi tertentu yang bertujuan menyolusi masalah yang dihadapi. Untuk
memimpin perlupengorbanan, tetapi dalam kondisi seperti saat ini tidak
ada satu negarapun yang bersedia berkorban. Contohnya Cina. Walaupun
memiliki kemampuan untuk itu, Cina menolak berkorban untuk menjadi
pemimpin internasional saat ini.
Dulu, AS, dengan segala kedigdayaannya mampu turut
serta secara aktif memimpin menyelesaikan berbagai persoalan dunia.
Kini, berbagai persoalan domestik yang melilitnya menjadikan AS kurang
peduli terhadap persoalan global yang tidak secara langsung dapat
mengganggu mereka. Bahkan, walaupun awalnya globalisasi adalah inisiatif
AS, sekarang dipandang sebagai sesuatu yang cukup mengganggu mereka.
Globalisasi memudahkan banyak barang murah masuk ke pasar domestiknya
dan menghilangkan banyak lapangan pekerjaan.
Pernah terbersit harapan, dengan berakhirnya era
perang dingin, diperkirakan AS akan mampu memimpin dan mendominasi
politik ekonomi global. Nyatanya tidaklah demikian. Yang terjadi
bukannya harmonisasi dalam tatanan internasional, melainkan dunia tanpa
kepemimpinan yang bisa mengarah pada terjadinya kekacauan di tingkat
global.
Sekarang kita memasuki suatu periode transisi dari
dunia yang telah dikenal dengan baik ke dunia yang belum terpetakan.
Pergeseran atau perubahan di masa transisi ini pasti menimbulkan konflik
antarnegara. Dalam kondisi tidak ada suatu pihakpun yang berani
mengambil inisiatif, tindakan masing-masing negara hanyalah menunggu
aksi yang dilakukan pihak lain.Selain itu, dalam kondisi masing-masing
negara hanya mementingkan kepentingannya sendiri, sikap untuk melakukan
isolasi atau proteksi dalam perekonomian suatu negara semakin meningkat
dan itu akan memperburuk kohesivitas antarnegara tingkat global.
Tanpa adanya kepemimpinan global yang kuat, tidak ada
yang mampu dan bisa menghukum jika suatu negara melakukan pelanggaran
yang menyebabkan gangguanharmonisasi tatanan internasional. Dalam dunia
G-Zero, kekuatan ekonomi, bukannya kekuatan militer, yang akan
menentukan keseimbangan kekuatan internasional. Negara seperti Brasil,
Indonesia, Turki dan negara lain yang memiliki pasar relatif besar
berpotensi ikut memengaruhi arah pergerakan perekonomian global.
Momentum ini merupakan peluang bagi negara-negara tersebut untuk
membangun kekuatan ekonomi baru berskala global. Senjata dalam
percaturan dunia saat ini adalah akses pasar yang besar, aturan
investasi yang jelas dan nilai tukar yang layak.
Dunia tanpa kepemimpinan mendorong munculnya tuntutan
untuk menata ulang tatanan ekonomi dunia baru yang tidak semata-mata
didominasi kepentingan negara maju seperti di masa lampau. Dalam
hubungan internasional, negara yang mampu beradaptasi dengan perubahan
lingkungan internasional (adapter)akan mampu bertahan dan akhirnya bisa mendominasi percaturan ekonomi politik dunia.
Indonesia dapat berperan banyak dalam kondisi
demikian. Di samping memiliki pasar yang besar, Indonesia juga memiliki
hubungan baik dengan hampir semua negara di dunia. Indonesia dapat
berperan sebagai pusat hubungan (pivot) yang mampu menjalin
hubungan baik dengan banyak negara, baiksecara ekonomi maupun politik.
Karena tak punya banyak musuh, Indonesia dapat dengan leluasa menjalin
hubungan dengan banyak negara mana pun, baik di tingkat regional maupun
internasional. Indonesia dapat menjalin hubungan yang seimbang dengan
Cina, AS, Jepang dan negara maju lain tanpa menimbulkan kecurigaan.
Dalam kondisi saat ini, seringkali atas nama
keuntungan (profit),suatu negara bisa bertindak seenaknya karena mereka
tahu tidak ada satupun negara yang mampu menjatuhkan sanksi terhadap
mereka. Artinya, pihak yang melakukan kecurangan (cheater) akan
menang karena tidak ada satu negarapun yang mampu menegakkan aturan
yang disepakati bersama.Dengan tidak adanya kepemimpinan global, tidak
ada tindakan kolektif yang bisa diharapkan untuk menyolusi masalah
global secara bersama. Ini tantangan global di masa depandan kita harus
siap menghadapi segala konsekuensinya.
Eko Widodo, staf pengajar Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Komunikasi,Unika Atma Jaya, Jakarta
Menjadi Bos yang Efektif
Judul : Being the Boss, The 3 Imperatives for Becoming A Great Leader
Penulis : Linda A Hill dan Kent Lineback
Penerbit : Harvard Business Press, 2011
Tebal : 306 halaman
Menjadi bos yang efektif bukanlah hal mudah karena ada jurang yang lebar antara pekerjaan manajemen dan pekerjaan sebagai individual performer. Awalnya, kita mengira pekerjaan sebagai manajer hanya perpanjangan dari pekerjaan individual contributor sebelumnya. Namun, perjalanan waktu membuktikan sebaliknya, tugas sebagai seorang manajer sangat berbeda dari tugas seorang contributor individual. Manajer harus berpikir secara berbeda dari level sebelumnya.
Menjadi manajer yang efektif membutuhkan pengetahuan dan keahlian
baru, serta perubahan personal. Mereka harus mengembangkan nilai baru,
kesadaran diri lebih mendalam, kematangan emosi yang lebih dalam, serta
kemampuan memakai wise judgement. Menjadi manajer
yang efektif berarti berada dalam jaringan tingkat harapan yang berbeda
antara anak buah, supervisor, sesama manajer dan konsumen. Dengan demikian, bukan mustahil menjadi manajer merupakan perjalanan yang menyakitkan dan sulit.
Banyak yang tidak pernah menyelesaikan perjalanan tersebut, atau
menyelesaikannya tetapi hanya melaluinya dengan menjadi bos yang
mengerikan.
Buku ini berdasarkan pada riset selama 30 tahun mengenai apa yang dilakukan oleh manajer yang efektif dan bagaimana mereka belajar melakukannya. Kesimpulannya: manajemen semakin sulit dan semakin sulit.
Tugas seorang bos dapat dibagi menjadi tiga kategori: mengelola diri sendiri (manage yourself), mengelola jaringan (manage a network) dan mengelola tim (manage a team). Dalam
hal mengelola diri sendiri, memiliki hubungan yang benar dengan
orang-orang merupakan dasar perjalanan sebagai manajer. Walau demikian,
patut dicatat bahwa memiliki hubungan yang benar tidak akan menjamin
sukses, tetapi tidak memilikinya pasti akan menyebabkan kegagalan.
Manajemen dimulai dengan siapa diri kita dan bagaimana orang-orang mem-perceive kita. Kesalahan
paling mendasar dalam manajemen adalah menganggap kekuasaan (otoritas)
sebagai alat untuk memerintah orang lain mengerjakan apa yang kita mau.
Kesalahan lainnya, mendasarkan hubungan kerja atas persahabatan atau
pertemanan. Hubungan yang benar adalah berdasarkan kompetensi dan karakter.
Bila Anda mengira tugas manajer hanya mengelola sendiri dan tim, Anda salah besar. Manajer yang efektif juga harus mengelola jaringan. Banyak manajer yang berusaha menghindari politik
dalam organisasi, tetapi buku ini menyarankan bahwa manajer yang
efektif harus mengerti konteks di mana timnya bekerja. Dengan perkataan
lain, seorang manajer harus mengerti dinamika politik dan realitas
dalam sebuah organisasi. Konflik tidak selamanya disfungsional. Dengan
demikian, manajer harus mampu menjalin jaringan pengaruhnya (web of influence). Cara yang paling efektif adalah secara proaktif membangun hubungan dengan orang yang kita butuhkan dan membutuhkan kita, tetapi kita tidak memiliki kekuasaan formal.
Satu
hal utama dalam membangun jaringan adalah jangan lupa dengan bos kita.
Hubungan dengan bos adalah hubungan yang sangat krusial karena bos
adalah salah satu anggota terpenting dalam jaringan kita. Bos dapat
menjadi sumber pengaruh bagi kita.
Karena organisasi saat ini semakin kompleks dan cair dengan adanya tim sementara, multiple boss pada saat bersamaan dengan organisasi matriks, ataupun problem solving secara kolektif, organisasi saat ini semakin politis sehingga insight dan keahlian yang dibahas dalam buku ini menjadi kian krusial untuk kesuksesan dan kemajuan karier manajer.
Yang terakhir, tentu saja, membangun tim. Membangun tim adalah hal yang sangat kompleks karena tim berbeda dari grup. Buku ini mendefinisikan tim sebagai sebuah grup dengan orang-orang yang melakukan pekerjaan secara kolektif (collective work) dan secara bersama memiliki komitmen (mutual commitment) terhadap tujuan dan tantangan tim. Collective work dan mutual commitment ini yang menjadi kata kunci dari sebuah tim yang harus dikelola oleh seorang manajer dengan efektif.
Untuk membentuk dan mengelola
sebuah tim secara efektif, seorang manajer harus mendefinisikan masa
depan dengan jelas. Tanyakan apakah tim Anda memiliki tujuan bersama dan goal yang menantang untuk tujuan tersebut? Selanjutnya,
anggota tim juga harus memiliki kejelasan mengenai apa yang dilakukan,
bagaimana melakukan pekerjaannya, serta bagaimana orang-orang bekerja
dalam organisasi tersebut. Tujuan dan budaya tim (nilai, asumsi, kepercayaan, dan praktik bersama) ini yang akan mengubah sebuah grup menjadi sebuah tim.
Jangan
lupakan, anggota tim juga manusia. Walaupun fokus kita membentuk tim,
kita tidak dapat mengingkari faktor manusia dalam tim kita. Perhatikan
konteks hiring, mengelola kinerja dan mengembangkan talenta dalam konteks tim.
Bab
terakhir mengenai manajemen kinerja sehari-hari. Di sinilah seorang
manajer yang efektif mengeksekusi manajemen tersebut. Manajer yang
efektif akan memanfaatkan setiap momentum, baik masalah maupun
kesempatan, untuk membuat kemajuan guna mencapai tujuan bersama.
Meskipun penulis buku ini seorang faculty chair di Leadership Initiative di Harvard Business School, buku ini tidak bersifat akademis, sebaliknya ditulis dalam bahasa yang sangat praktis dan mudah
dimengerti. Perspektif yang ditawarkan juga dapat bersifat praktis
karena penulis lainnya, Kent Lineback, adalah eksekutif senior dengan
pengalaman manajerial yang sangat luas dari manajemen
proyek sampai level eksekutif. Perpaduan itu memungkinkan buku ini
bernada praktis sehingga pembaca dapat mengambil tindakan langsung yang
spesifik tetapi tetap tidak kehilangan perspektif terhadap prinsip agar
menjadi seorang manajer yang efektif.
Buku ini bukan hanya cocok bagi yang baru menjadi bos tetapi juga yang sudah lama menjadi bos.
“Apa yang saya mengerti adalah banyak bos yang tidak melakukan transformasi psikologis dari kontributor
individual menjadi manajer. Banyak yang tidak memenuhi potensinya.
Mereka mau, tetapi kenyataannya menyimpang ataupun berhenti di tempat.”
Itulah alasan penulis menulis buku ini. Bila Anda tidak mau menyimpang
ataupun berhenti di tempat dalam perjalanan Anda sebagai seorang
manajer, buku ini akan menjadi buku pegangan wajib.
EDISON LESTARI
Menyambut Panggilan dalam Mengambil Keputusan
Judul : Judgment Calls: Twelve Stories of Big Decisions and the Teams that Got Them Right
Penulis : Thomas H. Davenport dan Brook Manville
Penerbit : Harvard Business Review Press
(3 April 2012)
Tebal : 288 halaman
ISBN : 978-1422158111
Harga : US$ 30
Bagi para praktisi dan pemerhati manajemen pengetahuan, Thomas
Davenport bukanlah nama asing. Davenport telah lama dikenal sebagai
salah satu pemikir manajemen pengetahuan yang berpengaruh di dunia.
Kecintaannya pada ranah keilmuan manajemen pengetahuan terbukti dengan
produktivitasnya menghasilkan berbagai karya di bidang ini. Kali ini,
profesor tamu di Harvard Business School ini berkolaborasi dengan Brook
Manville, mantan Direktur Manajemen Pengetahuan McKinsey, merangkum
kisah 12 organisasi yang berhasil mengelola data dan pengetahuan yang
mereka miliki menjadi alat penilaian dan pengambilan keputusan yang
efektif.
Ide ditulisnya buku ini bermula ketika kedua penulis
itu mengamati bahwa krisis berkepanjangan yang melanda dunia saat ini
(terutama di Amerika Serikat dan Eropa) bukan disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan para pelakunya. Sebut saja, krisis finansial di AS. Industri
finansial AS yang terpusat di Wall Street penuh disesaki profesional
lulusan universitas Ivy League, siapa yang meragukan kompetensi dan
pengetahuan para profesional itu? Namun, tetap saja kecemerlangan otak
para pelaku industri finansial tersebut tidak dapat mencegah krisis yang
terus terjadi hingga kini. Davenport dan Manville menduga, masalah
utamanya bukan pada kurangnya pengetahuan ataupun kompetensi, melainkan
lebih pada kurangnya kemampuan membuat judgment (penilaian).
Fokus kedua penulis buku ini bukan terletak pada
proses penilaian oleh individu, melainkan lebih pada proses penilaian
organisasi (organizational judgment). Penilaian organisasi
adalah kapasitas kolektif organisasi dalam memberikan penilaian yang
bijak pada sebuah masalah. Kedua penulis meyakini bahwa penilaian
organisasi memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari kekuasaan seorang
pemimpin, karena penilaian organisasi memiliki kekuatan yang menyeluruh
dan tidak tergantung pada figur satu individu saja. Penilaian organisasi
tidak hanya melibatkan informasi, tetapi juga seluruh atmosfer
organisasi, seperti kepercayaan, emosi, bias, dan perangkat nilai.
Sebagai contoh di level individu, segala keputusan yang kita ambil tentu
tidak hanya berdasarkan analisis matematis, tetapi juga melibatkan
perasaan, suka/tidak suka, dan nilai yang kita yakini, itulah judgment.
Kelemahan organisasi dalam melakukan penilaian
kolektif, dan hanya mengandalkan penilaian individu dari sang pemimpin,
sangat tampak pada kegagalan proses akuisisi Yahoo! oleh Microsoft pada
2008. Pada tahun tersebut, Microsoft, yang telah mengamati sepak terjang
Yahoo! sejak lama, berniat mengambil alih kepemilikan Yahoo! untuk
menambah asetnya di bisnis Internet. Saatnya dinilai tepat karena
performa Yahoo! saat itu tengah menurun, nilai sahamnya 44% di bawah
harga tertinggi yang pernah dicapai, dan Yahoo! baru saja memecat 10%
karyawannya. Pada 1 Februari 2008, Microsoft datang dengan tawaran US$
31 per lembar saham (senilai US$ 44,6 miliar), sebuah tawaran yang
sangat menggiurkan karena tawaran ini 62% lebih tinggi dari nilai Yahoo!
saat itu. Jerry Yang, pendiri sekaligus CEO Yahoo!, menolak tawaran
tersebut dan bahkan ketika Microsoft datang kembali dengan tawaran US$
33 per lembar saham (70% di atas nilai Yahoo!). Jerry Yang secara
pribadi memiliki penilaian bahwa nilai sesungguhnya Yahoo! saat itu
paling tidak dapat mencapai US$ 4 lebih tinggi dari tawaran terakhir
Microsoft.
Pada 3 Mei 2008, Microsoft menarik total tawarannya
terhadap Yahoo! Akibatnya, saham Yahoo! limbung dan Yahoo! hingga kini
tidak dapat lagi mencapai kejayaannya seperti dulu. Akibat lebih jauh,
Jerry Yang diberhentikan sebagai CEO Yahoo! dan digantikan oleh Carol
Bartz. Kesalahan penilaian organisasi Yahoo! ternyata terus berlanjut
karena Bartz tidak dapat mendongkrak performa perusahaan dan diganti
setelah hanya sempat dua tahun ada di puncak kepemimpinan Yahoo!
Penggantinya adalah mantan CEO Paypal, Scott Thompson yang ditunjuk
sebagai CEO Yahoo! pada Januari 2012. Kontroversi masih terus berlanjut
karena pada Mei 2012 Thompson diduga memalsukan ijazah sarjana
komputernya, dan langsung diminta mundur oleh para pemegang saham karena
dinilai tidak kredibel lagi sebagai pemimpin perusahaan. Dari berbagai
peristiwa yang melanda Yahoo! ini, tampak ada kelemahan penilaian
organisasi yang terjadi secara struktural sehingga organisasi selalu
salah dalam mengambil keputusan.
Sebaliknya, sebuah kisah kesuksesan proses penilaian
organisasi datang dari konsultan manajemen global ternama,
McKinsey&Co. Sejak 1980-an, McKinsey menghadapi sebuah dilema,
bagaimana mencari bakat konsultan yang berkualitas di tengah pesatnya
pertumbuhan bisnis konsultansi mereka. Bagi organisasi yang sangat
menjaga reputasinya sekelas McKinsey, persoalannya adalah kualitas,
bukan pada kuantitas. Secara tradisional, McKinsey berburu bakat terbaik
dari para pemegang MBA Harvard Business School dan universitas
sekelasnya. Namun, ketika persaingan rekrutmen dengan sesama konsultan
manajemen lainnya semakin ketat, bakat yang berkualitas semakin sulit
tersedia. Maka, haruskah McKinsey meninggalkan pola tradisional mereka
dalam merekrut calon konsultan? Misalnya dengan merekrut profesional
berpengalaman di bidang tertentu, atau bahkan mererut para Ph.D. Setelah
melakukan diskusi dan studi internal yang menyeluruh, McKinsey akhirnya
mengubah kebijakannya dengan tidak lagi melihat pada gelar, tetapi
lebih pada mencari kandidat konsultan dengan kemampuan analisis yang
dalam, daya intelektualitas di atas rata-rata, serta kemampuan berpikir
kreatif.
Sejak saat itu, mulailah McKinsey
melakukan kombinasi rekrutmen antara lulusan MBA dari berbagai sekolah
bisnis ternama dengan para profesional dan Ph.D di bidang hukum, fisika,
kebijakan publik, bahkan dokter. Ini adalah sebuah penilaian
organisasi, karena dilakukan berdasarkan kebutuhan organisasi dan
didukung secara penuh oleh segenap anggota organisasi di McKinsey.
Hasilnya, para konsultan yang direkrut dari jalur nontradisional pun
dapat memiliki performa yang superior, performa khas McKinsey.
Satu hal yang dapat kita cermati dari buku ini bahwa
manajemen pengetahuan bukan sekadar proses pengolahan data menjadi
informasi, kemudian transformasi informasi menjadi pengetahuan, dan
proses berbagi pengetahuan semata. Para pakar manajemen pengetahuan ini
menunjukkan bahwa hal yang lebih mendasar dari pengelolaan pengetahuan
adalah bagaimana menjadikan pengetahuan sebagai dasar penilaian dan
pengambilan keputusan yang tertanam (embedded) secara otomatis di dalam organisasi. Dengan demikian, segenap anggota organisasi akan memiliki panggilan (calling) alami dalam menjadikan pengetahuan sebagai aset organisasi yang paling berharga.
YUDO ANGGORO
Banggalah pada Diri Sendiri
Judul : Self-Promotion for Introverts
Penulis : Nancy Ancowitz
Penerbit : The McGraw-Hill Companies, Inc. 2010
Tebal : xvii + 269 Halaman
“I’ve seen you silent at meetings. I’ve seen you eating lunch alone.
And I’ve even seen your louder, less talented colleagues promoted over
you. Yet I know you have something to say. What stops you from saying
what you want to say, especially when it’s about you? Perhaps you don’t want to brag or draw too much attention to yourself.”
Paragraf itu terdapat di halaman pertama buku Self-Promotion for Introverts. Kalau dicermati, ada beberapa poin yang menjelaskan karakter seorang introvert. Pendiam, penyendiri, bersuara keras, tidak suka (atau malu) menonjolkan diri. Akhirnya, kariernya kalah dibandingkan dengan rekan-rekannya yang punya karakter sebaliknya. “Itulah karakter orang introvert,” kata Nancy Ancowitz, penulisnya.
Ancowitz
tampaknya tak mau dengan sengaja larut dalam penjelasan tentang gejala
karakter introvert. Ancowitz menulis buku ini juga bukan untuk
menunjukkan kelemahan karakter introvert. Dia ingin menunjukkan bahwa bila Anda memiliki karakter seperti itu, bukan berarti karier Anda kiamat. Tak ada yang lebih
baik apakah introvert atau ekstrovert. Sebab, meski memiliki kelemahan,
karakter ini juga memiliki kelebihan. Buktinya, tokoh-tokoh sukses
seperti Bill Gates, Warren Buffett, Charles Schwab, Steven Spielberg dan
CEO Sara Lee Corporation Brenda Barnes adalah orang-orang yang memiliki karakter introvert.
Menurut
Ancowitz, orang penyendiri bukan karena tidak ingin bergaul atau tidak
memiliki jiwa sosial. Dia lalu menunjukkan bukti. Dalam sebuah wawancara
dengan Oprah Winfrey, komedian Jerry Seinfeld mengakui bahwa dia
memiliki pribadi introvert. Namun, dia menambahkan hal penting tentang
karakternya. ”Saya mencintai orang-orang, tetapi saya tidak bisa
berbicara dengan mereka. Di atas panggung, baru saya bisa.”
Ada hal-hal yang tidak
bisa dijelaskan oleh Ancowitz, mengapa Seinfeld bisa berbicara saat di
atas panggung. Padahal, ”Introvert mendapatkan lebih banyak stimulasi
mereka secara internal, sedangkan ekstrovert mencari sumber-sumber di
luar,” kata Debra L. Johnson, Ph.D., seorang psikolog fisiologis dan peneliti utama di Universitas Iowa yang melakukan studi terhadap aktivitas otak berkaitan dengan kecenderungan introvert dan ekstrovert. Logikanya, karena ditonton banyak orang (faktor eksternal), Seinfeld jadi berani berbicara.
Namun,
Ancowits memang bukan psikolog. Dia seorang pelatih komunikasi bisnis,
khususnya dalam pengembangan karier dan keahlian dalam presentasi.
Karena itu, ketika membahas karakter introvert, Ancowitz merujuk para
pakar, terutama psikologi. Dalam hal perbedaan biologi, misalnya, seperi
di paragraf sebelumnya, Ancowitz mengutip pendapat Johnson.
Menurut Johnson, introversi berkaitan dengan aktivitas di daerah otak yang bertanggung jawab untuk belajar, memori, perencanaan dan produksi bahasa. Sementara itu, ekstroversi berkaitan dengan pemrosesan sensorik. Ekstrovert mungkin didorong
untuk mencari rangsangan sensorik dari orang atau situasi lain karena
mereka tidak dapat menyediakan tingkat stimulasi internal secara
optimal. Hipotesis ini mendukung gagasan bahwa introvert cenderung lebih
berfokus pada internal dan ekstrovert cenderung lebih dikendalikan
lingkungan eksternal.
Melalui
buku ini, Ancowitz berbagi pengalaman dan membantu orang sebanyak
mungkin — terutama introvert — untuk mempromosikan diri mereka lebih
mendalam. Dalam menyusun buku ini, Ancowitz melakukan serangkaian
wawancara dengan banyak orang ternama termasuk Cathie Black (Majalah Hearst), Warren Buffett, Bill Clinton (mantan
Presiden AS), guru pemasaran Seth Godin, Earvin “Magic” Johnson, Katharine Myers (Myers-Briggs Trust), Craig Newmark (pendiri Craigslist), Leonard
Nimoy dan Chita Rivera. Dari serangkaian wawancara tersebut, Ancowitz
bekesimpulan bahwa mereka berhasil karena keberanian mereka untuk tetap
memiliki visibilitas yang tinggi. Melalui buku ini, Ancowitz berharap Anda bisa belajar tentang visibilitas dari kebijaksanaan kolektif mereka.
Jadi, apakah lebih baik menjadi introvert atau ekstrovert? “Keduanya memiliki kekuatan dan jebakan,” kata Daniel Jelatang, Ph. D. dalam artikel berjudul “The Science Behind Personality” yang dia tulis untuk The Independent, Inggris. “Scoring kepribadian tidak akan memberitahu Anda apa pun yang Anda
tidak tahu. Ini didasarkan pada bagaimana Anda melihat diri sendiri,
sehingga secara logis tidak bisa. Namun, hal itu dapat mengungkapkan
kepada Anda bagaimana Anda dibandingkan dengan orang lain, dan (itu)
juga dapat menekan Anda menjadi akumulasi kekayaan pengetahuan psikologis tentang kekuatan dan beban orang lain yang memiliki pengalaman serupa dengan Anda.” Teknik scoring inilah yang banyak ditampilkan Ancowitz dalam buku ini sehingga memudahkan pembaca mengevaluasi diri.
Mengenali kelebihan Anda, menurut Ancowitz, merupakan suatu usaha yang penting karena pada dasarnya tidak ada satu resep yang berhasil untuk satu orang dipastikan bisa dipakai untuk orang lain dengan hasil yang sama. Banyak faktor yang berpengaruh di dalamnya. Karena itu, orang yang berhasil memperoleh visibilitas — dari Whoopi Goldberg hingga Donald Trump — melakukannya dengan berbagai cara. Apa yang bekerja dengan baik bagi mereka tidak dapat bekerja untuk Anda, terutama jika Anda seorang introvert.
Sebagai orang yang introvert juga, melalui buku ini, Ancowitz mengajak para intovert lainnya untuk membangun skill yang dibutuhkan untuk meningkatkan visibilitas mereka. Tak ada penjelasan apa yang dimasud dengan visibility. Menurut Irving Rein, Philip Kotler, Michael Hamlin dan Martin Stoller dalam buku High Visibility (McGraw-Hill, 2006), visibility berarti membedakan seseorang dengan orang lainnya dan seperti apa visibility tersebut tergantung pada sektor, audiens potensial dan tujuan pribadi.
Visibilitas tinggi merupakan mekanisme yang menjelaskan bagaimana seseorang menciptakan dan mempertahankan dirinya menjadi dikenali publik. Dalam pasar yang semakin kompetitif, visibilitas merupakan faktor tunggal yang menjelaskan perbedaan antara seseorang yang memiliki kompetensi tertentu dan seseorang lainnya. Memahami bagaimana proses visibilitas menjadi tinggi juga dapat menjelaskan mengapa beberapa selebritas, misalnya, mendapat sorotan dan kemudian pudar seketika sementara yang lain muncul kembali dalam bentuk baru.
Melalui buku ini, Ancowitz hanya menuntun Anda menemukan jalan yang cocok untuk apa yang Anda miliki. Intinya, jika Anda memiliki sesuatu yang berbeda
dari orang lain, Ancowitz merekomendasikan Anda untuk segera
meningkatkan visibilitas Anda. Sebab, begitu Anda memiliki keunikan,
mengapa Anda tidak mempromosikan diri Anda?
Ambil contoh Hillary Clinton. Anak perempuan dari keluarga kelas menengah dari Park Ridge, Illinois, ini berhasil menciptakan profile image yang bertentangan yang sempurna. Dia cerdas, penuh kasih, sosok ibu yang memahami, berarti, hingga politisi. Masalahnya, dalam proses tranformasinya itu, dia memiliki terlalu banyak Pygmalions -- seorang pemuda yang membenci perempuan.
Penasihatnya
berusaha keras untuk melunakkan citranya sesuai dengan keinginan dari
jajak pendapat terbaru. Karena itulah, diciptakan kegiatan untuk
memperlunak citranya, yaitu kegiatan yang terkait dengan aktivitas sosial. Misalnya, pada suatu hari dia adalah First Lady yang memanggang
kue di pagi hari, minum teh dengan Pramuka putri pada sore harinya, dan
kemudian menghabiskan malam dengan Martha Stewart di acara Natal.
Sebaliknya,
pada hari berikutnya dia menunjukkan kepiawaiannya dalam berbicara soal
kekerasan rumah tangga, memberikan ceramah untuk wartawan seputar isu
keadilan dalam liputan jurnalistik, dan memberi saran kepada Presiden
tentang konflik Bosnia.
Penampilannya, tidak seperti Eliza, juga berubah setiap hari sesuai
dengan perannya, sebagai perias wajah, rambut dan pakaian untuk anak
perempuannya, dan sebagainya.
Lalu bagaimana cara orang introvert meningkatkan visibilitas, Ancowitz memberi tip:
- Seimbangkan waktu yang Anda habiskan untuk melakukan sesuatu dengan waktu yang Anda gunakan untuk berpikir atau berbicara tentang apa yang Anda lakukan.
- Kumpulkan semua yang Anda lakukan dengan baik dengan menulis prestasi Anda, termasuk file ucapan selamat melalui surat elektronik (surel), testimonial, dan evaluasi kinerja cemerlang yang Anda terima.
- Berlatihlah untuk mengartikulasikan prestasi Anda, dan sampaikan hal itu kepada rekan senior, mentor, atau pelatih yang Anda percayai untuk mendapatkan umpan balik.
- Dapatkan agenda rapat untuk membangun platform bagi ide Anda.
- Setelah rapat, tindaklanjuti dengan menulis surel untuk mengonfirmasi poin-poin yang Anda sampaikan dalam rapat.
-
Tetap berkomunikasi dengan rekan kerja, manajer, dan klien sepanjang
karier Anda. Biarkan mereka tahu kedatangan dan kepergian Anda.
- Jika Anda adalah seorang introvert yang suka bergaul, berbicaralah pada pertemuan, konferensi, dan acara sosial lainnya untuk meningkatkan kredibilitas dan visibilitas Anda.
Bagi introvert, mencapai visibilitas merupakan tantangan terbesar. Kaum introvert sering
membenamkan
diri ke dalam tugas-tugasnya, terperosok ke kedalaman dunianya, dan
lalai untuk muncul guna mendapatkan semangat untuk menemukan dunia baru.
Apa yang perlu dilakukan si introvert? Legenda Broadway Chita Rivera menawarkan nasihat untuk Anda: “Jadilah orang yang bangga pada diri sendiri.”
*) Peresensi adalah Redaktur Eksekutif Majalah Mix-Marcom dan Dosen STIKOM-LSPR Jakarta.
Dari Pemimpin Perang Kuno untuk Pemimpin Bisnis Modern
Judul : Power Ambition Glory
Penulis : Steve Forbes dan John Prevas
Penerbit : Crown Business, 2009
Tebal : xii + 308 halaman
Pada saat menulis resensi buku Hannibal Crosses the Alpskarya John Prevas (2001) untuk Majalah Forbes,
Steve Forbes mengambil kesimpulan bahwa semua pemimpin yang mencapai
sesuatu yang besar, baik dalam bisnis maupun politik, biasanya
melakukannya dengan menentang pemikiran konvensional saat itu. Elemen
yang dibutuhkan pemimpin yang sukses juga tidak pernah berubah dari
waktu ke waktu. Sejarah Yunani kuno juga telah mengajari kita bahwa
kepemimpinan merupakan hal yang paling penting bagi kemakmuran rakyat.
Dengan
pemikiran demikian, Steve Forbes, bakal calon presiden Amerika Serikat
dari Partai Republik untuk Pemilu 1996 dan 2000 yang juga merupakan CEO
dan Editor-in-ChiefMajalah Forbesyang sangat
berpengaruh, bekerja sama dengan John Prevas untuk menulis buku ini.
Prevas sendiri telah melakukan napak tilas di pegunungan Prancis, Iran,
Afganistan, Uzbekistan dan Pakistan untuk meneliti kehidupan tokoh-tokoh
yang dibahas di buku ini.
Tesis
dasar buku ini adalah terdapat persamaan yang sangat mengagumkan antara
pemimpin masa lalu dengan masa kini. Forbes dan Prevas kemudian memilih
enam tokoh dari Mediterania kuno untuk didiskusikan dalam buku ini:
Cyrus, Xenophon, Alexander yang Agung, Hannibal, Julius Caesar dan
Augustus. Semua tokoh ini memiliki karakter dan gaya kepemimpinan
sendiri-sendiri. Dengan demikian, pelajaran yang dapat dipetik dari
mereka menjadi sangat bervariasi dan saling melengkapi.
Bagi
Cyrus yang mendirikan Kerajaan Persia (di mana Iran berada sekarang),
kepemimpinannya bukan sekadar menaklukkan, tetapi membangun dengan visi.
Walaupun daerahnya kelihatan seperti padang gurun belaka, Cyrus mampu
melihat posisi strategis Persia dengan visi sebagai penghubung antara
Cina dan Barat.
Persamaan Cyrus dalam konteks bisnis modern adalah Ray Kroc yang mengembangkan McDonald’s. Dulu, mengembangkan restoran drive-in
merupakan hal yang tidak masuk akal, tetapi Kroc melihat posisi
strategisnya seiring dengan pertumbuhan industri otomotif di AS.
Selain
itu, Babilonia yang ditaklukkan Cyrus dapat diibaratkan dengan
mentalitas perusahaan yang berpikiran bahwa pangsa pasarnya tidak
mungkin direbut sampai terlambat untuk menyadarinya. Goodyear, yang dulu
kala merupakan pemimpin pasar, menjadi contoh perusahaan dengan
mentalitas Babilonia.
Tantangan
yang dihadapi Xenophon lain lagi. Ditekan dari luar dengan musuh yang
jumlahnya mencapai 100 kali lipat, Xenophon masih harus menghadapi anak
buahnya yang menuntut agar suaranya didengarkan . Dia sukses melewati itu semua dengan membangun tujuan bersama (common purpose)
dan konsensus. Dengan keahlian berkomunikasi dan memotivasi anak
buahnya, Xenophon berhasil membalikkan kondisi putus asa menjadi
kesuksesan. Kepemimpinannya membuktikan bahwa tim yang memiliki motivasi
dan dipimpin dengan baik akan mampu mengatasi musuh yang jumlahnya
ratusan kali lebih kuat.
Tokoh
berikutnya sudah tidak asing bagi kita: Alexander yang Agung. Tokoh
legendaris ini sukses luar biasa di kancah perang, tetapi nasibnya harus
berakhir karena ketidakmampuannya dalam menentukan batasan ambisinya.
Pelajaran terpenting dari tokoh ini adalah bagaimana ambisinya menjadi “Lord of Asia”
dengan memasuki Afghanistan, Uzbekistan dan India justru membunuh
dirinya karena kehabisan sumber daya. Di sisi lain, pada saat ditanya
mengapa Kroc begitu lambat mengembangkan bisnisnya, dia menjawab tidak
akan melakukan ekspansi kalau belum bisa memastikan semua toilet di
gerai McDonald’s bersih sempurna.
Tokoh
yang dibahas berikutnya adalah Hannibal. Dia memiliki kemenangan yang
sama fenomenalnya dengan Alexander yang Agung. Bedanya, Hannibal mampu
mengontrol ambisinya. Baginya, kepemimpinan adalah mengenai mengalahkan
musuh dan bergerak lebih dekat ke tujuan. Kepemimpinan bukan untuk
memuaskan ego pribadi dan memuaskan kepentingan sendiri. Dari sisi
taktik, Hannibal juga menempuh cara yang tidak biasa bahkan bisa
dibilang “gila” di saat itu: menyeberangi pegunungan di musim salju
sehingga memberikan serangan yang tidak terduga oleh musuhnya. Sam
Walton dengan Walmart-nya merupakan contoh aplikasi Hannibal dalam
konteks bisnis modern. Dulu penguasa industri ritel di AS adalah Kmart
dengan jumlah toko yang mencapai 50 kali lipat. Sam Walton mengalahkan
Kmart dengan memakai teknologi informasi dan memasuki daerah pinggiran.
Taktik ini merupakan sesuatu yang tidak biasa di saat itu.
Julius
Caesar juga memiliki legenda yang tidak kalah dari tokoh-tokoh
sebelumnya. Faktanya, Julius Caesar menaklukkan daerah yang lebih luas
dan bertempur lebih banyak daripada Alexander. Berbeda dari Alexander,
Julius menyempatkan diri mundur sejenak untuk mengonsolidasikan daerah
kekuasaannya dan mereformasi Pemerintah Roma. Selain itu, Julius pun
lebih mampu memaafkan musuhnya yang mau mengaku. Julius percaya bahwa
dia memiliki takdir yang sakti untuk menjadi raja dunia. Sama seperti
Alexander, Julius juga berakhir karena egonya dan kelemahannya yang
memungkinkannya dibunuh oleh lingkaran dalamnya. Hank Greenberg yang
pernah menjadi legenda di AIG dan Sandy Weill dari Citibank merupakan
contoh manifestasi modern mengenai pemimpin bisnis besar yang jatuh
karena egonya.
Tokoh
yang terakhir adalah Augustus yang dapat dikatakan merupakan contoh
pemimpin ideal. Augustus membangun kerajaan dengan infrastruktur politik
dan finansial. Timnya pun dibentuk dengan orang-orang yang kompeten.
Dia sendiri juga menyadari kekuatan dan kelemahannya serta sejauh mana
dapat mengembangkan kerajaannya. Buku ini menyatakan Augustus adalah
contoh pemimpin ideal yang kepemimpinan dan kesuksesannya berasal dari
keseimbangan antara power, ambition dan glory.
Alfred Sloan yang mendirikan General Motors merupakan contoh pemimpin
ideal yang mengaplikasikan prinsip kepemimpinan Augustus dalam konteks
bisnis modern.
Buku
ini ditutup dengan tiga kesimpulan utama. Pertama, karakter merupakan
fondasi utama tempat seorang pemimpin yang baik dibentuk. Berikutnya,
kemauan untuk mempertimbangkan pendapat dan perspektif orang lain
menunjukkan keyakinan diri dan kekuatan seorang pemimpin. Terakhir,
sukses sebuah bisnis tidak ditentukan semata oleh keahlian dan kharisma
seorang pemimpin.
Power Ambition Glory
merupakan buku yang harus dibaca dengan pelan dan cermat, terutama bagi
yang tidak terbiasa dengan sejarah Mediterania kuno. Beruntungnya, buku
ini memberikan pengantar dan peta sebelum membahas seorang tokoh secara
rinci. Walaupun agak berat, pelajaran yang diberikan oleh tokoh sejarah
sangat mendalam, baik untuk kehidupan, bisnis, karier maupun politik.
Dengan
melihat pengalaman para tokoh di atas, penulis buku ini berharap kita,
pembacanya, akan mampu mendapatkan perspektif yang baru mengenai arah
yang kita tuju, bagaimana mencapainya dan gambaran tentang hasilnya.
Kisah-kisah di atas akan membuat kita menjadi lebih efektif dalam
membangun organisasi dan memenuhi tanggung jawab kita sebagai seorang
pemimpin.
Sama
seperti yang dikatakan mantan Gubernur New York Rudy Guilani di bagian
Pengantar, buku ini adalah sebuah referensi mengenai bangun dan jatuhnya
kerajaan, sekaligus perspektif baru mengenai pemimpin bisnis modern dan
bagaimana mereka berada dalam kerangka sejarah.
*) Peresensi bekerja di Development Planning sebuah perusahaan minyak asing, Jakarta.
Belajar Kepemimpinan dari Disney Institute
Judul : Creating Magic
Penulis : Lee Cockerell
Penerbit: Vermilion, 2 Juli 2009
Tebal : 288 halaman
It’s not the magic that makes it work,
it’s the way we work that makes it magic.
Walt
Disney. Kita semua sudah mengenal nama ini sejak kecil. Mungkin kita
semua mengasosiasikan Walt Disney dengan dunia imajinasi ataupun dunia
hiburan semata. Sesungguhnya, di balik glamornya dunia impian Disney,
tersimpan pelajaran kepemimpinan dan manajemen yang sangat besar. Hal
ini dapat dimengerti mengingat besarnya skala operasional DisneyLand.
Pada 1986, Disney mendirikan
Disney Institute yang berfungsi sebagai “laboratorium hidup†untuk
mengajarkan prinsip manajemen. Kali ini, Lee Cockerell, Wapres Eksekutif
Operasional
Walt Disney World Resort selama 10 tahun dan membawahkan 40 ribu
anggota pemeran, berbagi pelajaran kepemimpinan sebagaimana yang
diajarkan di Disney Institute.
Setiap
manusia, dalam tingkatan apa pun, ingin diperhatikan, dihormati dan
dilibatkan. Ketika setiap orang diperhatikan dan tahu bahwa dia
diperhatikan, dia akan bahagia untuk bekerja dan memberikan dedikasi
terbaik. Kemampuan berhubungan dengan manusia bukan merupakan anugerah,
melainkan sesuatu yang dapat dipelajari. Di Disney, konsep ini diformulasi menjadi Respect, Appreciate and Value Everyone (RAVE). Seorang pemimpin harus mengenal timnya dan membiarkan tim mengenal dirinya.
Prinsip pertama ini dapat dirangkum sebagai “perlakukan para anggota
pemeran (sebutan Disney untuk karyawannya) seperti apa yang diinginkan
mereka lakukan terhadap para tamuâ€. Para anggota pemeran memiliki
harapan yang sama dengan para tamu: mereka ingin diperlakukan dan
dihormati sebagai individu, secara spesial dan berpengetahuan luas.
Strategi kedua, mengenai struktur organisasi. Struktur yang tidak jelas menyebabkan inkonsistensi. Studi kasus yang dibawa adalah pada saat
satu kaleng Coca-Cola memiliki dua harga yang berbeda dalam kompleks
DisneyLand, para koki memesan 25 tipe kentang dan 130 tipe pasta karena
tidak adanya komunikasi. Lee kemudian membenarkan masalah ini dengan
menyewa konsultan
luar untuk merombak struktur dan merumuskan siapa yang mengambil
tanggung jawab terakhir setiap keputusan. Dalam setiap perubahan, pasti
terdapat pertentangan dari anggotanya. Lee memakai ilustrasi yang bagus:
selama 125 tahun, Tabasco selalu dibuat dalam warna merah. Bagaimana
kalau perusahaannya meluncurkan Tabasco baru berwarna hijau? Awalnya Lee
sendiri ogah
mencobanya sampai dipaksa istrinya dan dia merasakan enaknya Tabasco
hijau. Terinspirasi dari cerita ini, Lee kemudian meluncurkan Green Tabasco Award bagi para pemimpin yang berani mencoba cara baru melakukan sesuatu.
Jadikan orang Anda merek Anda! Kekuatan dari sebuah merek sangat ditentukan oleh kekuatan orang di belakangnya. Pada saat
kita akan merekrut seseorang, kita harus selalu mengevaluasinya dari
kompetensi teknis, manajerial, teknologi dan kepemimpinan. Proses
seleksi harus melibatkan seluruh tim. Setiap kandidat harus diperiksa
secara pribadi dan melalui wawancara terstruktur.
Selanjutnya,
orang-orang tersebut harus mendapatkan pelatihan yang tepat. Yang
dibutuhkan oleh para pekerja adalah sebuah tujuan, lebih dari sekadar
pekerjaan. Sebagai seorang pemimpin, dia harus menjadi COACH. Dalam
versi Lee, COACH artinya Care, Observe, Act, Communicate, and Help.
Bagaimana
kalau seorang tamu Anda tiba-tiba memasuki ruangan Anda sambil
marah-marah karena pelayanan yang buruk? Hal pertama yang orang biasa
akan lakukan adalah mencari tahu “siapaâ€. Lee melakukannya dengan
cara yang lain: mencari tahu “apaâ€. Pada saat
terjadi masalah, mencari tahu siapa yang salah tidak ada gunanya kalau
masalahnya ada di prosedur atau kebijakan yang cacat. Untuk menyolusi
masalah proses, kita harus senantiasa mengidentifikasi konflik
pekerja-karyawan yang terjadi dan mengubah proses bisnis, sehingga
masalah yang sama tidak akan terjadi lagi. Lee menyarankan perusahaan
melakukan proses audit silang di mana para manajer dapat keluar satu
hari untuk mengaudit proses departemen koleganya. Selain menemukan
kelemahan proses di area lain, praktik ini juga memungkinkan manajer itu
melihat best practice di tempat lain dan mengaplikasikannya di departemennya sendiri.
Walt Disney, sang legenda pendiri DisneyLand,
selalu menghabiskan sebagian waktunya berjalan-jalan di DisneyLand.
Suatu hari, dia melihat pemeran koboi melintas di TomorrowLand yang
futuristik. Pengalaman langsung inilah yang mendorongnya membuat terowongan
empat meter di bawah tanah, sehingga perjalanan para anggota pemeran
(dan petugas pembersih, misalnya) tidak akan kelihatan oleh pengunjung.
Manajemen dengan mengelilingi lokasi secara langsung inilah yang dikenal
di manajemen modern sebagai Management by Wandering Around (MBWA) atau yang dalam manajemen Kaizen Jepang disebut genchi genbutsu. Untuk mendapatkan kebenaran, dalam setiap rapat dengan anak buahnya, Lee selalu meminta laporan mengenai People, Process, Project and Profit (4P).
Bahan bakar bisnis pada dasarnya dapat diperoleh secara gratis. Bahan bakar itu adalah Appreciation, Recognition and Encouragement
(ARE). Siapkan dalam agenda harian kita agar kita dapat menyalurkan ARE
ini untuk anak buah kita. Lewatkan juga waktu bermanfaat bersama para
karyawan dan hadiri acara para pekerja untuk membangun kebersamaan dengan mereka.
Seorang pemimpin harus mengembangkan dirinya
terus-menerus. Warren Buffett sang legenda investor terkaya di dunia,
selalu menghabiskan waktu luangnya dengan membaca surat kabar. Selain
membaca surat kabar, kita juga harus selalu belajar mengenai dasar-dasar
bisnis, belajar dari yang terbaik, dan belajar dari pesaing kita. Kita
juga harus memastikan kalau pekerja kita senantiasa belajar dan
berkembang terus. US Army senantiasa mengundang pemimpin dari industri
lainnya untuk berbagi praktik kepemimpinan terbaik yang dapat
diaplikasikan dalam organisasi mereka.
Seorang pemimpin juga harus menunjukkan kegairahan dan komitmen. Berbagilah semangat dan energi positif kepada para
pekerja kita. Buatlah kesan yang baik melalui perilaku dan penampilan
Anda. Membaca bab ini mengingatkan saya (peresensi) akan nasihat dari
seorang mentor saya: pada saat
kita telah menjadi pemimpin, semua orang akan memperhatikan wajah kita.
Bila wajah kita murung, semua orang pasti akan mempertanyakan apa yang
terjadi dengan organisasi ini. Dengan demikian, seorang pemimpin harus
senantiasa menjadi role model profesional. Seorang pemimpin berada di atas panggung pertunjukan sepanjang waktu.
Strategi
yang terakhir adalah mengenai karakter. Kualitas seorang pemimpin harus
senantiasa mengatakan kebenaran. Berbelit dan manipulasi akan
menciptakan iklim ketidakpercayaan. Jangan pernah membuat sesuatu yang
ilegal dan jangan pernah meminta anak buah Anda melakukan hal serupa.
Pengaruh kita sebagai pemimpin terletak pada kekuatan karakter kita.
Hal yang paling mengesankan dari buku ini adalah membuka mata kita akan pentingnya work/life balance. Sekalipun telah menjadi seorang wapres eksekutif, Lee pulang kerja pukul 05.15 sore untuk mengunjungi gym. Dia juga hobi memasak untuk keluarganya dan menghadiri semua acara anak-anaknya. Keseimbangan kerja/hidup merupakan kunci menjadi manusia yang menyeluruh, bahagia dan sukses.
Lee sendiri pun bukanlah seorang yang meraih kesuksesannya dengan gampang. Dia memulai kariernya sebagai waiter banquet di Hilton.
Dia kemudian meraih posisi manajer di Marriott dan meraih bintangnya
sebagai eksekutif di Disney Resort. Perjalanan kariernya ini pula yang
mendewasakan dan mengubah dia dari seorang yang keras menjadi seorang
pemimpin yang disegani saat ini. Buku ini juga menceritakan sisi
kesalahan dan kelemahannya sebagai pemimpin, serta pelajaran yang bisa
dipetik di balik semua itu. Buku ini seolah-olah membuktikan bahwa
kepemimpinan dapat dipelajari dan dikembangkan. Kepemimpinan bukanlah
posisi semata, melainkan juga tanggung jawab.
Buku
ini membuka mata, bagaimana seorang eksekutif puncak melakukan sesuatu
yang menyentuh bagi anak buahnya. Lee mengirimkan sekitar 700 surat
penghargaan setiap bulannya. Hal ini menunjukkan bahwa Lee seorang yang people-person. Sebuah teladan buat perjalanan karier kita.
Buku ini ditulis dengan cerita yang ringan. Konsep dalam buku ini adalah concepts based on common sense but are not common practice. Itulah kelebihan buku ini.
Konsultan sebuah perusahaan konsultan asing
wah kepemimpinan yang hebat akan menghasilkan pengikut yang hebat
ReplyDelete