Keikhlasan yang Memesona
KOMPAS/RIZA FATHONI
Edwin Soeryadjaya (kanan) saat penghargaan Entrepreneur of the
Year 2010 Ernst and Young, menerima ucapan selamat dari Ketua Dewan
Juri Rudiantara dan CEO Ernst and Young Giuseppe Nicolosi (tengah) di
Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, Kamis (25/11/2010).
Hal yang banyak dipercakapkan adalah sikapnya ketika krisis Bank Summa sekitar tahun 1990. Pada masa yang amat sulit itu, sang ayah, yakni William Soeryadjaya, melepas banyak aset, termasuk saham di PT Astra International. Edwin lebih banyak diam bersama orangtuanya. Tidak ada kata-kata mengumpat.
Ketika ditanya Kompas, bisnis apa yang ia kembangkan sekarang, ia hanya berkata pendek, ”Ada deh, namanya juga kita perlu hidup. Yang penting hidup lurus.”
Sejumlah pengusaha terkemuka angkat topi soal Edwin. Menurut mereka, sukses Edwin dalam bisnis pertambangan, perdagangan, dan industri selama satu dasawarsa terakhir ini semacam buah dari kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan.
”Dalam kehidupan bisnis dan tentu juga dalam aspek kehidupan lain, keikhlasan yang dilakukan Edwin itu sesuatu yang memesona. Sang Maha Pencipta memberi rahmat luar biasa baginya,” ujar CEO Grup Garudafood Sudhamek Agoeng, di Jakarta, pekan lalu. Apa yang dilakukan Edwin menambah spirit para pebisnis lain. Ia membuat para pelaku ekonomi melihat ada lokomotif lain dari kehidupan berbisnis.
Dari catatan Kompas, pencapaian Edwin dalam bisnis ini sudah melampaui apa yang pernah diraih ayahnya. Hal yang kemudian tampak menarik adalah sikapnya yang tetap rendah hati. Ia acap datang ke forum publik, tetapi selalu enggan berada di panggung. Ia lebih suka di belakang layar. Tidak heran kalau kini ia menjadi usahawan yang dipandang publik.
Tentu bukan hanya Edwin yang patut menjadi contoh dalam berbisnis dan berbagai sikap nonbisnis, seperti ketabahan dan keikhlasan. Anak-anak dari taipan Eka Tjipta Widjaja termasuk di antara pebisnis yang sukses. Mereka juga dikenal taat kepada orangtua. Eka Tjipta juga mendidik mereka dengan keras. Hasilnya, anak-anaknya kini jauh dari manja, menjadi pekerja keras, dan tidak mudah menyerah.
Nirwan Bakrie, Solichin Kalla, dan Erwin Aksa Machmud, sekadar menyebut beberapa contoh, juga termasuk di antara usahawan-usahawan sukses yang tetap dekat dengan orangtuanya. Orangtua menjadi sumber inspirasi dan panutan yang luar biasa.
Soal Jusuf Kalla, sebelum menjadi menteri dan wakil presiden, ia adalah usahawan terbesar di Indonesia timur. Semasa ayah bundanya masih hidup, ke mana pun ia pergi, ia selalu pamit kepada ayah bundanya.
Pesan moral yang ada, kecintaan kepada orangtua yang selalu berbuah manis. Tentu ini jauh dari panggung ilmiah, jauh dari pelbagai teori ekonomi. Ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang penuh cinta kepada orangtua.
Berbagi Itu Mulia
KOMPAS.com - Apa makna hidup? Banyak pendapat tentang hal ini. Akan tetapi, satu di antaranya adalah berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Salah seorang terkaya di dunia, Warren Buffet, agaknya memahami benar makna hidup. Ia tidak hanya ingin berguna bagi dirinya, tetapi bagaimana dirinya berguna bagi orang lain. Ia memiliki pandangan yang lebih kurang sama dengan mendiang Rose Kennedy, yang dengan tegas menyatakan bahwa semua anggota keluarga Kennedy, pria-wanita, sehat-kurang sehat, harus berguna bagi Amerika Serikat dan dunia.
Bagi Warren Buffet, hidup ini baru sangat bermakna kalau kita bisa berbagi sebab berbagi itu mulia.
Bagi Warren Buffet, hidup ini baru sangat bermakna kalau kita bisa berbagi sebab berbagi itu mulia. Amerika Serikat, meski menjadi negara kaya, masih banyak warganya yang hidup serba miskin. Mereka tidur di taman, di bawah jembatan, di samping asrama mahasiswa, dan sebagainya. Banyak pula anak muda Amerika Serikat yang brilian sehingga perlu diberi anggaran lebih untuk membuat riset berkelas. Kelak riset mereka amat berguna bagi kemanusiaan dan kemajuan peradaban manusia.
Hal yang mengejutkan, lelaki kaya raya ini hidup amat sederhana. Meski seorang triliuner, ia kurang suka pesta dan enggan membuang uang percuma. Pakaian yang dikenakannya dari bahan sederhana, begitu pula sepatunya. Perabotan di rumahnya pun, seperti pernah ditulis beberapa media terkemuka di Amerika Serikat, terbuat dari ”bahan biasa”, tidak mencerminkan seorang triliuner dunia.
Dalam pengamatan Kompas, para usahawan besar yang membangun usahanya dari bawah tak sedikit yang mempunyai gaya hidup mirip Warren Buffet. Mereka ada yang hidup sederhana. Mereka mengganti mobil setelah menggunakannya enam sampai delapan tahun.
Rumah mereka pun umumnya sangat sederhana. Rumah mereka sama sekali tidak mencerminkan rumah orang yang sangat berada. Mereka lebih memilih menyumbang untuk tujuan sosial.
Mereka sangat unik. Beberapa eksekutif tingkat tinggi di perusahaan-perusahaan skala besar di Jakarta menuturkan, mereka kerap sungkan kalau datang ke rumah majikannya. Rumahnya ternyata jauh lebih mentereng dibandingkan dengan rumah majikannya.
No comments:
Post a Comment