Pemasar Harus Terus Bergerak Jika Membidik Kelas Menengah
Perilaku konsumen kelas menengah sangat mobile dan mudah berubah, mereka bisa dengan cepat berganti-ganti merek. Karena itu, menurut Prof. Basu Swastha Dharmmesta, Guru Besar Pemasaran Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyalarta, para pemasar tidak boleh tidur. Harus terus bergerak mengikuti mobilitas konsumen. Harus ada penyempurnaan di produknya, berinovasi yang baru, kemudian mengubah strategi harganya, distribusinya, promosinya dikombinasikan sedemikian rupa, pesan-pesannya juga tidak monoton. Berikut wawancara Prof. Basu Swasta Dharmmesta dengan Gustyanita Pratiwi
Bagaimana Anda melihat fenomena dan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia? Seberapa berkembang dan indikatornya?
Sebelumnya
saya luruskan dulu ya, yang disebut kelas menengah itu adalah kelompok
orang, jadi bukan produknya. Kalau di pertanyaannya kan ditanyakan
produk menengah. Nah produk-produk itu sebenarnya apa yang diminati oleh
kelas menengah, itu yang betul. Jadi, kelas menengah ini adalah orang
atau kelompok yang mempunyai ciri-ciri tertentu, misalnya usia,
pekerjaan, dll. Sekarang terkait dengan produk yang dibeli, sekarang
ciri kelas menengah itu sendiri apa? Irit, suka bergaul menggunakan
media sosial, apakah itu lewat HP atau lewat komputer, dan barang
elektronik yang dipakai adalah elektronik yang canggih. Saya lihat,
kalau di Indonesia, itu kan sebetulnya belum ada riset yang akurat ya
selama ini. Nah, risetnya Pak Yuswohadi, itu saya belum melihat secara
keseluruhan, itu hasilnya seperti apa. Apakah kelas menengah di
Indonesia itu memberikan potensi yang cukup besar dalam permasalahan
ini. Nah, saya katakan secara global iya. Tidak hanya Indonesia. Di
manapun, pemimpin-pemimpin yang muncul itu juga kebanyakan dari kelas
menengah. Lalu tokoh-tokoh itu juga dari kelas menengah. Kemudian
industri yang berkembang, itu juga dipimpin oleh orang-orang dari kelas
menengah sehingga mereka ini menjadi pelopor ke depan untuk kemajuan
bangsa.
Pada
umumnya, di berbagai negara, kelas menengah memang jumlahnya besar. Itu
seiring dengan suksesnya, kalau di Indonesia, KB, suksesnya
pemeliharaan kesehatan, sarana kesehatan semakin baik, sehingga tingkat
kematian juga menurun. Kemudian tingkat kelahiran, meskipun menurun,
tapi sekarang ini kan banyak manula, nah itu menandakan bahwa tingkat
kesehatan semakin baik. Kelas menengah yang ada itu kan usia antara
20-54 tahun. Itu sebenarnya usia-usia yang produktif, yang memberikan
potensi yang besar dalam pemasaran. Lalu perilakunya seperti apa, itu
dilihat dari produk-produk yang mereka beli, seperti yang sudah saya
sebutkan tadi.
Seberapa besar potensi mereka sebagai target pasar?
Dari
tahun ke tahun, itu kan mengalami perubahan ya. Perubahan itu bisa dari
sisi eksternal. Di pihak konsumen, misalnya ada inflasi. Nah, inflasi
di Indonesia itu kan sangat terkendali. Jauh di bawah 10% itu sudah
bagus. Andaikan tidak ada inflasi, itu juga tidak bagus. Harus ada,
supaya ekonomi itu bisa berkembang. Kemudian, faktor kemampuan dari
setiap orang itu apakah meningkat atau tidak, untuk bisa meningkatkan
penghasilan mereka. Kalau yang dilihat inflasi, pasti pengeluaran akan
bertambah setiap tahun. Kemudian, seberapa besar, kemampuan mereka untuk
meningkatkan diri? Saya tidak punya data. Kalau data penghasilan saja
itu sebetulnya belum cukup kuat. Artinya ada data psikologis, seperti
gaya hidup, sikap, kepribadian, persepsi terhadap merek, kepercayaan
pada merek, dll. Tapi saya perkirakan, meskipun tanpa data, potensi
kelas menengah di manapun itu sangat besar.
Untuk
menyasar mereka, bagaimana cara-cara yang dilakukan pemasar &
pemilik merek menggarap kelas menengah? Sudah tepat atau apa yang harus
ditingkatkan?
Harus dilihat dulu gaya hidup mereka. Gaya hidup itu mencakup tiga aspek. Pertama, activity (aktivitas). Yang kedua interest (minat). Yang ketiga opinion (opini). Jadi, ini komponen utama dalam memahami gaya hidup. Aktivitas orang-orang itu seperti apa? Mereka sangat mobile.
Bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dan waktu cukup banyak
dikeluarkan dalam pergerakan ini. Mereka itu juga tidak mau ketinggalan.
Dalam pergerakan itu, mereka berupaya tetap mendapatkan informasi yang up to date,
serta tetap dapat mengerjakan aktivitas yang seharusnya dikerjakan
untuk mencapai tujuan. Jadi dalam mobilitas itu juga ada
pekerjaan-pekerjaan. Jangan sampai ada multitasking.
Kalau
dalam mobilitas itu, pemasar mau kirim pesan? Pesan apa yang tepat? Ya
tentu saja yang dinikmati selama dalam perjalanan itu. Misalnya orang
suka buka BBM, buka media sosial, sampai kita lihat, naik sepeda motor
pun, pencet-pencet HP, itu kan sebenarnya melanggar aturan. Ini
menandakan bahwa mereka itu tidak mau ketinggalan. Lalu, pesan yang
sifatnya dengan komunikasi pasif itu bisa juga menjadi dukungan, yaitu
yang disampaikan di jalan-jalan, misalnya baliho, spanduk. Orang kan
tidak bisa aktif melihat itu, tapi sambil lalu. Ini mengingatkan tentang
merek tertentu, supaya tertanam di benak mereka. Sebetulnya, kalau kita
buka internet juga, iklan kan juga muncul terus sampai kadang-kadang
risih. Kita sedang bekerja, muncul terus iklan itu. Nah, itu upaya untuk
bisa mengekspos merek yang ditawarkan selalu terlihat di mata konsumen.
Kalau selalu melihat, maka akan mudah diingat. Sehingga, ketika
membutuhkan, maka dia ingat merek yang ada di rangking pertama atau top of mind.
Makanya, bisa disebutkan satu merek yang paling diingat saat ini.
Berarti merek itu akan sangat sering muncul di hadapan orang itu.
Saya
melihat secara umum, tidak saya sebutkan industrinya, para pemasar ini
dengan memanfaatkan media sosial, internet, didukung dengan
kegiatan-kegiatan yang lain, seperti ada pameran, filateling, periklanan
yang di luar ruang, itu saya kira sudah betul. Memang perlu
ditingkatkan dan perlu selalu diubah dalam setiap periode tertentu.
Karena setiap orang ingin tampil beda, ingin nampak menyolok, sehingga
mendapatkan perhatian lebih dari calon konsumennya. Jadi, permainan
desain, struktur/format pesan, misi pesan, sumber pesan (ini yang
penting), semua disesuaikan dengan keinginan calon konsumennya.
Upaya-upata Integrated Marketing Communication (IMC) apa yang tepat dalam menyasar kelas menengah?
Namanya saja integrated
ya, jadi memang menjadi satu paradigma bahwa menyampaikan pesan,
namanya komunikasi kan berarti menyampaikan pesan, itu tidak bisa
dilakukan hanya menggunakan satu alat atau satu aktivitas. Karena
konsumen itu berhadapan dengan banyak macam lingkungan dan berubah-ubah.
Tempatnya juga berubah, jadi sangat mobile.
Maka kegiatan komunikasi pemasaran itu harus secara terpadu. Ketika
berhenti, dia melakukan apa? Misalnya tadi, pencet-pencet HP. Berarti
komunikasi bisa dilakukan lewat HP. Lalu ketika berhenti di luar, di
sana hujan, itu ngapain mereka? Sedang menunggu kendaraan umum, apa yang terekspos di hadapan mereka? Itu billboard, advertising.
Nah,
kemudian, bagi yang sangat aktif, waktu senggangnya kan tidak begitu
banyak. Nah ini kan ciri kelas menengah juga. Waktu senggangya tidak
terlalu banyak. Maka pesan-pesan yang disampaikan itu harus cepat dalam
waktu yang singkat tapi mengena. Kalau pasarnya bersifat massal, tentu
saja advertising dan media sosial tadi, facebook, twitter, dll, dikombinasikan dengan consumer selling, sales promotion, direct marketing, event,
dll. Kalau tidak terekspos oleh satu media media, misalnya, tidak
sempat baca surat kabar, tapi dia sempat buka internet. Di situ ada
pesan dari pemasar. Saya mengamati memang golongan ini sangat sibuk.
Bisa juga koran itu numpuk, beberapa hari tidak sempat terbaca. Tapi sempat buka internet. Nah, itu kan berarti harus dikombinasi. Consumer selling mengiring assestment,
memang perlu waktu. Tapi ini termasuk komunikasi yang paling efektif,
karena dua arah. Meskipun sifatnya bukan utama, tapi perlu juga untuk
mendukung yang utama tadi. Makanya ini harus dilihat mobilitas dari
kelas menengah ini. Kalau yang kalangan atas itu sudah tidak terlalu mobile.
Itu bisa menikmati di rumah, atau mungkin di kantor, dalam kondisi yang
berhenti, dengan waktu yang lebih panjang, baca koran, nikmat. Kelas
menengah kan tidak begitu.
Apa yang sebaiknya dilakukan dan tak boleh dilakukan (do and don’t) dalam menggarap kelas menengah ini?
Yang jelas itu harus perlu data. Setiap keputusan harus ada data. Dan data
itu diperoleh melalui survei atau riset. Sekilas, berawal dari laporan
Bank Dunia, kelas menengah dunia semakin besar dan semakin besar.
Termasuk juga di Indonesia. Nah, apa yang harus dilakukan oleh pemasar?
Ke depan, mereka ini bukan orang dengan perilaku yang stabil. Dan mereka
itu bergerak mencari jenjang-jenjang yang semakin baik, semakin baik,
semakin baik. Indikator yang mudah, misalnya gaji. Kalau sekarang
berpenghasilan Rp 4 juta, maka orang seperti ini ingin penghasilan tidak
cukup hanya sampai Rp 4 juta. Tapi harus naik. Ini kan ada upaya-upaya
dari kelas menengah itu untuk menjadi lebih makmur. Ini tentu menjadi
potensi bagi pemasar. Yang dilakukan oleh pemasar, itu berpedoman pada :
Pertama,
produknya. Kelas menengah itu sadar akan nilai. Jadi mereka ini
berorientasi pada nilai. Artinya, mereka ini menghendaki produk yang
semakin baik. Jadi bukan yang ala kadarnya. Kalau kelas bawah itu tidak
ada pilihan. Jadi yang sangat ekonomis, kualitasnya seperti apa tidak
masalah. Kelas menengah itu sadar akan nilai, maka mencari yang lebih
baik. Lalu ada upaya untuk meningkatkan penghasilan untuk memenuhi
keinginan mereka itu. Ini tentu harus dijadikan dasar bagi pemasar untuk
mengembangkan dan menyempurnakan produknya menjadi lebih baik.
Yang
kedua, harga. Sebagian kelas menengah, sebetulnya kelas ini besar ya.
Kalau dibuat gambar, itu sebetulnya ada jenjangnya juga di dalam kelas
ini. Ada kelas menengah atas, ada kelas menengah menengah, ada kelas
menengah bawah. Dari ketiga jenjang itu, yang tidak terlalu berpikir
mengenai harga, itu yang kelas menengah atas. Kalau yang menengah
menengah dan menengah bawah ini masih berpikir tidak terlalu ketat
mengenai harga. Sehingga bisa saja, apa harga ditetapkan lebih tinggi,
mereka tidak masalah. Artinya mau mengikuti. Itu faktor yang kedua.
Lalu yang ketiga, kemudahan untuk mendapatkan produk. Kelas menengah itu sangat mobile
dan sangat aktif, sehingga keinginan untuk terpenuhi itu sangat tinggi.
Dalam mobilitas itu, bagaimana pemasar bisa memenuhi keinginan mereka.
Tentu saja, ini perlu upaya-upaya yang sifatnya mendekatkan produknya
kepada konsumennya. Misalnya, sekarang ini home delivery service
kan sudah semakin marak. Artinya, konsumen itu tidak usah datang,
produk itu akan tersampaikan ke tangan konsumen. Ini upaya mendekatkan,
produk itu kepada konsumennya. Bisa juga online service, konsumen ingin mudah tetap di tempatnya, tapi bisa mendapatkan pelayanan. Yaitu melalui internet atau e-commerce.
Ini contoh-contoh bagaimana pemasar itu berupaya mendekatkan dirinya
kepada calon konsumen. Satu lagi, yang disebut promosi. Promosi ini yang
tepat, ya dalam kondisi orang bergerak, itu tentu saja media yang
dinikmati adalah media yang bisa mengekspos dalam kondisi bergerak.
Seperti tadi, misalnya internet, media sosial, lalu didukung dengan yang
memberikan komunikasi pasif atau pembelajaran pasif, yaitu dengan billboard, advertisment, TV besar, dll. Nah, itu yang perlu dilakukan oleh pemasar.
Yang
dihindari itu, sesuatu yang sifatnya monoton. Monoton itu hanya baik
untuk orang-orang yang sudah mapan. Nah, kalau kelas menengah ini kan
bergerak terus. Makanya produk harus disempurnakan terus. Lalu harganya
dinamis. Ada variasi. Misalnya mid night sale. Golongan menengah itu suka keluar, malam minggu misalnya menghabiskan sampai tengah malam. Lalu dimanfaatkanlah mid night sales.
Ini kan supaya tidak monoton. Jadi harus berubah. Nanti pesannya,
penyampaian produknya ini juga tidak boleh monoton. Jadi harus ada
inovasi untuk membuat supaya konsumen kelas menengah itu bisa terpenuhi
keinginannya, di mana pun mereka berada. Misalnya bank, itu kan harus
terus mengembangkan diri, sampai ada internet banking, ini kan melayani
orang-orang yang mobile.
Biasanya kendala apa saja yang muncul dan bagaimana solusi mengatasinya?
Tentu,
yang pertama persaingan. Setiap kesuksesan yang dilakukan oleh pemasar
kepada konsumennya itu pasti diamati oleh pesaingnya. Kadang-kadang
pesaing itu membuat rintangan. Rintangan untuk maju, rintangan untuk
berkembang. Hambatan utama ini sudah pasti. Jadi kalau sekarang tampil
beda dalam produknya. Nanti pesaing pasti akan mengikuti juga karena
dianggap itu sukses. Mid night sales
misalnya, zaman dulu kan tidak ada itu. Orang berkeliaran di toko
tengah malam itu kan tidak ada. Lalu toko buka 24 jam, itu dulu tidak
ada. Ini kan terus bermunculan. Artinya, sukses menjangkau segmen pasar
itu akan diikuti oleh pesaing-pesaingnya.
Lalu
kendala yang kedua yaitu berkaitan dengan perilaku konsumen. Pemasar
sekarang ini tidak boleh tidur ibaratnya. Jadi melek 24 jam. Karena apa?
Karena perilaku konsumen mudah berubah. Mudah berubah itu karena adanya
faktor-faktor eksternal yang membuat dia menjadi berubah, mudah ganti
merek. Jadi kalau orang zaman dulu loyal pada satu merek itu berdurasi
panjang, bertahun-tahun. Sekarang kan tidak. Bahkan loyal pada 2-3
merek, itu juga bisa. Itu namanya split loyalty, yakni loyalitas yang terbelah. Jadi
harus bergerak terus mengikuti mobilitas konsumen. Harus ada
penyempurnaan di produknya, berinovasi yang baru, kemudian mengubah strategi harganya, distribusinya, promosinya dikombinasikan sedemikian rupa, pesan-pesannya juga tidak monoton,dst.
Bagaimana fenomena dan pertumbuhan produk/brand menengah ke depan? Akan seperti apa nantinya?
Itu
sebetulnya sejalan dengan perkembangan dari faktor-faktor makro
lainnya. Misalnya tingkat Keluarga Berencana sukses. Lalu tingkat
kesehatan sukses. Berarti kan penduduk itu bertambah terus, tingkat
kematian menurun, manula juga bertambah. Itu tentu menjadi peluang pasar
bagi pemasar. Meskipun segmen-segmennya berbeda. Kelas menengah ini kan
segmen yang terbesar. Ini pasti akan menarik bagi para pemasar. Jadi
persaingan akan terus berkembang.
Ke
depan, kelas menengah ini suatu saat akan berubah menjadi kelompok
lain. Lalu yang kelompok lain lagi, akan masuk ke kelas menengah. Dan
ini sifatnya dinamis. Ini mengenai populasi kelas menengah. Orangnya
akan bergerak berbeda, tapi karakteristiknya selama ini masih diyakini
akan serupa. Mungkin yang berubah itu penghasilan dalam nominalnya.
Kalau sekarang dikatakan Rp 2 juta per bulan (kalau di Amerika itu
minimum 2 dolar per hari pengeluarannya). Itu karena inflasi terus
berubah. Inflasi itu kan faktor makro, tapi jelas akan menciptakan
peluang pasar yang besar. Tentu harus ada data yang cukup. Untuk
memperoleh data harus menggunakan riset. Untuk ke depan, akan sangat
bagus secara umum ya. Tapi kalau ada pemasar yang tidak sukses, itu ya
berarti mereka ini salah dalam mengambil keputusan, dan mungkin
kesalahan itu karena tidak cukup data yang akurat.
Para Senopati Bisnis Diharapkan Aktif Berbagi
Para tokoh bisnis legendaris diharapkan lebih banyak berbagi untuk menularkan pengetahuan dan pengalamannya dalam menjalankan bisnis. Caranya, sperti dituturkan Tanri Abeng kepada Radito Wicaksono, adalah kesediaan meluangkan waktu dan aktif di arena pembelajaran. Apa saja kendalanya?
Apa cara yang bisa dilakukan untuk menggali ide dan pemikiran mereka?
Hal yang paling utama adalah, mereka harus banyak
meluangkan waktu untuk aktif di arena pembelajaran, seperti contohnya
pelatihan, forum, seminar, dan diskusi-diskusi lainnya. Kalau contohnya
seperti Robby Johan, beliau masih bersama dengan saya di Executive Center for Global Leadership. Di
sana beliau ikut saya. Hampir sama seperti saya, Robby sering ikut
memberikan ceramah, baik di depan eksekutif-eksekutif maupun di instansi
pendidikan (universitas).Tapi ada beberapa tokoh yang tidak seperti Robby. Seperti, kalau saya, lihat T.P Rahmat, beliau masih cukup intensif dalam bisnisnya. Tapi sebenarnya, mereka ini harus bisa, secara ikhlas, dan memang dengan tujuan untuk menularkan apa yang telah mereka alami, harus aktif di forum-forum pembelajaran maupun forum-forum manajemen. Mungkin, apa yang saya dan Robby lakukan di Executive Center for Global Leadership, bisa dijadikan contoh. Di sana kami secara rutin melakukan sharing experience. Jadi, memang harus banyak melakukan sharing.
Yang menjadi persoalan adalah, di tengah demand waktu yang begitu besar bagi orang-orang ini, maka keterbatasan untuk bisa memberikan waktunya untuk sharing menjadi terbatas. Orang-orang seperti Pak Ciputra dan T. P. Rahmat, yang masih intensif di bisninya, akan mengalami kesulitan untuk memberikan pengalamannya kepada orang lain. Kecuali, jika mereka mendirikan lembaga pembelanjaran, seperti yang dilakukan Pak Ciputra dengan Universitas Ciputra-nya. Tapi saya pun tidak tahu seberapa besar waktu yang dilakukan Pak Ciputra aktif di universitas tersebut.
Seperti saya dan Robby di dalam Executive Center for Global Leadership,yang sudah berdiri dari 12 tahun yang lalu, bahkan saya mendirikan universitas, di mana hal tersebut merupakan komitmen bagi kami. Tujuannya adalah, supaya kami bisa membagi pengalaman dan pengetahuan kami supaya terus berkembang. Dan, tidak berarti bahwa kami sudah tidak belajar lagi. Kami terus belajar, karena banyak hal-hal baru yang kami temukan di sana.
Jadi, menurut saya, constraint-nya adalah masalah waktu. Karena demand bagi orang-orang yang sudah “senior” ini, sudah terlalu tinggi. Sehingga, spare waktu mereka menjadi terbatas. Itulah yang menjadi isu sebenarnya. Dan ini adalah sebuah pilihan yang harus mereka pilih. It is a choice. Mereka harus bisa memilih ingin mengorbankan yang mana?
Apa pula yang harus dilakukan agar ide dan pemikiran itu bisa direalisasikan? Siapa yang harus merealisasikan?
Ada beberapa cara sebenarnya. Salah satunya adalah dari internal organisasi. Seperti Ciputra dan T.P Rahmat di
organisaso perusahaannya. Disitu, mereka bisa membina dan mengembangkan
tenaga-tenaga yang bisa mengikuti jejak mereka. Itu yang namanya succession planning dan succession program yang harus dilakukan di organisasi-organisasinya masing-masing.
Semisal Ciputra bisa melatih 10 orang di organisasinya, 10 orang tersebut jika nantinya
“digunakan” di tempat lain, mereka akan menurunkan ilmu yang sudah
diberikan oleh Ciputra. Dan, itu merupakan cara “satu arah”. Karena cara
terbaik untuk belajar adalah pada tatanan praktek dalam organisasi.
Karena ilmu tersebut hanya ada di lembaga-lembaga pembelajaran seperti
sekolah, maka ilmu tersebut hanya ada pada tataran teoritis.
Kemudian
ada cara berikutnya adalah melalui eksternal organisasinya. Yaitu
bagaimana sebisa mungkin, orang-orang tersebut membangun lembaga-lembaga
pembelajaran. Dengan begitu, ilmu atau pemikiran yang ingin dibagi ke
orang lain, bisa dilakukan secara rutin.
Bagaimana seharusnya pemerintah mengakomodir dan mendukung agar pemikiran-pemikiran itu bisa diwujudkan?
Pemerintah harus lebih mendorong hal ini lebih penting. Jangan hanya menganggapnya sebagai hal penting saja. Pemerintah harus lebih mendukung kegiatan-kegiatan pembelajaran atau forum seperti ini.
Adakah best practices dari negara lain dalam mengoptimalkan pemikiran para “tokoh sukses” ini?Paling tidak, saya lihat di Malaysia dan Singapura, karena saya sering aktif di forum-forum pembelajaran seperti ini. Di sana, pemerintah memiliki perhatian terhadap pentingnya masalah-masalah pembelajaran dan juga bagaimana supaya para “senior” bisnis ini mampu dimanfaatkan, betul-betul besar. Ada beberapa teman saya di sana, yang aktif mengembangkan lembaga atau forum-forum pembelajaran, menjadi penasehat perdana menteri. Mereka ini betul-betul praktisi, yang punya track record. Di sini justru yang paling banyak berada di posisi tersebut adalah politisi.
Bagaimana step-step mereka untuk merealisasikanya? Apa resources yang bisa mereka gunakan?
Saya kira susah apabila harus melakukannya secara step by step. Alasannya adalah, terlalu banyak tarik menarik di kebutuhan waktu mereka. Kecuali jika orang-orang tersebut sudah secara total melepaskan kegiatan eksekutifnya dan mereka masuk di dunia pendidikan dan pembelajaran secara total. Atau, paling tidak, mereka bisa membagi 70%-80% waktunya untuk berada di wilayah pembelajaran tersebut.
Tapi memang jika mereka bisa meluangkan waktunya lebih banyak atau bahkan total untuk berbagi, setidaknya di awal mereka harus aktif di dalam lembaga-lembaga khusus untuk eksekutif atau pendidikan eksekutif. Karena kalau untuk yang urusan teoritis dan normatif, kan sudah banyak.
Bagi saya, yang paling penting bagi mereka adalah, bagaimana mereka bisa mengurangi kegiatan eksekutif atau bisnisnya, dan betul-betul mengambil sikap bahwa teramat penting mereka berbagi, to give back.
Apa challenge terbesarnya?
Seperti yang saya katakan tadi, tantangan terbesar mereka adalah persoalan waktu. Mereka harus sibuk berbagi. They have to give up something. Tapi seperti , yang saya katakan tadi, it is a choice. Ini semua pilihan bagi mereka.
No comments:
Post a Comment