Kisah Sukses Indra Dari Sales Jalanan Hingga Menjadi Direktur Marketing
September 17, 2012 — adminTerjun di dunia pemasaran bukan cita-cita Indra Widjaja Antono. Sebab, sejak kecil, Direktur Pemasaran Agung Podomoro Group ini pengen banget menjadi pilot. Tapi sayang, dia gagal masuk sekolah penerbangan di Curug, Tangerang.
Akhirnya, Indra pun memilih membantu ortu yang membuka toko kelontong di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dari sinilah minat Indra terhadap dunia pemasaran pelan-pelan mulai tumbuh.
Indra makin lama makin mantap menggeluti bidang marketing setelah mengagumi seorang ibu yang punya kios tepat di seberang toko kelontong orangtuanya. Si ibu punya pekerjaan sampingan: jasa persewaan kios milik orang lain. “Saya kagum dengan keahlianya dalam meyakinkan orang untuk menyewa kios,” kenang Indra.
Singkat cerita, Indra pun belajar tentang seluk-beluk marketing properti dengan mengkuti pelatihan di Era Indonesia. Tahun 1989, dia memulai pekerjaan di bidang marketing sebagai broker rumah bekas. Dia menawarkan rumah seken dari pintu ke pintu atau door to door di wilayah Kebayoran Lama. “Saya tanya-tanya, siapa yang mau beli atau menyewa rumah,” kata pria kelahiran tahun 1971 itu.
Guna mengasah ilmu marketing properti, sembari kerja Indra mengambil kuliah Jurusan Real Estate Development – sekarang Planologi – di Universitas Tarumanegara. “Sore kuliah, pagi sampai siang menjadi broker,” kata dia.
Menghadapi berbagai penolakan
Pekerjaan sebagai broker Indra lakukan sampai lulus kuliah di tahun 1993. Meski sering mendapat penolakan dan caci maki, selama menjadi broker dia bisa mempelajari bagaimana cara berurusan konsumen, sifat pelanggan, hingga keadaan pasar.
Lulus kuliah, Indra bekerja di Jakarta Baru Cosmopolitan, joint venture Summarecon dengan Batik Keris. Pada perusahaan tersebut dia mengawali karier di dunia marketing sebagai sales, lalu asisten supervisor, supervisor, sampai keluar pada tahun 2001 disaat memegang posisi asisten manajer marketing.
Setelah itu, Indra bergabung dengan Agung Podomoro. Ia menjadi manager umum proyek Sunter Agung. Ia juga menangani marketing dan program ISO manajemen. karirnya melesat. Di tahun 2003, ia jadi wakil direktur marketing.
Satu tahun kemudian, Indra jadi direktur marketing di usianya yang baru 33 tahun. “Saya sempat menolak karena takut, apakah keputusan yang saya buat dapat dipercaya oleh mereka yang usianya lebih senior & lebih berpengalaman,” katanya.
Salah satu dari tantangan Indra ketika itu yaitu mewujudkan Back to The City, konsep permukiman di tengah kota. Untuk itu, dia sempat mencoba naik kereta listrik untuk mendengarkan kebutuhan masyarakat urban terhadap hunian. Bahkan, ia juga meluangkan waktu untuk sekadar berdiri di Jembatan Tomang untuk menyaksikan kegiatan warga usai pulang kerja.
Dari hasil tanya sana-sini dan pengamatannya, Indra menyimpulkan: tempat tinggal di tengah kota amat dibutuhkan. Dia pun mewujudkan konsep Back to The City dalam proyek Agung Podomoro & sukses memasarkannya. Soalnya, “Orang pasti ingin tinggal di tengah-tengah kota,” tambahnya.
Kisah Sukses Penjualan dgn Lubang Odol "Lebih Besar"
Alkisah, Penjualan sebuah brand Odol pada tahun 80 an dulu sudah stagnan pada sebuah angka penjualan. Si Bos besar akhirnya punya ide untuk mencari seorang marketing manager yang mampun menjawab tantangannya yaitu meningkatkan penjualan brand odol tersbut (katakan saja 100 persen) dari penjualan sekarang.
Akhinrya dibuatlah sayembara dan lowongan kerja untuk mencari super manajer ini, berikut isi sayembaranya:
"Dicari seorang Marketing Manager yang bisa meningkatkan penjualan brand kami dengan gaji 1 juta dollar, Di salam surat lamaran tuliskan apa rencana Anda untuk mencapai target penjualan tersebu"
Tentu saja pada jaman itu gaji 1 juta dollar itu sangat luar biasa besarnya, sehingga ribuan atau puluhan ribu pelamar mengirimkan lamarannya. Hampir semua lamaran berisi kisah sukses di tempat kerja sebelumnya dan rencana-rencana besar untuk meningkatkan penjualan Brand Odol in. Sampailah pada sebuah lamaran yang membuat syok Bos dari brand tersebut karena di dalam lamarannya hanya tertulis 3 baris kata:
- Saya tidak mau digaji 1 juga dollar, bayar saya dengan persentase saham sesuai peningkatan penjualan kelak.
- Ide saya hanya akan saya jabarkan jika Anda meng Hire saya.
- Jika gagal, saya yang bayar 1 juta dollarnya.
WOW, hampir copot mungkin jantung di Bos membaca surat lamaran tersebut. Singkat kata akhirnya orang inilah (Rex, kita sebuat saja namanya, bukan nama sebenarnya tentu) yang dihire untuk menjadi marketing manager brand tersebut. Pikir Bos nya, "tidak ada salahnya kita coba, toh kalo gagal dia yang bayar kita."
Sih Rex kemudian masuk kantor (singkat kata), 2 minggu ga ngapa-ngapain kecuali ngobrol dengan banyak pengguna brand tersebut sampai pada akhirnya minggu ke 3 dia berkunjung ke pabrik, "Ok ini yang akan kita lakukan untuk meningkatkan penjualan brand kita, bukan 100 persen bahak mungkin 1000 persen" semua tentu dengan antusias menunggu ide dari si marketing direktur dan si marketing direktur berkata "idenya adalah BESARKAN LUBANG ODOLNYA", "udah itu ajah, semua kegiatan berjalan seperti biasa ajah".
Ternyata secara ajaib penjualan brand tersebut meningkat melewati target yang pernah ditetepkan oleh perusahaan hanya dengan "Membuat Besar Lubang Odol".
Nah cerita ini mungkin tidak persis sama dengan kenyataannya karena saya lupa detail teman saya bercerita beberapa waktu lalu namun true story sebuah brand odol di negeri sana. Bagaiamana sebuah keputusan "sederhana" punya implikasi besar terhadap penjualan perusahaan.
DI Metode Creative Sales yang Creasionbrand kembangkan, teknik ini bisa dipakai untuk Credo 2 (Buy Often, membuat konsumen membeli lebih sering) ataupun Credo 3 (Buy More, Membuat konsumen menggunakan lebih banyak) dimana pendekatan seperti ini sangat penting untuk bisa meningkatan penjualan perusahaan sekalipun secara ektrim tanpa menambah konsumen baru. Lubang odol yang lebih besar seperti sekarang ini membuat orang lebih banyak menggunakan odol tanpa disadarinya, bahkan iklannyapun odol digunakan full dari ujung sampai ke ujung lagi di sikat gigi.
Dalam Creative sales tools, lubang odol lebih besar ini bisa dikembangkan melalui product tatik dengan elemen design product. Ada 12 elemen lainnya yang bisa dikembangkan, namun tentu tidak semua harus kita gunakan tergantung bagaimana hasil observasi dan riset kita di pasar. Kembali ke manager tadi, beliau menghabiskan cukup banyak waktu mengamati prilaku penggunaan odol masyarakat sekitarnya, dan dari situ sang manager mendapatka insight bahwa orang cenderung menggunakan odol lebih sedikit karena lubangnya memang kecil dan tentu saja hal ini disadari atau tidak ternyata bukan karena ingin berhemat tapi productnya lah yang menciptakan prilaku demikian sehingga untuk merubah behaviour penggunannya productnyalah yang harus di "otak atik" bukan lainnya seperti iklan, harga dll.
Contoh lain, barusan saya beli kecap, betapa kagetnya saya ketika menungkan kecap banyak sekali kecap yang keluar dari botolnya, stelah diperhatikan ternya tutup kecapnya sekarang "BESAR' haha sialan, mau membuat saya "membeli" lebih sering ini namanya, biasa kita beli kecap tutupnya kita gunting bagian atas sehingga keluarnya bisa sedikit, eh sekarang tidap perlu digunting lubangnya udah segede "gabang" haha. (Btw emang gabang segede apa yah).
Apa pelajaran yang bisa kita ambil:
- Inovasi itu akan punya impact bila didasari pada kebutuhan "tampak" dan "tidak tampak" dari konsumen brand kita. Jangan membuat asumsi apalagi "menurut saya" dalam dunia pemasaran dan penjualan. Carilah dulu informasi dan data agar muncul insight dan "EUREKA" untuk brand kita bisa sukses.
- Berani beda itu baik walaupun tentu ada resiko. Marketing Manager itu mungkin saja tidak terpilih jika dia mengirimkan surat lamaran sama dengan yang lainnya, namun karena berani mengambil resiko dia mengirimkan lamaran yang "nyeleneh" yang akhirnya membuat dia diterima walaupun tentu kita juga harus muncul dengan ide yang briliant.
Semoga bermanfaat.
KISAH SUKSES SAMPOERNA HIJAU
Untuk membuat pamor merek
Sampoerna Hijau kembali bersinar, HM Sampoerna berani merevitalisasi strategi pemasarannya. Seberapa jauh hasil
yang bisa dicapainya?
Geng Hijau sedang dibengkel si Ujo. Begitu pengantar
awalnya. Lalu, Iklan yang menampilkan
adegan akhir dimana gerombolan anak muda mendorong mobil sambil iseng menggoda
gadis yang lewat. Di lain kisah, geng ini, meminta berbagai permintaan setelah
melihat bintang jatuh. Namun dalam lain suasana, mengisahkan tentang perjalanan
mengantar gadis yang barang bawaannya buanyakkkk
banget. ‘’Ah enggak apa-apa,’’ serempak gerombolan anak muda ini menjawab,
setiap si gadis bertanya,’’sempit ya?’’.
Kehadiran
Sampoerna Hijau (SH) dengan Geng Hijau (GH)-nya yang khas akhir-akhir ini, tak
bisa disanggah memang luar biasa. Kendati tema yang diusung bersahaja, namun
selalu cerdas dan segar. Ide-ide yang disampaikan adakanya sangat sederhana,
tapi tetap bisa riang, asyik, bahkan mampu membangkitkan nostalgia indah masa
lalu.
Iklan SH yang mengekspos aktivitas GH juga ditayangkan
secara intensif. Malah hingga kini intensitasnya enggak pernah kendor.
Tahun 2000 lalu, menurut ACNielsen Indonesia, total belanja iklan SH mencapai
Rp9,61 miliar, sedangkan di tahun 2001 hingga Agustus telah dihabiskan biaya
iklan senilai Rp8,69 miliar.
Kemunculan GH yang cukup intensif, bisa dibaca bahwa HM
Sampoerna (HMS), produsen SH memang mulai berani memberi porsi yang lebih pada
merek SH. Jika sebelumnya, manajemen HMS nampak lebih disibukkan mengelola dua
‘’mesin uangnya’’ Djie Sam Soe dan Sampoerna A Mild, maka kini SH agaknya mulai
mendapat ‘’jatah’’ lebih.
Sebelum-sebelumnya
boro-boro SH diberi jatah bujet promosi hingga nyaris sepuluh miliaran
rupiah. Promosinya juga hanya melalui media-media yang sangat lokal.
Paling-paling ratusan juta rupiah saja yang harus dikeluarkan per tahun.
Bandingkan, misalnya, dengan Djie Sam Soe atau Sampoerna A Mild yang rata-rata
menghabiskan belanja iklan sebesar Rp15 miliar per tahun.
Demikian
pula kapasitas produksinya yang dimiliki SH, sangat terbatas. Bahkan seringnya
hanya memanfaatkan kapasitas terluang (idle time) dari mesin Dji Sam
Soe. Dari sisi distribusi, cakupan pasar yang dikembangkan sangat marginal,
karena masih bermain di wilayah pedesaan. Makanya enggak heran jika manajemen
HMS merasa pelu merombak (merevitalisasi) semua strategi yang berkaitan dengan
SH.
Cikal
bakal revitalisasi SH mulai terjadi tahun 1992-1993. Langkah awalnya, dengan
menggarap strategi komunikasi yang lebih genah. Terutama melalui media cetak
dan below the line. Namun, sayangnya usaha ini kurang berhasil.
Penyebabnya, tak ada kesesuaian antara isi iklan dengan target pasar. Tahun
1998, baru ada sedikit kemajuan. Waktu itu strategi yang dipakai beriklan di
televisi dengan tagline ‘’Mainkan Saja’’. Meski tak bisa dibilang gagal,
upaya ini belum terlalu mengangkat pertumbuhan kinerja SH secara signifikan.
Ide-ide Kreatif
Momentum
keberhasilan, dimulai ketika SH mengkampanyekan tema promosi baru ‘’Asyiknya
Ramai-Ramai’’, dua tahun lalu. Tepatnya Agustus 2000. Positioning baru
yang dipilih SH ialah nuansa kehangatan dalam kesederhanaan. Dari sinilah,
akhirnya mencuat pula nama Geng Hijau. Julukan untuk gerombolan pemuda yang
jadi tokoh sentral dalam setiap versi iklan SH Versi iklan SH yang sudah
beredar diantaranya tema pengangguran, bekerja di bengkel, puasa dan bintang
jatuh (yang paling akhir).
Perubahan juga
terjadi pada strategi pemasaran. Kalau sebelumnya, secara psikografis produk
ini disasarkan secara umum ke konsumen yang lebih mementingkan value for
money (price concius), kini mulai ditambahi unsur-unsur emosional, sebagai unsur diferensiasi.
‘’Kini
Sampoerna Hijau kami sasarkan pada mereka yang tergolong anak muda yang
produktif, memiliki rasa kesetiakawanan yang erat, saling tolong menolong,
kompak dan mau peduli dengan lingkungannya,’’ jelas Rudolf Tjandra, MSA Manager PT HM Sampoerna
Tbk. Dengan mencitrakan diri sebagai produk yang murah namun trendi, SH
berharap kesan tua yang dikaitkan dengan karakter perokok SKT (Sigaret Keretek
Tangan) pelan-pelan bisa luntur.
Strategi
emotional marketing yang kini dimainkan HMS untuk SH, menurut Rudolf,
tak bisa ditunda-tunda lagi. Karena di bisnis rokok, kelebihan cita rasa atau
kandungan tar sudah tidak bisa dijadikan bahan jualan sebagai pembeda produk
dibanding para pesaing. ‘’Soalnya saat
ini semua produk rokok, baik racikan, kadar nikotin maupun tar sudah
mirip-mirip satu sama lain,’’ tambahnya
lagi.
Tak
hanya mentok disitu. Dari sudut distribusi, cakupannya juga diperluas. Kalau semula
hanya beredar di perdesaan, sekarang mulai bisa ditemui dipinggiran kota.
Kelak, kata Rudolf, dirinya berharap SH juga bisa menancapkan kukunya kuat-kuat
di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Di sisi lain, kalau semula hanya
berkutat di wilayah Jabar, maka kini seluruh Jawa dicoba dipentrasi secara
merata. Salah satunya lewat aktivitas ‘’Parade Bedug’’ yang baru saja usai.
Bahkan luar Jawa pun pelan-perlan mulai dijajaki, seperti Lampung dan Medan.
‘’Jadi kami juga berupaya menggarap secara nasional.’’
Yang patut dicatat, strategi cerdas lain yang dijalankan
HMS adalah penciptaan berbagai pusat pertumbuhan pasar SH. Caranya cukup
asyik dan nyeleneh. Untuk
meningkatkan brand loyalty, HMS membuat dan mengembangkan satuan basis
massa SH, yang tersebar di berbagai wilayah pasar. Komunitas ini punya kesamaan
tertentu. Misalnya masyarakat nelayan, petani, penduduk penggiran kota
(marginal), anak jalanan, pelabuhan dan penjual kiki (kacang ijo dan
ketan item).
Lewat
komunitas itulah, SH dikampanyekan secara sistematis. Salah satu caranya dengan
memberi berbagai bantuan. Contohnya.
Untuk komuntas nelayan, maka HMS membantu memberi fasilitas layar untuk perahu
yang biasa mereka gunakan untuk mencari nafkah sehari-harinya. “Ketika berlayar mereka juga kami bekali
produk Sampoerna Hijau,’’ sebutnya.
Khusus untuk penjual kiki, idenya lumayan kreatif.
Si penjual diminta mendisain harga barang dagangannya satu paket dengan satu
batang rokok SH. Selain itu, di setiap warung selalu disediakan satu gelas yang
ditempeli logo SH dan juga berisi rokok SH. Sebagai bentuk imbalan bagi para
pedagang kaki lima ini, diantaranya HMS menyelenggarakan mudik bersama rutin
setiap tahun. Setidanya dua ribu orang yang diberangkatkan HMS untuk mudik ke
kampung halamannya, ketika musim Lebaran tiba.
Strategi promosi, dikemukakan Rudolf juga, juga dibuat
lebih kreatif dan tidak monoton. Sebab promosi below the line SH dibuat
jauh lebih besar dibanding above the line. Perbandingannya 60:40.
Anggaran promosi biasanya dibuat 3%-5% dari total penjualab. ‘’Untuk bisnis
rokok, kita harus jago street marketing ketimbang promosi di media lini
atas,’’ katanya memberi alasan. Kembali pada aktivitas promosi. Saat ini, untuk
aktivitas below the line HMS tengah mempersiapkan sandiwara radio serial
yang tokoh sentralnya masih menggunakan Geng Hijau.
Hasilnya? Harus diakui, upaya revitalisasi SH bukan
bualan. Dari waktu ke waktu kinerja pasarnya makin kinclong. Persebaran disribusinya dari semula hanya
kuat di Jabar, kita relatif sudah menasional. Dari 1998 hingga 2000 lalu,
volume pasar SH sudah melonjak tiga kali lipat. Kini kontribusi SH atas total
penjualan HMS mencapai 12%-13%.
Hal menarik
lainnya, diantara merek-merek yang dimiliki HMS, margin keuntungan yang
ditangguk SH lebih bagus dibanding lainnya, khususnya merek-merek Sigaret
Keretek Mesin (SKM). Terlebih dengan permintaan yang makin asoy, belakangan HMS
berani manruh harga SH lebih mahal Rp300-Rp400 dibanding pemain lain di
kelasnya.
Roy Goni, pengamat pemasaran dari RKS Consulting,
menilai, langkah HMS atas HS sudah pas. Sebab sasaran pasar yang dibidik SH
memang dikenal potensial. Terlebih lagi mereka adalah komunitas yang
karakternya heavy smoker. ‘’Sehingga SH tinggal mengandalkan repeat
buyer-nya saja,’’ begitu analisanya.
Di
samping itu, upaya penetrasi pasar SH dari desa ke penggiran kota dan merangsek
ke tengah kota, bagi Roy, pun bukan pilihan yang keliru. Katanya, model
menyerang dari arah samping sangat efektif buat SH karena pusat-pusat pasar di
wilayah urban sudah diisi para pemain yang lebih kuat, dan lebih dulu
menggelinding. Bila SH memaksakan diri langsung merangsek ke pusat-pusat kota,
barangkali kisah bertutur lain. Lagipula berani berhadapan face to face
dengan puluhan merek lain yang sudah ada dan cukup top of mind, tentu
butuh ongkos pemasarannya enggak sedikit.(Tabloid Marketing Edisi 28 Tahun 2002)
Terima kasih informasinya. Sebagai marketing property perlu juga diketahui cara melayani customer dan etika bertelepon bagi seorang marketing
ReplyDeleteMantab sob, makasih banyak buat artikel dan infonya ini..
ReplyDelete